Agama   21-06-2025 15:58 WIB

Tradisi Gotong Royong dalam Islam Terlihat di Masjid Quba jadi Pelajaran Sejak dari Rasulullah untuk Umat 

Tradisi Gotong Royong dalam Islam Terlihat di Masjid Quba jadi Pelajaran Sejak dari Rasulullah untuk Umat 

Tradisi gotong royong dalam Islam sejak awal menjadi dasar penguatan ukhuwah.

AGAMA - Masjid Quba di Kota Madinah bukan hanya bangunan suci yang pertama kali dibangun Nabi Muhammad SAW, tetapi juga simbol abadi kegotongroyongan dan persaudaraan umat Islam yang semangatnya tetap relevan hingga kini.

“Masjid Quba dibangun dengan semangat kolektif. Ini menjadi teladan tentang bagaimana umat membangun kebersamaan, bukan hanya fisik tapi juga spiritual,” ujar Mustasyar Dini Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 2025, Oman Fathurrahman, di Madinah, Kamis (19/6/2025).

Ia menjelaskan tradisi gotong royong dalam Islam sejak awal telah menjadi dasar penguatan ukhuwah, dan Masjid Quba menjadi manifestasi awal dari prinsip tersebut di tanah Hijaz. Rasulullah SAW tidak hanya memimpin secara spiritual, tetapi juga turut serta secara fisik dalam pembangunan Quba

“Rasulullah ikut mengangkut batu, bekerja bersama kaum Muhajirin dan Anshar. Semua punya peran, tidak ada yang superior. Inilah etika gotong royong yang menjadi ruh utama masyarakat Islam awal,” jelas Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Dalam sejarahnya, komunitas kaum Muhajirin dan Anshar bertemu untuk pertama kalinya secara menyatu di sini, memperlihatkan bagaimana perbedaan latar belakang justru dijadikan kekuatan, bukan sumber perpecahan.

Dalam pandangan Oman, simbol seperti Masjid Quba sangat penting untuk diangkat kembali di tengah dunia Islam yang kian terpolarisasi.

Ia menyebut di masa Rasulullah, semangat kolektif ini pernah diganggu oleh upaya-upaya memecah belah umat, salah satunya melalui pembangunan Masjid Dirar oleh sekelompok orang munafik.

Masjid Dirar yang didirikan pada tahun 9 Hijriyah bukan untuk menyatukan umat, tetapi untuk menyaingi Quba, membangun faksi, memecah persaudaraan, dan menyebarkan fitnah di tengah masyarakat Muslim yang sedang tumbuh kuat.

“Masjid Dirar menjadi pelajaran penting dalam sejarah Islam. Ketika rumah ibadah digunakan sebagai alat politik pecah-belah, maka justru dihancurkan oleh Rasulullah sendiri. Kontras dengan Quba yang dibangun untuk meneguhkan kesatuan. Ini dua simbol berlawanan: Quba lambang persatuan, Dirar lambang perpecahan,” ujarnya.

Menurut Oman, kedua masjid ini —Quba dan Dirar—harus selalu dibaca bersamaan agar umat Islam tidak sekadar mengagumi masa lalu, tetapi juga memahami setiap zaman memiliki tantangan yang serupa dalam menjaga ukhuwah dan keikhlasan dalam beragama. 

Ia menyampaikan umat Islam saat ini perlu kembali kepada nilai-nilai dasar Islam yang mengedepankan persatuan, kerja sama, dan keterbukaan, bukan perpecahan atas nama fanatisme kelompok atau ideologi sempit.

“Gotong royong itu bukan hanya soal kerja bersama, tetapi soal membangun niat bersama yang tulus dan terbuka. Itulah yang membedakan Quba dari Dirar. Di Quba ada cinta, kejujuran, dan keikhlasan. Di Dirar ada niat untuk menguasai dan menyesatkan,” tambah Oman.

Masjid Quba juga memiliki kaitan erat dengan fase awal pembentukan masyarakat Madinah yang majemuk. Tidak lama setelah pembangunan masjid ini, Rasulullah SAW merancang sebuah kesepakatan sosial-politik yang dikenal sebagai Piagam Madinah, dokumen yang menjadi tonggak awal konstitusi masyarakat plural.

