SENI BUDAYA - Kejaksaan wilayah Manhattan, New York, telah mengembalikan tiga artefak dari masa kerajaan Majapahit kepada pemerintah Indonesia.
Diduga benda-benda bersejarah itu berasal dari sindikat perdagangan gelap. Arkeolog senior menduga artefak-artefak tersebut diselundupkan keluar Indonesia melalui Bali dan Singapura.
Tiga artefak itu telah diserahkan kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York, demikian keterangan di situs resmi KJRI New York.
Acara pengembalian tiga artefak senilai Rp6,5 miliar itu digelar di Kantor Kejaksaan di pusat kota Manhattan, New York.
Tiga artefak itu adalah batu relief peninggalan masa Kerajaan Majapahit; patung perunggu archa Buddha dalam posisi duduk; serta patung perunggu archa Dewa Wisnu dalam posisi berdiri.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, mengatakan artefak-artefak itu diperkirakan sampai di Indonesia pada awal Mei 2024.
Berdasarkan informasi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS), Hilmar mengatakan pihak otoritas Amerika Serikat mendapatkan benda-benda itu dari jaringan perdagangan antik gelap di Amerika.
Dihubungi secara terpisah, arkeolog senior, Junus Satrio Atmodjo, mengatakan ini bukan pertama kalinya AS mengembalikan artefak bersejarah yang berasal dari Indonesia.
Sebab, tak jarang barang-barang bersejarah justru berhasil melewati pemeriksaan bea cukai di dalam maupun luar negeri, kata Junus yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional.
“Artefak yang dicuri itu banyak yang melewati Bali. Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bali. Itu adalah tempat-tempat yang paling sering barang-barang itu keluar,” kata Junus pada media, Senin (29/04).
Ia mengatakan bahwa seringkali barang-barang bersejarah itu dibeli secara legal oleh museum atau kolektor, namun sebenarnya sudah melewati proses perpindahan tangan gelap.
“Barang-barang itu mungkin keluar sebetulnya tanpa sepengetahuan kita, baik [saat] masa Belanda maupun masa Republik," katanya
Karena begitu banyak barang yang dibawa keluar melalui berbagai macam cara juga, melalui pembelian, penyelundupan, jadi bisa legal bisa ilegal,” sambungnya.
Direktur Perlindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Judi Wahjudi, mengatakan untuk mencegah dan memitigasi terjadinya pencurian maupun penyelundupan artefak berharga dari Indonesia, pihaknya berjanji akan memperkuat kerja sama dengan Polri dan Interpol lintas negara lewat Memorandum of Understanding (MOU).
Dalam unggahan Instagram, KJRI New York menyebut barang-barang itu berharga senilai US$405.000 atau lebih dari Rp6,5 miliar.
Berdasarkan rilis resmi dari District Attorney Manhattan, New York, kasus pencurian, penyelundupan, dan penjualan barang-barang bersejarah tersebut melibatkan dua terdakwa yakni Subhash Kapoor seorang warga negara India-Amerika dan Nancy Wiener, warga AS.
Alvin L. Bragg Jr., Jaksa Wilayah Manhattan, menyatakan pihaknya akan mengembalikan barang-barang antik yang dicuri oleh jaringan itu sebagai komitmen melindungi warisan budaya.
“Kami terus menyelidiki jaringan penyelundupan luas yang terus menargetkan barang antik di Asia Tenggara. Meskipun kami telah mencapai kemajuan yang signifikan dan telah membongkar beberapa jaringan terkemuka, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," ujar Alvin.
Bersama dengan tiga artefak yang berasal dari Indonesia, terdapat pula 27 artefak asal Kamboja yang ditemukan dalam kasus tersebut.
Artefak Indonesia diduga berasal dari Majapahit atau kerajaan yang lebih tua?
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid mengatakan bahwa KJRI New York akan mengirimkan enam artefak yang berasal dari Indonesia, tiga diantaranya merupakan barang sitaan dari kasus perdagangan artefak ilegal.
“Satu itu relief batu dan ada dua patung bahannya perunggu. Di samping itu sebenarnya ada benda yang sudah pernah dikembalikan sebelumnya, akan dijadikan satu paket. Jadi keseluruhannya akan ada enam,” kata Hilmar kepada BBC News Indonesia.
Berdasarkan foto yang beredar, arkeolog senior, Junus Satrio Atmodjo, memperkirakan relief batu yang menunjukkan gambar dua tokoh memegang buah Maja kemungkinan terbuat dari kapur atau marmer.
Bahan itu dahulu digunakan untuk membangun candi-candi di wilayah Jawa Timur, yang dikenal sebagai wilayah Kerajaan Majapahit.
Namun, ia memperkirakan batu relief tersebut sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.
