LAILATUL QADAR merupakan malam yang ditunggu oleh masyarakat muslim di bulan Ramadhan. Lailatul Qadar dianggap sebagai malam yang sakral dalam rentetan hari-hari di bulan Ramadhan.
Ada berbagai pendapat dari para ulama tentang ketentuan kapan tepatnya malam Lailatul Qadar berlangsung. Oleh karena itu, malam Lailatul Qadar juga terkadang dianggap sebagai malam misterius.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar berlangsung di antara hari dalam dua pekan terakhir Ramadhan. Sementara itu, sebagian ulama lainnya meyakini Lailatul Qadar tepat pada hari ke-27 Ramadhan.
Terlepas dari perbedaan ketentuan berlangsungnya Lailatul Qadar, setiap kelompok masyarakat memiliki cara sendiri dalam menyambut malam istimewa itu.
"Lailatul Qadar di yakini jatuh pada malam ke-27 Ramadhan," kata H. Darmawi Wardhana Zalik Aris, Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR) menyikapi malam ke 27 Ramadhan ini.
"Lailatul Qadar diyakini sebagai malam seribu bulan, sehingga amal ibadah yang dilakukan pada malam itu setara dengan amal ibadah selama seribu bulan," kata Darmawi menilai.
Demikian pula di Kepulauan Riau, tepatnya di Kabupaten Lingga, yang memiliki tradisi Tujuh Likur untuk menyambut Lailatul Qadar.
"Tujuh Likur yang berarti 27, masyarakat Lingga meyakini Lailatul Qadar berlangsung pada malam ke-27 Ramadhan."
"Pelaksanaan Tradisi Tujuh Likur merupakan kebiasaan masyarakat Kabupaten Lingga yang telah berlangsung sejak lama dan tetap dilestarikan hingga kini," kata Nazum, salah satu tokoh warga Daik dalam bincang-bincangnya melalui ponselnya, Minggu.
Menyambut malam lailatur qadar warga buat lampu colok
Tetapi Nazum menilai, meskipun warga meyakini malam itu ada di hari ke-27, acara menyambut Lailatul Qadar telah dilaksanakan sejak 10 terakhir puasa Ramadhan.
Menurutnya, tradisi Tujuh Likur dilaksanakan di dua lokasi, yaitu dilakukan di masjid dan di rumah masing-masing warga.
"Kalau di masjid dilangsungkan sekali saja, yaitu pada malam puncaknya atau pada malam ke-27 Ramadhan. Rangkaian acaranya meliputi tarawih, kemudian dilanjutkan dengan dzikir, setelah itu membaca ratib, dan ditutup dengan makan juada bersama," sebutnya.
Tradisi Tujuh Likur yang berlangsung di rumah, kata Nazum, telah dimulai sejak malam ke-21 Ramadhan.
"Telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat di Lingga ketika malam ke-21 tiba, dengan tidak akan menutup jendela rumahnya selepas maghrib," sebutnya.
Tetapi kembali disebutkan Darmawi, setiap warga Muslim berlomba-lomba membuat rumahnya seterang mungkin dengan cahaya-cahaya lampu yang benderang hingga keluar jendela.
"Warga Muslim memasang pelita di pekarangan rumahnya dengan jumlah yang disesuaikan dengan urutan malam."
"Pada malam ke-21, setiap rumah akan memasang sebuah pelita di depan rumahnya. Pelita itu akan bertambah sesuai dengan urutan harinya. Ketika malam ke-27 tiba, tidak hanya setiap rumah yang akan dipasang pelita, tetapi juga sudut dan bahu jalan turut diterangi sehingga suasana kampung menjadi terang benderang," terang Darmawi.
Hingga sekarang, kaum muda juga tidak luput andil dalam memeriahkan malam Lailatul Qadar. Mereka akan membuat semacam gerbang atau gapura pada hari menjelang malam ke-27 Ramadhan.
Gapura dibuat dengan bahan sederhana, seperti bambu, kayu, papan, tetapi dikreasikan menjadi bentuk seperti kubah masjid, bintang-bintang, dan ragam tulisan ucapan.
"Biasanya, setelah membuat gerbang ini, mereka akan mengadakan buka dan doa Bersama dengan masyarakat sekitar. Tradisi ini merupakan wujud kearifan lokal masyarakat dalam mengekspresikan semangat dalam menyambut malam Lailatul Qadar," sebutnya.
Tradisi lampu colok di malam lailatul qadar
Pada tahun-tahun sebelumnya, tradisi likuran saat Ramadan di Lingga, warga berlomba-lomba memasang lampu pelita terbuat dari kaleng bekas. Semarak tradisi likuran saat Ramadan di Lingga mulai terasa pada sejumlah desa di sana.
"Tradisi likuran saat Ramadan di Lingga dimulai pada malam ke- 21 sampai ke 29 bulan Ramadan," kata Bahrummazi, warga Jalan Lereng Bukit Kuali, Kelurahan Daik.
Menurutnya, banyak masyarakat Lingga membuat pelita kecil yang diletakkan di depan rumah maupun di samping jalan.
Tradisi likuran saat Ramadan di Lingga warga mengubah kaleng bekas minuman menjadi lampu pelita. Apalagi bagi kampung mereka yang membuat pintu gerbang atau gapura.
Ada yang menggunakan kaleng bekas minuman. Pada bulan Ramadan, kaleng bekas terbilang langka. Karena banyak cari oleh masyarakat untuk membuat pelita.
Jadi seperti dilingkungan Lereng Bukit Kuali RT05/RW03 Kelurahan Daik maupun di RT 003/RW 004 Kampung Suak Rasau, Desa Sungai Buluh, Kecamatan Singkep Barat, warga masih membudayakan pemasangan lampu pelita ini.
Lampu pelita diletakkan di pintu gerbang atau pinggir jalan. Kaleng yang sudah dikumpulkan, disambungi dengan sumbu yang terhubung dengan minyak tanah sebagai bahan bakarnya.
Mengutip seperti disebutkan Lazuardy, Pemerhati Sejarah dan Budaya Lingga mengatakan, malam Tujuh Likur dan pintu gerbang sudah diakui secara nasional, dengan masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Lingga sejak 2019 lalu.
"Malam Tujuh Likur ini selalu dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar."
"Malam Tujuh Liko (Likur) yang terdapat pada malam 27 Ramadan selalu dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar yang terdapat pada malam ganjil, di mana malam itu lebih baik dari seribu bulan. Makanya dari awal malam 21 Ramadan di Lingga sudah memasangkan lampu penerangan," kata Lazuardy.
Menurutnya, peringatan malam tujuh likur ini juga mengingatkan, bahwa sebelumnya umat Islam berada pada zaman kegelapan atau malam kebodohan hingga sampai kepada zaman yang terang benderang yang penuh dengan kemajuan.
Pembuatan lampu colok
"Tujuh Likur ini juga yang dimulai pada tahun 80-an, mereka mempererat silaturahim, berkunjung, berbagi rezeki, hingga merayakan berbuka bersama," ucapnya.
"Dulu pada masa 70-an, masyarakat Melayu Lingga memanfaatkan bahah-bahan bekas atau seadanya untuk membuat pintu gerbang. Namun sekarang, sudah ada pakai triplek, terpal, maupun lampu penerangan dari listrik yang biasanya hanya dibuat dengan lampu minyak tanah atau pelita," kenangnya. (rp.sdp/*)
Tags : ramadhan, tradisi kepulauan riau, lailatul qadar, menyambut ramadhan, budaya, budaya islam, tradisi islam, tradisi tujuh likur menyambut lailatul qadar,