"Keberadaan perusahaan Industri maupun minyak dan gas (migas) pada suatu wilayah bisa memberikan dampak positif sekaligus negatif"
erusahaan-perusahaan industri, perkebunan sawit maupun migas seharusnya mampu meningkatkan pendapatan suatu daerah, memacu perekonomian dan perbaikan infrastruktur. Di sisi lain industri migas bisa memunculkan isu lingkungan, perubahan pola permukiman serta kesenjangan sosial.
"Misalnya itu kan ... Corporate social responsibility (CSR) Industri Migas seharusnya bisa untuk tingkatkan perekonomian daerah tetapi malah untuk di Riau sendiri semakin tak jelas kegunaanya," kata H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris, Koordinator Indonesian Corruption Investigation (ICI) menilai.
Padahal tanggung jawab perusahaan secara sosial (CSR) merupakan komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, katanya.
"Bukan kah seharusnya jajaran pimpinan perusahaan bisa mampu bekerja bersama karyawan serta masyarakat sekitar untuk meningkatkan kualitas kehidupan," tanya dia.
Dengan kata lain, sebutnya lagi, program CSR sudah menjadi bagian dari bisnis yang sama dengan kegiatan usaha lainnya.
"Jika entitas bisnis ini tumbuh, maka otomatis akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan para karyawan, masyarakat dan sekaligus berdampak pada pertumbuhan daerah sekitarnya," ungkap Darmawi pula dalam menyikapi perusahaan-perusahaan migas yang ada di Riau dalam bincang-bincangnya, Kamis (17/11).
Menurutnya, komitmen CSR seharusnya sejalan dengan cara pandang para pelaku bisnis saat ini.
Tetapi pada era bisnis modern termasuk di industri migas, CSR bukan lagi dipandang sebagai saluran amal semata. Melainkan sudah lebih kepada mencapai kemandirian masyarakat serta keuntungan ekonomi yang berkelanjutan.
"Pandangan yang digagas sejak abad ke-20 tersebut meyakini bahwa hubungan bisnis dan lingkungan usaha tidak bisa dipisahkan. Sebab lingkungan usaha memberikan pengaruh terhadap kegiatan operasional perusahaan."
"Malah saya tanyakan pada pihak pertamina, mereka menjawab sudah menyalurkannya ke pemerintah daerah setempat, sepertinya main bola pimpong, tuduh sana sini," katanya terheran-heran.
Sebelumnya Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar juga sudah menyoroti penyaluran dana CSR perusahaan-perusahaan di Riau.
Menurut Gubri, selama ini sering terjadi miss komunikasi antara pemerintah kabupaten/kota dengan pihak kecamatan dan desa.
“Penyaluran dana CSR perusahaan itu sebaiknya dikomunikasikan dengan pemerintah kabupaten/kota. Jangan hanya ke pemerintah desa, atau kecamatan. Nanti kabupaten tak tahu, dikhawatirkan salah dari prioritas pembangunannya,” kata Syamsuar belum lama ini.
Menurutnya, perusahaan harus mengutamakan pembangunan dengan dana CSR sesuai dengan skala prioritas yang sebelumnya telah disusun rencana pembangunan daerah. Mengingat di setiap kecamatan dan desa juga sudah disusun rencana prioritas pembangunan.
"Dengan demikian, langkah koordinasi dengan kabupaten/kota dalam penyaluran CSR perusahaan, diharapkan bisa dikolaborasikan dengan program pembangunan prioritas tersebut," kata Gubri.
“Makanya kalau urusannya dengan desa saja, nanti desa ini minta, desa itu minta, perusahaan kewalahan untuk memenuhi permintaan yang begitu banyak. Jadi ada baiknya, kalau memang ada kaitan dengan CSR untuk desa di sekitar perusahaan dapat kiranya difasilitasi oleh Pemkab/kota masing-masing,” sambungnya.