Di dalam piagam tersebut, termuat prinsip-prinsip kesetaraan antarwarga, jaminan kebebasan beragama, serta kerja sama antarkelompok untuk menjaga stabilitas dan keadilan. Semangat yang tertanam di Masjid Quba menjadi pondasi moral bagi penyusunan piagam tersebut.

Menurut Oman, Masjid Quba dan Piagam Madinah ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Yang satu membangun spiritualitas dan solidaritas umat melalui ibadah bersama, sementara yang lainnya mengatur tatanan hidup bermasyarakat secara adil dan damai.

Masjid Quba menjadi simbol semangat ukhuwah internal umat Islam, sedangkan Piagam Madinah meluaskannya ke lingkup sosial yang lebih luas antara Muslim dan non-Muslim. 

Oman mengajak jamaah haji Indonesia yang berkesempatan berkunjung ke Masjid Quba untuk merefleksikan kunjungannya bukan sekadar ziarah historis, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya solidaritas dalam kehidupan sosial dan kebangsaan. Tidak hanya melaksanakan sholat, tetapi juga merenungkan pelajaran yang terkandung di baliknya. 

Sholat dua rakaat di Masjid Quba, yang disabdakan Rasulullah bernilai seperti satu umroh, bukan hanya ibadah formal tetapi bentuk koneksi spiritual dengan semangat yang dahulu dibangun Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.

“Bangunan ini menjadi saksi bahwa agama Islam berdiri tidak di atas kekuasaan atau kekerasan, melainkan kerja sama yang ikhlas dan kesetaraan antarmanusia. Kita sebagai umatnya harus melanjutkan semangat itu dalam kehidupan sosial kita, termasuk dalam berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Bagi jamaah haji Indonesia, Masjid Quba telah lama menjadi bagian dari napak tilas spiritual di Kota Madinah. Banyak yang menyempatkan sholat dua rakaat di masjid ini, mengikuti sunnah Rasulullah yang pernah bersabda bahwa sholat di Masjid Quba memiliki keutamaan setara dengan satu kali umroh.

“Begitu menginjakkan kaki di sini, terasa haru luar biasa. Kita membayangkan Nabi membangun tempat ini dengan tangan beliau sendiri. Jadi bukan hanya sholat, tapi juga ziarah rasa,” ujar Sumiyati, seorang jamaah asal Banten yang mengaku sudah meniatkan sholat di Masjid Quba sejak awal berangkat ke Tanah Suci.

Menurut Oman, Indonesia juga dibangun dengan semangat gotong royong yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Persatuan dalam keberagaman, musyawarah dalam pengambilan keputusan, serta kepedulian sosial merupakan bentuk implementasi nilai-nilai Quba di Tanah Air.

Dalam konteks kekinian, nilai-nilai itu bisa diterjemahkan dalam kerja kolaboratif antarumat, solidaritas lintas golongan, dan kepekaan sosial terhadap kelompok rentan.

Indonesia butuh lebih banyak "Quba-Quba" baru dalam kehidupan sekarang, yakni ruang-ruang sosial tempat umat Islam bisa bersatu, bekerja sama, dan saling tolong-menolong dalam membangun kebaikan.

Semangat gotong royong dalam Islam bukan hanya urusan ibadah, tetapi juga berkaitan dengan pembangunan sosial, ekonomi, hingga kebudayaan.

“Itulah mengapa Masjid Quba penting. Ia mengingatkan kita bahwa Islam dibangun di atas nilai kebersamaan, bukan individualisme atau eksklusivitas,” tambahnya.

Ia berharap pelajaran dari Masjid Quba dapat menjadi inspirasi dalam membangun Indonesia yang lebih adil dan inklusif. Indonesia juga dibangun dari semangat gotong royong. Ini sangat sejalan dengan nilai-nilai Islam yang kita pelajari dari Rasulullah.

Masjid Quba kini menjadi cerminan dari semangat Islam yang menyatukan. Tidak hanya umat Islam dari Indonesia, jamaah dari berbagai negara datang dengan semangat yang sama: memperkuat ukhuwah dan mengambil pelajaran dari sejarah. (*) 

Tags : Masjid Quba, sejarah Masjid Quba, gotong royong Islam, ukhuwah Islamiyah, Masjid Dirar, Piagam Madinah, spiritualitas Madinah, pelajaran dari Nabi, ziarah Madinah, jamaah haji Indonesia,