LINGKUNGAN - Tiga perempuan Pemerhati Lingkungan yakni dari Indonesia, China, dan Vietnam termasuk negara dengan penghasil sampah plastik terburuk dunia buat gerakan 'tanpa sampah' yang dibuang ke laut.
Foto sungai-sungai yang tersumbat plastik di Indonesia dan paus mati terdampar di pantai Filipina menyebar di media sosial. Berbagai kejadian ini membuat sejumlah orang mulai menerapkan gerakan tanpa sampah.
Para pegiat gerakan ini termasuk tiga perempuan di Indonesia, China dan Vietnam menurut laporan Ocean Conservancy 2015 berbicara pada pers, terkait dengan langkah mereka mengurangi sampah.
Longsor di TPA Bandung
Astri Puji Lestari, 30 tahun, adalah seorang arsitek di Bandung yang berusaha hidup "tanpa-sampah" dalam delapan tahun terakhir. Dia menggunakan akun Instagram-nya untuk menyebarkan gaya hidup tanpa-sampah kepada para pengikutnya.
Dia tidak memandang dirinya sebagai seorang "pahlawan-lingkungan". Dia meyakini perjalanannya untuk mengurangi plastik akan berlangsung seumur hidup.
Kejadian yang menyadarkannya tentang masalah sampah adalah longsor di sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) 14 tahun lalu di Bandung. Kejadian ini menimbulkan korban jiwa dan mengubur sejumlah desa.
"Saya pikir, bagaimana jika sampah di TPA berasal dari diri saya. Ini menjadi pendorong utama bagi diri saya untuk lebih bertanggung jawab terkait cara saya membuang sampah," katanya.
Baru-baru ini di Bandung, tentara harus dilibatkan untuk mengatasi "gunung" sampah plastik yang menyumbat anak sungai.
Pemerintah Indonesia menetapkan sasaran untuk mengurangi sampah plastik di laut sampai 70% pada tahun 2025.
'Bukan pekerjaan sendiri'
Lestari mengatakan media sosial memainkan peran besar dalam menghimpun gerakan tanpa-sampah di Indonesia.
"Kadang-kadang saat memberikan tips di internet, saya menemukan orang lain yang memecahkan masalah yang berbeda terkait dengan sampah dan konsumsi dan kita dapat belajar satu sama lain," katanya.
Tip paling penting dari Lestari adalah buat sabun cuci pakaian sendiri. Dia menekankan ini adalah sebuah langkah sederhana dan hanya memerlukan empat hal: soda kue, soda cuci, sabun batangan dan minyak. Dia mengatakan ini lebih ramah lingkungan dan mudah dilakukan.
Tetapi dia bersikap realistis terkait dengan masalah lingkungan saat ini.
"Tiga tantangan terbesar dalam menerapkan gaya hidup ini adalah kemalasan, apatisme dan ego kita dalam mengkonsumsi berbagai hal. Ini adalah perjalanan panjang, tetapi hal yang mendorong saya untuk tetap melakukan hal ini adalah dorongan untuk menyaksikan lingkungan kita menjadi bersih dan sehat, ini adalah sebuah hak yang istimewa".
Toko tanpa sampah pertama di Beijing
Gerakan ini berupa pengurangan konsumsi, meminimalkan jumlah limbah, mendukung pengkomposan dan daur ulang sementara memastikan produk yang Anda pakai ramah lingkungan dan dapat didaur ulang.
Tetapi di daerah yang terkenal akan budaya makanan jalanan yang dibawa pulang dan plastik sekali pakai, seberapa mudah hal ini dilakukan?
Carrie (余元 Yu Yuan) adalah satu dari sejumlah perempuan China yang bergabung dalam gerakan tanpa-limbah dunia.
Bersama-sama dengan rekannya Joe Harvey dia membuka toko tanpa-sampah pertama di ibu kota China, Beijing pada tahun 2018.
Yu mengenal gerakan ini saat menonton pidato Bea Johnson, pendukung gerakan ini di Amerika Serikat. Meskipun demikian baru pada tahun 2016, saat pindah ke flat, dia mulai benar-benar memikirkan kebiasaan konsumsinya.
"Saat mengemas barang-barang, saya menyadari bahwa banyak hal yang tidak pernah saya pakai atau sebenarnya tidak saya perlukan dari permulaan," katanya kepada BBC.
Tip terpentingnya adalah mulailah dengan hal kecil dan mencari alternatif yang berkelanjutan terkait dengan barang sehari-hari.
Dia mengganti sikat gigi plastik dengan yang dapat didaur ulang secara alamiah dan dirinya juga membuat sendiri pasta gigi dan minyak wajah, sehingga dia dapat mencegah menghasilkan sampah yang berakhir di TPA atau mesin pembakar.
Tolong bawa tas plastik Anda sendiri!
Saat belajar di Jepang, Thao Hoang menjadi tertarik dengan cara mengatasi masalah limbah Vietnam.
Dia mengamati bagaimana sejumlah pengecer Jepang memberikan insentif kepada para konsumen untuk membawa tas mereka sendiri ke toko dengan cara memberikan potongan harga.
Setelah kembali di Vietnam, dia berpikir apakah dirinya dapat menjadi contoh dengan menunjukkan kepada orang lain terkait betapa mudahnya menjalankan hidup tanpa-sampah. Hoang berharap lewat tindakannya dirinya akan mendidik sesama warga terkait betapa pentingnya masalah polusi plastik.
"Begitu banyak warga Vietnam ingin menerapkan cara hidup lebih lebih ramah-lingkungan, tetapi mereka tidak mengetahui caranya," katanya.
Hoang menjalankan 'Go Eco Hanoi', sebuah toko tanpa sampah di Vietnam.
"Saya ingin menciptakan sebuah tempat di mana orang dapat datang dan berbelanja kebutuhan sehari-hari sehingga jika Anda ingin membeli makanan dari penjual atau di toko serba ada, maka Anda dapat membawa wadah Anda sendiri dan meminta mereka untuk menaruh daging atau makanan ke dalamnya," kata Hong.
Dia kemudian menciptakan halaman Facebook She created the Facebook page Nói Không Với Túi Nylon (Katakan Tidak Terhadap Tas Plastik) pada tahun 2016.
Sekarang lebih dari 70.000 pengikut yang mendukungnya dan terlibat dalam lokakarya yang Hoang selenggarakan.
Perempuan ini juga bekerja dengan para pebisnis di Hanoi untuk memastikan mereka menerapkan biaya tambahan atas penggunaan tas plastik dan memberikan uang kembali atau poin ramah lingkungan jika mereka tidak memakai tas plastik. (*)
Tags : Tiga Perempuan Asia, Perempuan Pemerhati Lingkungan, Gerakan Tanpa Sampah, Sampah Dibuang ke Laut,