
TOKO, bar, atau kafe akan beroperasi tanpa staf pramusaji atau pelayan dengan memakai sistem otomatisasi sangat cocok mulai diterapkan di Indonesia.
Proses otomatisasi itu sudah dimulai dari sekarang, tapi sebetulnya apa untung dan rugi sistem ini?
Beberapa sektor ritel mulai mengembangkan layanan toko swalayan atau minimarket tanpa kasir. Barang dipindai dengan sensor atau aplikasi ponsel pintar, bayar tagihan secara online.
Hal ini juga yang ditawarkan sebuah minimarket bernama Loop Neighborhood di California. Adapun toko ini menggunakan cara kerja perangkat lunak yang dibuat oleh perusahaan ritel otonom AiFi.
Pembayaran tanpa kasir telah mendapatkan momentum sepanjang tahun 2021, dengan sejumlah startup mendapatkan pendanaan dan instalasi sistem go public.
Ini merupakan tahun yang sangat sibuk bagi AiFi, yang menjalin kemitraan dengan jaringan toko serba ada Belanda Wundermart yang pada akhirnya akan membuka 1.000 lokasi otonom.
AiFi juga bermitra dengan Verizon untuk membuka NanoStore popup bertenaga 5G di Indianapolis 500 tahun ini.
Baru-baru ini, perusahaan membuka NanoStore otonom dengan rantai kenyamanan Polandia abka.
Sebelumnya juga ada beberaapa toko yang sudah lebih awal menggunakan sistem ini seperti Zippin yang membuka toko di Barclay's Center di New York. Trigo membuka toko tanpa kasir dengan jaringan toko kelontong Rewe di Jerman dan korea.
Amazon membuka toko kelontong tanpa kasir berukuran penuh pertama di negara bagian Washington.
"Ketika ingin sekali makan camilan. Namun, waktu telah menunjukkan lewat tengah malam di pinggiran Kota Seoul, Korea Selatan," kata Kim Sung-rea, pendiri bar tanpa staf bernama Sool 24, yang berarti minuman beralkohol 24 jam.
Meski sudah larut malam, tidak masalah, ungkapnya.
"Di seberang jalan apartemen saya, ada tiga toko swalayan yang buka 24 jam," sebutnya.
"Gerai yang saya masuki adalah toko es krim. Ada deretan lemari es dengan berbagai macam es krim di dalamnya. Yang membuat saya agak heran, tidak ada satpam atau pelayan toko," tambahnya.
Hanya ada jejeran produk yang dipajang dalam kios otomatis tempat pembeli membayar barang belanjaan, "tinggal mengambil apa yang diinginkan dan membayar sebelum pergi."
Di blok yang sama dengan toko ini, ada gerai yang menjual alat tulis, makanan hewan peliharaan, bahkan sushi. Semuanya juga tidak berpenghuni, alias tidak ada satupun staf yang terlihat.
Di daerah yang padat penduduknya di pusat kota, bahkan ada bar tanpa karyawan.
"Untuk mengoperasikan bar sebesar ini dan mendapatkan laba, saya semestinya mempekerjakan 12 hingga 15 staf, namun saya hanya membutuhkan dua orang," ujar Kim Sung-rea.
Ia bilang keputusan itu memberinya waktu untuk fokus pada bisnis lain.
Dia dulu mengoperasikan bar di dekat area sini, tetapi ketika pendapatan tidak memenuhi harapan, ia beralih ke sistem tanpa staf. Alhasil profit yang didapatnya kini meningkat.
Tingkat kelahiran yang rendah selama puluhan tahun dan upah yang meningkat telah mendorong sistem otomatisasi ini.
Korea Selatan mengalami tingkat kesuburan terendah di dunia. Jumlah rata-rata anak yang akan dilahirkan seorang perempuan seumur hidupnya turun menjadi 0,72 pada 2023 dan sedikit naik menjadi 0,75 pada 2024.
Untuk mempertahankan populasi agar stabil, tingkat penggantian kesuburan setidaknya harus 2,1—angka itu terakhir kali dicapai Korea Selatan pada 1982.
Tingkat penggantian kesuburan (replacement fertility rate) adalah tingkat kesuburan saat jumlah kelahiran cukup untuk menggantikan orang-orang yang meninggal atau meninggalkan suatu komunitas.
Ini berarti, jumlah orang yang memasuki pasar tenaga kerja telah menurun. Adapun upah minimum telah naik dengan stabil sejak tahun 2000.
Bagi pemilik bisnis seperti Kim Sung-rea, ini berarti dia harus membayar sekitar US$7 (setara Rp115.000) per jam untuk seorang pekerja.
"Alasan utama saya untuk tidak punya pegawai adalah peningkatan upah minimum. Ada dua cara untuk menghadapi tantangan ini: robotika atau otomatisasi dan kemudian peniadaan karyawan," kata Kim.