Dewan soroti csr perusahaan
Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau Syafaruddin Poti dan Agung Nugroho, bersama Komisi V DPRD Provinsi Riau dan Ketua Komisi III DPRD Provinsi Riau Husaimi Hamidi, untuk membahas CSR perusahaan di Riau sempat menggelar yang juga membahas perusahaan-perusahaan asing yang bercokol di Riau.
Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi V Eddy Mohd Yatim, didampingi Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau lainnya yaitu Zulkifli Indra, Abu Khoiri, dan Marwan Yohanis.
Intinya dewan menaruh kecewa terhadap perusahaan asing karena dinilai tidak kooperatif.
“Mereka (perusahaan) sudah banyak memperoleh keuntungan dari SDA Riau. Seharusnya mereka memiliki komitmen yang lebih untuk membangun Riau,” kata Anggota DPRD Riau H. Abdul Kasim, SH menyoroti beberapa permasalahan dari dampak operasional perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Riau.
Dewan menyoroti, seperti terkait pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Coorporate Sosial Responbility (CSR), limbah, hingga permasalahan kerusakan lingkungan.
Terkait hal tersebut, Komisi IV DPRD Provinsi Riau mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan perusahaan PT. RAPP dan Indah Kiat.
Abdul Kasim mengatakan bahwa sudah puluhan tahun perusahaan industri besar berdiri mengelola Sumber Daya Alam (SDA) Riau, namun belum menampakkan niat baik membangun Riau, seperti dalam hal meningkatkan SDM.
Abdul Kasim juga menyampaikan agar perusahaan harus memperhatikan dan meningkatkan SDM masyarakat di lingkungan daerah operasional mereka, misalnya dalam hal pendidikan.
“Misalnya, perusahaan harus berpartisipasi membangun sekolah-sekolah yang berbasis keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan mereka," kata dia.
"Ini agar setelah siswa-siswa itu tamat sekolah bisa mereka rekrut. Sehingga tidak lagi menjadi alasan kurangnya SDM di Riau. Tentu, perusahaan juga memberikan bantuan pendidikan kepada siswa, baik dari tingkat SD hingga sarjana (S1, S2 dan S3)," sebutnya.
Ia meminta agar ada kawasan-kawasan pembinaan desa/kelurahan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), sehingga masyarakat desa merasakan keberadaan perusahaan di Riau.
Dirinya juga menyoroti kondisi satwa Riau yang bisa terancam punah, akibat eksploitasi dan perambahan hutan oleh perusahaan-perusahaan.
“Maka perusahaan harus juga membuat daerah kawasan ramah satwa. Agar kekayaan alam Riau tetap lestari dan menjadi warisan bagi anak cucu kita,” tukasnya.
“Dan yang tak kalah penting adalah, agar perusahaan memperhatikan masalah limbah yang dihasilkan dari perusahaan mereka. Perusahaan harus memproses limbah tersebut, supaya tidak mencemari lingkungan,” imbuhnya.
Abdul kasim juga menyampaikan, tentu semua harapan tersebut bukan hanya ditujukan kepada RAPP dan Indah Kiat saja, tetapi untuk seluruh perusahaan yang berinvestasi di Riau.
Tetapi kembali disebutkan Darmawi Wardhana menilai sepakat kegiatan CSR dilakukan dalam koridor penguatan masyarakat akan memberi dampak positif secara ekonomi, sosial maupun lingkungan perusahaan.
"Hanya sangat disayangkan dari hasil tinjauan lapangan selama ini di sejumlah perusahaan migas dan pertambangan, maupun perusahaan industri lainnya sering ditemukan perusahaan dalam menjalankan CSR masih terjebak dalam terminologi 'memberi bantuan'," kata Darmawi.
"Hal itu lah membuat masyarakat terbiasa menjadi pihak yang dibantu, bukan yang mempunyai daya untuk mengubah nasib mereka sendiri," cerita dia.
Padahal pelaksanaan CSR di perusahaan migas pada ujungnya harus mampu memberikan penguatan daya saing masyarakat, "dalam kerangka ini partisipasi masyarakat sejak awal program sudah menjadi keharusan," tegas Darmawi.
