PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Riau di Pilkada 2024 dipastikan akan diikuti oleh 3 pasangan calon yang akan bertarung pada 27 November mendatang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau akan menetapkan ketiga Paslon tersebut pada Minggu 22 September 2024.
Masyarakat Riau sebagai pemilih perlu mengetahui visi dan misi para kandidat. Secara umum, visi misi ketiga Paslon tersebut cukup baik, namun terkesan muluk-muluk.
Berikut visi dan misi ketiga Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau di Pilkada 2024:
Syamsuar-Mawardi Saleh, Partai pengusul: Partai Golkar dan PKS
Visi: Terwujudnya Riau maju dan bermartabat sebagai pusat ekonomi Sumatera dan gerbang utama ekonomi ASEAN tahun 2029.
Misi:
M. Nasir-Muhammad Wardan, Partai pengusul: Partai Gerindra, PPP, PAN, Demokrat, Perindo, PSI dan Partai Gelora.
Visi: Riau Berdaya Saing, Berintegritas, Maju dan Berbudaya Melayu, Menuju Riau Emas.
Misi:
Abdul Wahid-SF Hariyanto, Partai pengusul: PKB, PDI Perjuangan dan Partai Nasdem
Visi: Riau Berbudaya Melayu, Dinamis, Ekologis, Agamis dan Maju.
Misi:
Tetapi Saiman Pakpahan, pengamat politik dari Universitas Riau (Unri), menyoroti praktik demokrasi yang berkeadilan masih diragukan.
Masa kampanye Pemilu 2024 akan dimulai 27 November 2024. Saiman Pakpahan berharap kepada peserta politik 2024 dalam menjelaskan secara gamblang visi misi dan program kerjanya kepada rakyat.
"Kalau tidak mau menjelaskan sepenuhnya, harapannya apa, strateginya apa, maunya jadi apa, ya mungkin seperti 5 tahun yang lalu, bicaranya sekadar pepesan kosong saja," dalam penilaiannya.
Dia juga berharap agar para peserta pemilu menghindari materi-materi kampanye yang dapat menimbulkan benturan antarpendukung maupun antarmasyarakat.
"Kondisi saat ini sudah berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pasalnya masyarakat sudah masuk industrialisasi dan modernitas. Sehingga dinamika di masyarakat sudah jauh berbeda dibanding 10 tahun lalu," sebutnya.
"Kalau masih punya cara yang sama 5 sampai 10 tahun lalu, sudah tidak mungkin jadi pilihan," kata Saiman Pakpahan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sudah menyatakan tiga pasangan calon Gubernur dan wakil gubernur sudah penuhi syarat untuk maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Riau 2024, namun pengamat memerhatikan masih ada salah satu kandidat yang memanfaatkan jabatan.
Memasuki masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, perhatian publik tertuju pada sejumlah calon yang masih memanfaatkan fasilitas negara dan jabatan yang mereka emban untuk keperluan politik pribadi.
"Fenomena ini memicu kekhawatiran keadilan dalam proses demokrasi di Indonesia," kata Saiman Pakpahan, menyoroti praktik ini sebagai bentuk surplus kekuasaan yang dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah yang masih memegang jabatan publik.
Tetapi kembali seperti disebutkan Saiman Pakpahan, pengamat politik dari Universitas Riau (Unri), menyoroti praktik ini sebagai bentuk surplus kekuasaan yang dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah yang masih memegang jabatan publik.
"Pertama, mereka yang sedang menjabat tetapi mencalonkan diri sebagai kepala daerah sering memanfaatkan fasilitas negara dan kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan politik," ujar Saiman, Rabu (18/9/2024).
Ia menambahkan bahwa secara substansial, ketika seorang pejabat telah memperlihatkan gestur politik dan niat bertarung dalam Pilkada, maka harusnya menanggalkan semua fasilitas publik yang melekat.
"Secara substansial, ketika dia sudah terlihat ingin bermain politik, dia harus fair dan meninggalkan jabatan tersebut. Karena fasilitas yang dia gunakan adalah fasilitas publik, bukan fasilitas kelompok," jelas Saiman.
Namun, dalam praktiknya, banyak calon kepala daerah berlindung di balik pendekatan administratif. Mereka beralasan bahwa status mereka masih sebatas calon dan belum ditetapkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Secara administratif, mereka berlindung dengan alasan bahwa mereka belum ditetapkan sebagai calon. Sehingga masih bisa memanfaatkan jabatan yang mereka pegang," lanjutnya.
Saiman menyoroti contoh nyata di mana masih ada calon kepala daerah yang sampai saat ini tetap menjabat, dan berkeliling melakukan sosialisasi dengan menggunakan fasilitas negara, sementara baliho-baliho sosialisasinya sudah tersebar di berbagai tempat.
"Kalau ditanya, mereka mengatakan, 'Saya kan masih mendaftar, belum ditetapkan.' Secara administratif, memang benar, tapi secara substansial, mereka sudah menjadi calon dan mulai memanfaatkan kekuasaan mereka untuk keuntungan elektoral," tambahnya.