“Menurut saya, gayanya bukan gaya Majapahit, tapi lebih dekat ke gaya Kediri. Jadi sebelum Majapahit berdiri. Dan itu berkoresponden dengan dua archa yang dikembalikan, yang menurut saya gayanya juga bukan gaya Jawa Timuran, itu abad 13-15 juga,” jelas Junus.
Meski begitu, ia memahami mengapa dalam rilis resmi yang dikeluarkan kejaksaan wilayah Manhattan, batu relief tersebut dikategorikan sebagai peninggalan Majapahit. Sebab, dalam relief itu terukir figur yang menyerupai Resi, tokoh keagamaan yang identik dengan Kerajaan Majapahit.
“Resi ini pendeta yang agamanya campuran: Hindu, Buddha dan agama lokal. Dia pakai ubel-ubel di kepalanya pakai penutup kepalanya, itu biasa agak tinggi. Dan itu bukan ciri pendeta agama Hindu, bukan ciri pendeta agama Buddha, tetapi agama Resi.
“Kalau dilihat dari ciri-ciri tadi, sebagian orang akan bilang itu Majapahit. Karena tokohnya Resi, tapi tokoh-tokoh Resi ini muncul sebetulnya sebelum Majapahit juga sudah muncul,” kata Junus.
Sementara untuk dua patung archa perunggu yang berukuran lebih kecil, ia mengatakan mereka memiliki gaya yang khas Jawa Tengah. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan mereka berasal dari situs penggalian yang sama dengan batu relief.
“Karena gaya itu berkembang di luar zamannya. Katakanlah kerajaan Mataram runtuh di abad ke-12, tapi gaya seninya masih berlanjut sampai beberapa tahun ke depan,” ujar Junus.
Dari mana asal barang-barang antik yang diperdagangkan secara ilegal?
Berdasarkan keterangan dari situs resmi kejaksaan wilayah Manhattan, mereka sudah menyelidiki Subhash Kapoor dan komplotannya selama lebih dari satu dekade atas dugaan penyelundupan, pencurian dan penjualan artefak yang berasal dari negara-negara di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Kapoor dan rekan-rekan terdakwanya menjual barang-barang antik ilegal tersebut melalui galeri Art of the Past yang berbasis di Madison Avenue, Manhattan.
Dari tahun 2011 hingga 2023 Kantor Kejaksaan dan DHS menemukan lebih dari 2.500 barang yang diduga diperdagangkan oleh Kapoor dan jaringannya. Nilai total dari artefak-artefak yang ditemukan melebihi US$143 juta (Rp2,3 triliun).
Untuk mencari tahu asal-usul ketiga artefak tersebut, Hilmar mengatakan bahwa proses penelusuran akan dimulai dengan melakukan pemeriksaan daftar artefak yang ada di jaringan museum-museum di Indonesia, serta para ahli yang melakukan penggalian.
Ia berharap dengan melakukan kajian dan penelusuran yang mendetil, mereka dapat mengetahui bagaimana benda-benda bersejarah dapat lolos dari perbatasan Indonesia dan jatuh ke dalam sindikat perdagangan barang antik ilegal hingga muncul di Amerika Serikat.
“Tentu untuk memastikan secara efektif tidak ada benda yang sama sekali keluar juga tidak mudah. Karena ada banyak sekali jalur membawa benda dari Indonesia ke luar negeri, dan kami tidak punya cukup sumber daya untuk memastikan semua saluran itu bisa terawasi dengan baik,” ucap Hilmar.
Bagaimana kerja sindikat perdagangan gelap artefak bersejarah?
Arkeolog senior, Junus Satrio Atmodjo, mengatakan bahwa benda bersejarah dapat diperoleh dengan berbagai cara, baik itu secara langsung dicuri dari koleksi museum, ditemukan di toko-toko antik maupun diperjual-belikan secara daring.
Namun, untuk barang-barang bersejarah yang masuk ke dalam sindikat, seringkali perpindahan dari satu negara ke negara lain terjadi dengan sangat cepat.
“Barang-barang ilegal ini memang tidak mau lama-lama di tangan orang siapapun. Karena kalau ditelusuri, mereka tahu risiko hukumnya. Di Indonesia hukumannya berat sekali, jadi kalau ketahuan mencuri, kemudian memperjualbelikan, itu sudah dua hukumnya,” ujar Junus.
Ia mengatakan bahwa kebanyakan artefak-artefak dari berbagai penjuru Indonesia yang merupakan hasil pencurian dapat menembus ke luar negeri lewat Bali, Semarang maupun Jakarta.
Kemudian, barang tersebut diselundupkan ke luar negeri melewat pemeriksaan bea cukai. Junus mengatakan seharusnya saat pemeriksaan di bandara, barang itu bisa dicegat sebelum dibawa ke luar negeri. Namun, seringkali mereka dibiarkan lewat dan berakhir di negara tetangga.