"Harus diakui pelaksanaan CSR dengan melibatkan peran masyarakat (community empowerment) prosesnya lebih panjang ketimbang hanya memberi bantuan (community assistance) maupun "community relation" (menjalin hubungan)."
"Memang prosesnya akan berjalan lama, tetapi akhirnya masyarakat terus kecewa," kata Darmawi.
"Yang penting dari proses itu ada upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengembalikan pinjaman modal yang diberikan. Muaranya, masyarakat tidak lagi tergantung kepada perusahaan dan menjadi mandiri serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri," sebutnya.
Jadi bentuk "community empowerment" itu adalah yang paling ideal dalam melakukan program CSR.
Investasi sosial
Darmawi Wardhana kembali mengingat masa perusahaan energi multinasional semacam Chevron (perusahaan asing-red) tetap mengimplementasikan program CSR dengan tujuan pemberdayaan masyarakat sekitar.
"Melalui motto "investasi sosial" Chevron menjalani program ini sejak puluhan tahun lalu saat masih bernama PT Caltex Pacific Indonesia," sebut Darmawi mencontohkan.
"Julius Tahija, orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan tertinggi di perusahaan Amerika Serikat ini yang menanamkan filosofi bahwa perusahaan hanya dapat bertahan jika mampu memenuhi kebutuhan sosialnya," kenang Darmawi.
"Justru perusahaan migas yang sudah dikelola daerah sendiri maupun pihak Pertamina, masalah CSR semakin tak jelas juntrungnya. Sebaliknya perusahaan hanya dapat melayani kebutuhan sosial kalau sudah mantap secara ekonomi," imbunya.
Menurutnya, program investasi sosial dijalankan dengan mendasarkan pada penguatan masyarakat untuk perekonomian yang berkelanjutan.
Strategi investasi sosial yang dikembangkan perusahaan energi ini terus berubah mengikuti dinamika yang berkembang di masyarakat.
"Tujuan akhir dari kegiatan investasi sosial itu adalah menciptakan kemandirian masyarakat secara ekonomi."
"Kalau program CSR tetap dilakukan dengan kegiatan yang sifatnya donasi, tidak akan ada perubahan perilaku masyarakat. Seharusnya mengubah strategi ke arah yang membuat masyarakat lebih mandiri dan berdaya," kata dia.
Jadi menurutnya, meski begitu manajemen perusahaan Migas seperti; PT Medco E & P Indonesia (Lirik), PT Pertamina EP Field Lirik Aset I, Petro Selat, Ltd (Siak), Kondur Petroleum S.A (Bengkalis), PT. Bumi Siak Pusako, Kalila (Santos Bentu-Korinci Baru) Operator PTY LTD yang sudah multinasional, juga sudah memahami realita di lapangan.
Karena untuk sampai pada tahapan mandiri secara ekonomi, pelayanan kepada masyarakat yang bersifat pemenuhan infrastruktur, tidak bisa diabaikan, kata dia.
'Tiga bumd migas jadi bancaan'
Sementara kritikan dari Forum Indonesia untuk Transparasi (FITRA) lebih kepada pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (merupakan perusahaan plat merah) di Riau yang bergerak di sektor Migas terus dilontarkan.
Pasalnya menurut FITRA Riau, pemerintah daerah di Riau sebagai pemiliki saham BUMD yang bekerja disektor Migas, harus mengambil langkah strategis untuk memperbaiki manajemen di tubuh badan usaha plat merah itu.
Fitra Riau menilai kondisi akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia (SDM) pada perusahaan tersebut belum baik dan professional.
“Ada dua BUMD yang saat ini menjadi pengelola usaha hulu Migas di Riau. Yaitu PT. Bumi Siak Pusako, PT. Sarana Pembangunan Riau (SPR) Langgak. Kemudian PT. Riau Petrolium sebagai pengelolan PI (Partisipasi Interest) di Blok Siak. Namun, manajemen pengelolaan ketiga perusahaan itu belum dapat dikatakan baik, kredibel dan professional,” kata Manager Advokasi Fitra Riau, Taufik mengkritiknya (17/2/2022) lalu.