Situasi ini menimbulkan dilema bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang terikat pada aturan yang ada.
Menurut Saiman, Bawaslu tidak dapat bertindak karena tidak ada regulasi yang secara spesifik mengatur situasi seperti ini.
"Bawaslu sendiri juga terikat oleh aturan yang ada, sehingga tidak bisa menindak karena secara administratif, memang belum ada pelanggaran," ungkapnya.
Masalah ini semakin kompleks ketika dihadapkan dengan peraturan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana ASN kecil dilarang berpolitik, namun para pemimpin yang mencalonkan diri justru memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan politik.
"Ironisnya, ASN kecil dilarang berpolitik, tapi mereka yang memimpin justru berpolitik. Ini adalah masalah besar dalam sistem pemerintahan kita yang membiarkan fenomena politik berjalan secara substansi, tapi tunduk pada aturan birokrasi yang tidak memadai," kata Saiman.
Ia juga menyoroti bahwa KPU sebagai penyelenggara Pilkada seharusnya dapat membaca dan menangani situasi ini dengan lebih baik.
"KPU harusnya bisa melihat gestur politik ini, bahwa seorang pejabat yang mencalonkan diri memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan elektoral. Ini merusak demokrasi karena mereka memanfaatkan sumber daya yang seharusnya dimiliki secara adil oleh semua peserta Pilkada," tegas Saiman.
Ke depan, diperlukan regulasi yang lebih tegas untuk mencegah penyalahgunaan jabatan oleh calon kepala daerah yang masih menjabat, demi memastikan kompetisi politik yang sehat dan setara bagi semua peserta.
Provinsi paling rawan kecurangan netralitas ASN
Sementara Themis Indonesia Law Firm merilis peta sebaran sepuluh provinsi di Indonesia yang berpotensi terjadi kecurangan pilkada terkait pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN.
“Kami telah mengelompokkannya ke dalam sepuluh provinsi potensial di mana terdapat munculnya permasalahan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan ASN,” kata peneliti Themis, Hemi Lavour selaku pemapar diskusi pada Sabtu, 21 September 2024.
Pemilihan sepuluh provinsi tersebut merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Themis dan Yayasan Dewi Keadilan Indonesia.
Adapun metode penelitian yang digunakan, yakni purposive sampling yang didasarkan pada perbandingan antara jumlah Daftar Pemilih Tetap atau DPT dan jumlah ASN di masing-masing provinsi.
Dalam dokumen yang dipublikasikan Themis dengan judul “Peta Sebaran Potensi Kecurangan Pengerahan ASN Pada Pilkada Serentak 2024”, dijelaskan bagaimana peran ASN dalam kecurangan pilkada serentak ini.
Dalam dokumen tersebut, dijelaskan bahwa wilayah DPT yang memiliki jumlah ASN yang besar umumnya memiliki jumlah ASN yang tinggi juga.
Dari keterangan tersebut, disimpulkan bahwa tingginya jumlah ASN tersebut berpotensi mewujudkan pelanggaran netralitas yang lebih signifikan.
Selain memanfaatkan suara ASN dalam pencoblosan, mereka digunakan untuk dapat mengintervensi pilihan massa yang mana akan memengaruhi hasil pemilihan paslon dukungannya agar menang.
“Mereka memiliki peran sentral untuk dapat membuat seseorang menjadi menang maupun menjatuhkan lawan politiknya di daerah-daerah tersebut,” kata Hemi.
Dalam sepuluh provinsi itu, Hemi memberi contoh beberapa daerah yang disebut sebagai provinsi vital yang berpotensi menjadi wilayah kecurangan sepanjang penyelenggaraan pilkada serentak, yakni Provinsi Sumatera Utara dari pulau Sumatera, Provinsi Jawa Barat dari kategori pulau Jawa, Provinsi Kalimantan Utara dari Pulau Kalimantan, dan Provinsi Sulawesi Selatan dari pulau Sulawesi.
“Itu berada di provinsi-provinsi kunci yang harus diperebutkan oleh partai politik untuk dapat mempertahankan kekuasaannya di pemilu berikutnya,” kata Hemi.
Hemi menjelaskan, ASN menjadi kunci untuk melawan paslon yang bukan seorang pertahana agar mempersulit mereka untuk melawan pihak yang memiliki latar belakang pemimpin dari suatu daerah yang memiliki kuasa untuk memengaruhi arah dukungan ASN.
“Mereka akan sulit untuk bertarung dengan orang yang berstatus pertahana,” kata dia.
Berikut merupakan sebaran 10 provinsi di Indonesia yang berpotensi mengalami kecurangan akibat pelanggaran netralitas ASN.
(*)
Tags : pemilihan gubernur riau, pilgubri 2024, pilkada serentak 2024, kecurangan pilkada, netralitas asn, pilkada riau 2024, visi misi calon gubernur,