
Tudung Manto berasal dari Kabupaten Lingga menginspirasi yang lahir sejak warisan budaya Kesultanan Lingga.
SENI BUDAYA - Tudung Manto terus dipromosikan ditengah masyarakat karena keelokannya salah satu warisan terdahulu dari Kabupaten Lingga itu masih digemari oleh generasi muda kaum perempuan.
"Generasi muda diharap juga dapat mempromosikan dan turut serta mengembangkan dan bangga terhadap warisan budaya kita,” kata Lina, Ketua Persatuan Istri Dewan (Piswan).
Tudung Manto sendiri merupakan kelengkapan pakaian bagi perempuan melayu Lingga, yang digunakan untuk menutupi kepala.
Tudung Manto, kata dia, biasanya dipakai saat hari-hari tertentu atau waktu tertentu, seperti kegiatan-kegiatan adat dan budaya.
Tudung Manto dikenakan pada saat hari jadi Kabupaten Lingga.
Masyarakat Melayu Daik Lingga telah mengenal Tudung Manto ini sejak tahun 1755 dengan berkembangnya pengetahuan serta keterampilan bertenun di berbagai daerah seperti Kampung Mentok, Siak, Sepincan, Tanda, dan Gelam.
"Pada masa dahulu, disebutkan bahwa perempuan disana telah membuat kain tenun yang disebut juga kain Telepok, kain Cindai, mastuli, cekal dan gramsut. Selain itu juga terdapat kerajinan tekatan membuat Tudung Manto, tampok, bantal gadok, tampok bantal empet, tampok bantal teluk buaya dan pengait bambu," terangnya.
Tetapi saat ini Tudung Manto masih tetap diproduksi dan terus dikembangkan.
Lina berharap keberadaan Tudung Manto tidak hanya sebatas dilestarikan, namun juga harus dapat berdampak pada kehidupan sosial dan perekonomian bagi masyarakat maupun pemerintah daerah.
“Dengan ikut andil dalam pelestarian Tudung Manto, tentunya kita berharap kelestarian ini dapat lebih maju dan bisa merambah ke luar daerah,” imbuhnya.
Tudung Manto juga telah mengantongi sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Kementerian Hukum dan HAM.
"Jadi harus benar-benar dilestarikan dan dikembangkan hingga berdampak positif pada perekonomian masyarakat," sebutnya.
Seluruh elemen masyarakat khususnya kaum perempuan, terutama generasi muda untuk dapat menjaga dan melestarikan serta bersama-sama mempromosikan Tudung Manto ke daerah luar bahkan ke taraf nasional dan internasional.
Memakai Tudung Manto ditengah masyarakat Lingga sudah membudaya.
Seperti upaya yang tengah digalakkan pemerintah daerah dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lingga, saat menggelar pelatihan bagi pengrajin tenun Tudung Manto yang dilaksanakan di Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Jadi pelestarian warisan budaya itu telah melahirkan pengrajin pengrajin tenun Tudung Manto.
“Semakin banyak pengrajin tenun Tudung Manto maka produksi Tudung Manto itu sendiri akan banyak dan memiliki stok,” kata Lina.
"Tudung Manto banyak diminati oleh wisatawan yang datang ke Lingga. Dan itu salah satunya dapat meningkatkan perekonomian khususnya para pengrajin," sambungnya.
Sekarang, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lingga telah melahirkan sebanyak 100 orang pengrajin tenun Tudung Manto.
Tudung Manto memiliki ciri yang khas dan sangat melekat dengan budaya melayu Lingga, kata Ibu Syarifah Puspawati Agusmarli salah satu pengrajin Tudung Manto.
"Baik dalam pembuatannya, untuk dapat menghasilkan satu helai memerlukan keterampilan, kesabaran dan ketelitian serta membutuhkan waktu yang tidak singkat," terangnya.
Tudung Manto salah satu produk lokal yang sangat cocok untuk dijadikan sebagai buah tangan ataupun souvenir bagi yang berkunjung ke kabupaten Lingga.
Tudung Manto dilestarikan hingga pada generasi muda.
“Ia (Tudung Manto) menjadi identitas wanita melayu khususnya Kabupaten Lingga. Generasi muda harus bangga memakai dan memperkenalkan produk lokal kebanggaan Kabupaten Lingga. Bertudong Manto Berkain dagang itulah perempuan Melayu,” tambah Syarifah Puspawati Agusmarli.
Tudung Manto akhirnya ditetapkan sebagai pelestarian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015 lalu.
Selain itu warisan budaya ini untuk memotivasi masyarakat guna mempertahankan maupun mencintai produk lokal yang merupakan khazanah kebudayaan Melayu.
Sebagaimana diketahui, Tudung Manto telah mendapatkan HAKI, sejak 2010 dengan pengakuan secara perorangan atau pribadi.
Seiringnya waktu berjalan pada tahun 2021, Hak Cipta atas Tudung Manto kini melekat pada pemerintah Kabupaten Lingga. Penghargaan tersebut diberikan dalam rangka perlindungan Pengetahuan Tradisonal berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Saya mengajak untuk mewariskan keterampilan menekat Tudung Manto, dengan cara melakukan perekrutan generasi muda, demi melestarikan khazanah bangsa Melayu,” kata Marathusholiha, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lingga.
Bupati Lingga Muhammad Nizar, terus menggalakkan berupa pelatihan pengrajin Tudung Manto.
Bupati mengaku, awalnya hanya terdapat 20 orang pengrajin Tudung Manto. "Tetapi sekarang jumlah pengrajin sudah bertambah," kata M NIzar saat membuka secara resmi kegiatan Fashion Show Tudung Manto yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, di Taman Tanjung Buton, Daik Lingga.