Untuk menggunakan robot membutuhkan lebih banyak uang dan ruang, jadi dia memilih toko tanpa karyawan.
Tapi situasi pandemi Covid-19 ternyata ikut mendorong perubahan menuju otomatisasi ini karena bisa menghemat pengeluaran untuk menggaji pegawai serta membantu menghindari aturan pembatasan sosial yang ketat.
Beberapa orang mengatakan generasi pekerja sekarang tidak ingin melakukan apa yang disebut "pekerjaan 3D", yang dianggap kotor, berbahaya, dan sulit atau merendahkan.
Pekerjaan 3D merujuk pada kerja manual di bidang manufaktur, pertanian, dan ritel.
"Generasi muda mencoba untuk tetap berada di wilayah metropolitan dan mereka juga suka membuat usaha sendiri, mendirikan startup, atau mencoba untuk... mengejar pekerjaan di bidang teknologi tinggi yang gajinya juga tinggi," papar Cho Jung-hun.
Cho Jung-hun adalah anggota partai yan berkuasa di majelis nasional sekaligus anggota Komite Tetap Pendidikan.
"Tidak seperti beberapa pembuat kebijakan lainnya, saya tidak menyalahkan generasi muda kita [karena memiliki] preferensi seperti itu," kata Cho.
"Statistik menunjukkan kita harus menghadapi penurunan tenaga kerja di tahun-tahun mendatang dan yang terbaik adalah mengalokasikan tenaga kerja kita yang terbatas ke sektor-sektor dengan nilai maksimum," ungkapnya.
Institut Penelitian Ekonomi Korea, sebuah lembaga penelitian yang didanai swasta, memperkirakan 43% pekerjaan di Korea berisiko digantikan oleh otomatisasi dalam 20 tahun ke depan.
Itu berarti peluang baru bagi orang-orang seperti Kwon Min-jae, CEO Brownie, sebuah perusahaan yang mengelola toko tanpa staf.
Dia memulai bisnisnya di akhir pandemi Covid, pada 2022.
"Kami mengelola tempat binatu tanpa staf, toko es krim, minimarket, kafe, dan toko vape," ucapnya kepada BBC.
"Bahkan jika toko tidak punya karyawan, toko tersebut harus tetap dibersihkan, dirawat, dan diisi kembali," lanjut Kwon.
Mulanya, pemilik toko melakukan pekerjaan itu sendiri. Kini, perusahaan Kwon menyediakan pekerja yang bisa merawat toko-toko tersebut.
"Kami memiliki staf lokal yang bisa mengunjungi beberapa toko dalam sehari. Prioritas terbesar bagi pemilik adalah tidak berurusan dengan toko-toko dan tidak memikirkannya," katanya kemudian.
"Mereka lebih suka membayar kami US$100 (sekitar Rp1,6 juta) atau US$200 (Rp3,3 juta) per bulan agar kami bisa mengelola toko-toko mereka."
Kwon mengatakan awalnya dia memulai bisnis ini hanya dua toko, tetapi sekarang mengelola lebih dari 100 toko.
Tingkat kasus pencurian di Korsel sangat rendah sehingga menambah keberhasilan toko-toko tanpa staf ini.
"Bahkan ada kasus ketika orang lupa membayar, orang itu kemudian menelepon saya untuk membayar tagihan mereka," jelas Kim.
"Saya tidak tahu tentang toko-toko lain, tapi orang-orang muda di sini merasa cukup aman meninggalkan dompet dan ponsel mereka demi mendapatkan meja untuk makan."
Meski begitu, dia mengakui mungkin ada beberapa kerugian karena pencurian di toko, namun kerugiannya tidak cukup besar untuk melumpuhkan bisnisnya.
"Saya tidak pernah benar-benar menghitung apa yang dicuri. Secara umum, saya tidak kehilangan uang yang cukup besar, jadi itu bukan masalah besar."
"Biaya untuk menghemat uang lebih besar daripada kerugiannya, dan mempekerjakan petugas keamanan akan lebih mahal daripada yang dihemat."
Dengan kemajuan teknologi, berarti akan lebih banyak pekerjaan seperti mengemudi menjadi tidak diperlukan lagi, apalagi setelah mobil tanpa pengemudi membanjiri pasar otomotif di dunia.
Pada 2032, diperkirakan Korea Selatan akan membutuhkan lebih dari 890.000 pekerja tambahan untuk mempertahankan target pertumbuhan ekonomi jangka panjang negara tersebut sebesar 2%.
Beberapa pihak, seperti Serikat Buruh Korea Mart, merasa khawatir mengenai masa depan pasar tenaga kerja.
Namun pihak lain seperti pemilik bar tanpa staf, Kim Sung-rea, sangat optimistis tentang peluang ekonomi yang akan datang. (*)
Tags : toko tanpa pelayan, toko tanpa pekerja, toko pakai sistem otomatisasi, bisnis, ekonomi, teknologi,