TRADISI meriam karbit dianggap 'lebih penting' dibanding menjaga diri dari serangan virus corona. Ini dilakukan jauh di pedalaman Sigli, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, tepatnya pada malam hari pertama Idul Fitri, sebuah tradisi berlangsung dengan meriah.
Tradisi yang diklaim warga sekitar sudah berlangsung sejak pendahulunya pada masa kesultanan Aceh. Tradisi meriam karbit.
Tradisi tahunan ini biasanya berlangsung di sepanjang bantaran Sungai Krueng Baro yang memiliki panjang 61,7 kilometer. Namun kali ini hanya puluhan meriam karbit-yang masing - masing terbuat dari enam rangkaian drum- yang dibunyikan, yakni di Desa Masjid Reubee dan Desa Cut Reubee.
Sementara desa lain tidak ikut-ikutan membunyikan meriam yang memiliki suara dentuman hingga 10 sampai 20 kilometer, lantaran sedang dalam masa pandemi virus corona.
Masyarakat sekitar sudah mulai memadati area sejak pukul 20.00 WIB, mereka datang secara berangsur - angsur dengan saudara ataupun pasangan, hanya beberapa dari mereka yang menggunakan masker.
Panitia meriam karbit, Ismail, mengatakan tradisi tahunan ini jauh lebih penting dari apapun.
"Jika tradisi yang hilang maka tidak dapat dikembalikan lagi, tapi jika orang yang meninggal kita tahu pusaranya," kata Ismail.
Alasan lain masih diselenggarakannya tradisi meriam karbit pada Lebaran tahun ini, menurut Ismail, karena 'masih belum ada Covid-19' di wilayah Kabupaten Pidie.
"Kita takut itu sama pemberi penyakit yaitu pada Allah, bukan pada penyakitnya, akan tetapi kita juga harus mengantisipasi, bukan berarti karena belum ada yang kena penyakit maka penyakit tidak ada," kata Ismail, panitia perayaan meriam karbit.
Ismail rupanya tak melihat data penularan Covid-19 yang dirilis pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darusallam. Terdata sempat ada satu pasien positif virus corona di Kabupaten Pidie dan hingga 25 Mei ada 31 orang PDP serta 30 orang ODP di kabupaten tersebut.
Budayawan Aceh berpendapat berbeda dengan panitia perayaan meriam karbit, 'adat dan budaya bisa ditunda jika dunia sedang berduka cita'.
"Penyelenggaraan tradisi ini bisa ditunda karena persoalan besarnya kita sedang mengalami permasalahan Covid-19," kata Tarmizi A. Hamid, budayawan Aceh.
'Terganggu dan Terbiasa'
Alah bisa karena biasa, demikian perumpamaan bagi warga sekitar di Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie.
Dahulu mereka kerap merasa terganggu dengan getaran dan suara meriam yang begitu dahsyat, tapi sekarang merasa biasa - biasa saja bahkan ada yang memanfaatkannya untuk berjualan, seperti Sadaria Zebua, kelahiran Nias yang sudah 13 tahun menetap di kawasan Pidie Aceh.
Sadaria Zebua mengatakan ketika pertama datang ke kawasan ini ia secara pribadi sangat terganggu dengan suara meriam yang rutin bersahut-sahutan selama 12 jam, tapi sekarang ia terbiasa.
Di tengah pandemi Covid-19, Sadaria tetap datang ke lokasi berlangsungnya tradisi meriam karbit dan berjualan.
"Pertama-tama kita semua orang di pasar ini menggunakan masker, tapi karena Aceh masih wilayah hijau makanya saya tidak pakai lagi, tapi hari ini saya tetap bawa masker yang dibagi oleh aparatur desa," kata Sadaria.
Kepada keluarga, Sadaria, menerapkan prosedur kesehatan seperti yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, yakni tidak menyentuh bagian wajah dan rajin cuci tangan, meskipun kini tidak lagi menggunakan masker.
Iswandi, salah satu warga yang datang ke lokasi perhelatan tradisi meriam karbit dan menggunakan masker, mengatakan tetap datang ke lokasi meriam karbit untuk ikut euforia menyambut hari Lebaran, akan tetapi ia memilih untuk berada di jarak yang jauh dari kerumunan warga sekitar.
"Panitia di sini sebelumnya sudah memberitahukan, agar pengunjung yang datang untuk menggunakan masker, untuk menjaga kesehatannya sendiri, tapi pada faktanya banyak yang datang tidak menggunakan masker," kata Iswandi, warga Pidie.
Sementara Nur Rabitah, warga lainnya mengatakan, "Ini sudah menjadi tradisi, sekalipun sedang (pandemi) Covid-19 tidak bisa dihentikan, karena kegiatan seperti ini hanya berlangsung sekali dalam satu tahun, jadi di sini lebih penting budaya dari pada takut dengan penyakit."
"Kami pergi sama teman - teman untuk menonton meriam karbit, tidak pakai masker karena melihat banyak orang yang tidak menggunakan masker, jadi ya ikut - ikutan juga tidak pakai masker, penyakit ini kan dari Allah, jadi kita serahkan sama Allah aja," kata Nur Rabitah, warga Pidie.
'Bukan Budaya Aceh'
Pada masa lalu, tradisi meriam karbit merupakan hari suka cita ketika menang dalam peperangan dan menyambut hari-hari besar Islam. Pada saat itu pula Sultan Aceh turun tangan untuk membunyikan tujuh kali dentuman yang menandakan hari kebahagiaan, tapi kini praktik ini 'disalahartikan oleh warga'.
Budayawan Aceh, Tarmizi A. Hamid, mengatakan tradisi ini bisa ditunda, untuk menyelamatkan orang, walaupun di tempat tersebut masih belum banyak orang yang terjangkit covid-19. Jadi harus patuh dengan peraturan internasional, harus patuh dengan peraturan pemerintah Indonesia karena tradisi meriam ini jadi tidak terlalu penting.
"Walaupun tradisi ini sudah turun - temurun dilaksanakan, tapi bisa ditunda karena persoalan besarnya kita sedang mengalami permasalahan Covid-19 secara global dan mendunia, jadi tradisi ini tidak perlu dipaksakan untuk tetap berlangsung meski hanya setahun sekali," kata Tarmizi.
Tarmizi menilai seharusnya masyarakat memberikan penghormatan bagi yang sedang berduka cita karena virus ini, walaupun di Aceh kasus Covid-19 masih sangat minim.
"Jika sudah mengganggu orang lain sampai harus diungsikan ke lokasi lain karena besarnya dentuman dari meriam berarti itu sudah mengganggu, dan jika sudah mengganggu itu sudah bukan lagi bagian dari adat dan budaya Aceh," kata Tarmizi. (*)
Tags : tradisi meriam karbit, aceh, tradisi yang dianggap penting, tradisi di aceh bunyikan meriam karbit,