“Salah satu negara yang paling dekat dengan kita, dan tidak ikut menandatangani protokol illicit trafficking on cultural properties [perdagangan gelap kekayaan budaya], yang dibuat oleh UNESCO adalah Singapura.
"Di Singapura, semua barang selundupan apapun juga, mulai dari barang hidup sampai barang mati ada di sana,” kata Junus.
Oleh karena itu, ia mengatakan perlu adanya komunikasi antarpemerintah untuk menyampaikan hilangnya barang-barang bernilai sejarah agar dapat diawasi dengan baik sebelum terlambat.
Ia mengambil contoh kasus empat tengkorak dengan ukiran gaya Dayak yang ditemukan di sebuah bandara di Los Angeles, Amerika Serikat setelah dikirim dari Bali. Setelah ditelusuri, tengkorak-tengkorak tersebut merupakan artefak asal Indonesia.
“Ada beberapa barang di Amerika yang kita tahu memang itu ilegal. Karena foto-foto Belanda masih menunjukkan barang itu ada di Indonesia, sekarang sudah di Amerika atau di Eropa. Untuk itu, kedua negara ini harus mempertukarkan informasi,” kata Junus.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Marsis Sutopo, mengatakan ia berharap bahwa kasus ini dapat menjadi “pintu masuk“ untuk membongkar jaringan jual beli artefak-artefak arkeologi yang sangat tinggi nilainya.
“Tentu membongkar jaringan tersebut tidak mudah dan perlu melibatkan informan-informan internasional juga, misalnya interpol yang ada pada setiap negara. Pemulangan artefak dari satu negara ke negara asal tentunya juga harus mengikuti ketentuan hukum atau konvensi internasional,“ sebutnya.
Menurut Marsis, kemungkinan masih banyak artefak-artefak asal Indonesia lain yang berhasil keluar melalui jalur perdagangan ilegal. Oleh karena itu, ia merasa perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap barang-barang yang dibawa ke luar negeri lewat bandara maupun pelabuhan.
“Pada dua titik tersebut harus ditempatkan petugas yang benar-benar memahami jenis artefak yang boleh dibawa keluar negeri sesuai ketentuan Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Dengan demikian maka sudah ada pencegahan dini dari kemungkinan penyelundupan artefak arkeologi ke luar negeri,“ lanjutnya.
Apakah Indonesia mampu melindungi barang-barang bersejarah setelah dikembalikan?
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, mengatakan bahwa Kemendikbud sudah bekerja sama dengan Polri dan kantor interpol lintas negara untuk membuat pemberitahuan artefak hilang alias red alert.
“Misalnya ada kehilangan yang terjadi di Indonesia, dokumentasi itu yang kami umumkan masuk ke dalam daftar red alert-nya interpol. Jadi kalau benda itu kemudian muncul di salah satu negara yang polisinya merupakan anggota interpol, dengan sendirinya itu akan diproses seperti di Amerika,“ jelas Hilmar.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa saat ini ada ribuan paket yang ditahan oleh pihak Bea Cukai sebelum keluar dari Indonesia dengan alasan benda-benda itu diduga mengandung nilai sejarah.
Baik yang ada dalam daftar Cagar Budaya maupun tidak.
“Jadi pencegahan itu sebenarnya ada dan berjalan cukup efektif, bahkan untuk benda-benda yang sebenarnya tidak masuk ke dalam daftar, tapi tetap ditahan,“ tambahnya.
Direktur Pelindungan Kebudayaan Judi Wahjudi, mengatakan bahwa pihak Kemendikbudristek akan menerima artefak-artefak tersebut dari Kemlu untuk dilestarikan dan dikelola di Museum Nasional.
“Untuk memastikan penanganan benda-benda tersebut, di Ditjenbud Kemendikbudristek sudah ada lembaga Museum dan Cagar Budaya yang membawahi 18 museum yang didukung oleh SDM yang kompeten serta sarana dan prasarana yang cukup memadai,“ kata Judi.
Demi mencegah pencurian dan penyelundupan artefak ilegal, Judi mengatakan Kemendikbudristek akan memperkuat aturan serta implementasinya seperti penetapan menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional.
“Juga meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak seperti Interpol Kepolisian, Kemenlu, Kemenkumham, Bea Cukai dan Imigrasi,“ tambahnya.
Ketika ditanya ada berapa jumlah artefak hilang dalam database, Judi mengatakan pihaknya masih menelusuri data benda-benda bersejarah yang dicuri. Sebab, ia mengatakan kasus-kasus pencurian artefak “rata-rata kejadiannya itu sudah lama [sehingga] belum ada di database“. (*)
Tags : artefak majapahit, artefak diseludupkan, artefak senilai rp6, 5 miliar, artefak majapahit kembali ke indonesia, artefak dijarah sindikat gelap, artefak indonesia dijual ke luar negeri,