Bagaimana cara membuat Tudung Manto?
Tudung Manto merupakan selendang atau penutup kepala bagian kelengkapan pakai adat warisan turun temurun Kesultanan Lingga sejak zaman dahulu.
Tudung Manto dibuat dengan cara dibordir atau disulam pada kain.
Saat ini nama tudung Manto telah memiliki hak cipta yang telah didaftarkan resmi melalui Kementerian Hukum dan Hak Cipta oleh Syarifah Faridah keturunan bangsawan asli Daik, Lingga, Kepulauan Riau.
Syarifah Maura, selaku cucu dari Syarifah Faridah menceritakan, awalnya tudung Manto hanya bisa digunakan oleh perempuan yang sudah menikah dari kalangan bangsawan zaman Kesultanan Lingga dahulu.
Saat ini sudah mulai dilestarikan dengan dibukanya rumah tekat produksi, sehingga tudung Manto bisa digunakan semua kalangan pada acara-acara khusus seperti pernikahan.
“Dahulu tudung Manto hanya bisa dipakai oleh keluarga Sultan, tapi sekarang sudah mulai kita lestarikan sehingga bisa dipakai semua orang,” ucap Syarifah Maura.
Ia juga mengutarakan harapannya agar bisa mengenalkan tudung Manto sebagai warisan budaya Lingga di tengah minimnya pengetahuan branding para penekat di Daik, lingga.
“Saya berharap semoga bisa tetap lestari dan banyak dikenal orang luar karena memang penekat di Daik, Lingga ini belum mengerti cara membranding atau mengenalkan produk ini ke masyarakat luar,” ujarnya.
Minimnya pengetahuan tentang media sosial dan branding membuat para penekat tudung Manto kesulitan untuk menjual produk mereka.
Sementara itu, tudung Manto asli saat ini hanya tersisa satu dan hanya bisa dilihat di rumah keluarga Syarifah Faridah di Daik, Lingga.
Tudung Manto dipakai sesuai dengan trend hijab. Hijab telah menjadi trend di kalangan kaum perempuan Tanah Air saat ini.
Trend hijab dalam beberapa tahun belakangan terus berkembang pesat dan banyak kalangan perempuan yang berhijab.
Jauh sebelum mengenal istilah hijab, perempuan melayu di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau telah mengenal tudung manto sebagai kain penutup kepala.
Dulunya, tudung manto hanya dipakai kaum bangsawan. Namun, saat ini boleh dipakai semua kalangan.
Tudung manto berupa kain tipis penutup kepala yang terbuat dari berbagai jenis kain seperti kain kase, kain sifon, kain sari, dan kain sutera dengan warna tertentu seperti kuning, hijau, merah, hitam dan putih.
Ciri khas utama tudung manto adalah hiasan tekat berbagai motif yang dibuat menggunakan kawat lentur seperti benang berwarna perak ataupun emas yang disebut genggeng atau kelingkan.
Kelingkan adalah hiasan wajib dalam pembuatan tudung manto, dan tidak boleh diganti dengan bahan hiasan lainnya.
Keberadaan tudung manto sebagai penutup kepala diperkirakan sebagai hasil enkulturasi dengan budaya Arab dan India.
Pengerjaan pembuatan tudung manto saat ini masih dilakukan secara manual.
Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kemenag Lingga juga turut serta melestarikan kerajinan yang telah memegang hak paten dan sertifikat HAKI dari Kementerian Hukum dan HAM RI.
"Kita memanfaatkan momen pertemuan bulanan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kemenag Lingga di Rumah Tekat Tudung Manto. Tujuannya kita sama-sama ingin melestarikan kearifan lokal orang Melayu,” ujar Ketua DWP Kemenag Lingga Siti Maisarah Nasir seperti dilansir di situs kemenag.
Menurut Siti Maisarah, selain memiliki nilai seni, sejarah dan budaya, tudung manto memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Karena itu perempuan yang akrab disapa Sarah ini mengajak jajaran DWP Kemenag dan kalangan pesantren untuk melestarikan tudung manto.
Sejarah warisan budaya yang mendapat pengakuan hak cipta
Tudung Manto dan Gasing merupakan warisan budaya tradisi di wilayah Kabupaten Lingga Kepri sudah mendapatkan pengakuan hak cipta dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI.
Tudung Manto adalah bagian dari Folklor non Lisan yaitu adat istiadat tradisional yang diwariskan atau disebarluaskan secara turun temurun dalam bentuk pakaian tradisional.
Sementara Gasing adalah mainan yang dapat berputar pada poros dan berseimbangan pada titik tengah bagian bawah.
Sampai saat ini total pengakuan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk Kabupaten Lingga sudah tercatat sebanyak 109 Hak Cipta, terdiri dari 50 Hak Cipta Ekspresi Budaya Tradisional dan 59 Hak Cipta Pengetahuan Tradisonal.
Selain telah mendapatkan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Kemendikbudristek RI, Tudong Manto kini sepenuhnya menjadi milik Kabupaten Lingga lewat Surat Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal Pengetahuan Tradisional (PT) Kemkumham RI.
Penghargaan tersebut diberikan dalam rangka perlindungan Pengetahuan Tradisonal berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Sebuah penghargaan yang luar biasa, dan sudah sepantasnya Tudung Manto sebagai warisan budaya yang wajib untuk dilestarikan. (*)
Tags : tudung manto, hijab, daik lingga, kepulauan riau, warisan budaya kesultanan lingga, selendang, tudung manto warisan budaya melayu,