Fitra Riau dan masyarakat sangat mendukung, langkah pemerintah daerah untuk mengambil bagian dalam pengelolaan usaha hulu Migas yang menjadi salah satu kekayaan SDA strategis di Riau.
"Hal yang sangat penting adalah BUMD yang ditetapkan itu harus dikelola dengan baik, professional. Agar kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan bersama benar-benar dapat tercapai," sebutnya.
Taufik mencontohkan, PT. Bumi Siak Pusako (BSP), perusahaan sebelumnya mendapat pengelolaan100 persen dan masih pengelolaannya bersama blok Coastal Plains and Pekanbaru (CPP) bekerjasama dengan PT. Pertamina Hulu energi (PHE).
Tetapi merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, atas pengelolaan kegiatan operasional BUMD Migas PT. BSP tahun 2018-2020, menemukan sedikitnya Rp. 39,3 milyar pengeluaran perusahaan yang bermasalah dan potensi merugikan keuangan negara.
“Temuan tersebut, berasal beberapa komponen pembiayaan seperti biaya entertainment, perjalanan dinas, pengelolaan dana CSR, biaya promosi perusahaan, sampai kepada pengelolaan gaji. Terdapat beberapa temuan yang berpotensi merugikan negara. Ini harus diperbaiki, apalagi 2022 ini PT. BSP sudah menjadi pengelola tunggal Blok CPP,” sebut Taufik.
Masih di PT. BSP, Taufik mengatakan, manajemen pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga belum professional.
Pada beberapa posisi strategis di perusahaan itu ditengarai diisi oleh orang-orang dekat dengan kekuasaan yang berpotensi konflik off Interest.
Begitu juga perwakilan pemerintah (pemilik Saham) dalam struktur komisaris juga masih menggunakan pejabat aktif pemerintah, yang berpotensi tidak mampu bekerja maksimal, karena banyak yang di urus.
Sementara, BUMD pengelola hulu Migas PT. SPR Langgak, juga ditengarai memiliki masalah yang sama.
Bahkan parahnya perusahaan ini sangat tertutup, publik tidak bisa mengakses laporan tahunnya melalui website resmi perusahaan. Sehingga publik tidak bisa tahu bagaimana kinerja perusahaan ini.
“Seharusnya perusahaan BUMD, apalagi pengelola hulu Migas harusnya lebih professional, terbuka. Laporan perusahaan harus tersedia dan mudah diakses publik,” jelas Taufik.
Fakta menunjukkan menunjukkan akuntabilitas pengelolaan keuangan di BUMD Migas belum baik dan sumber daya manusia yang tidak professional ditenggarai sebagai faktor penyebab mengapa kinerja BUMD Migas di Riau belum baik.
"Seperti minim kontribusinya terhadap pendapat Daerah di Riau akibat biaya operasioanal yang tidak terkendali," katanya.
Kontribusi PT. BSP terhadap pendapatan daerah untuk lima daerah pemilik saham (Provinsi, Siak, Pelalawan, Pekanbaru, dan Kampar, tahun 2020 sebesar Rp. 82,8 Milyar. Angka tesebut menurun (-8,2%) dari tahun 2019 yaitu sebesar Rp. 90,2 Milyar.
Sementara BUMD Migas yang minim kontribusinya terhadap pendapatan daerah adalah PT. SPR Langgak. Dalam empat tahun (2017-2020) perusahaan plat merah ini hanya menymbang deviden sebesar Rp. 1,8 Milyar.
Bahkan tahun 2017 dan 2018 tidak ada sama sekali kontribusinya terhadap pemilik saham 99% (Provinsi Riau).
Jadi menurut Taufik, pembenahan perusahaan BUMD mutlak harus dilakukan khusunya oleh pemerintah pemilik saham di perusahaan Migas itu.
Memastikan pengelolaan SDM professional, publikasi laporan tahunan di website, perbaikan akuntabilitas keuangan adalah hal-hal penting yang harus dilakukan. Agar tujuan hasil sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
Kembali disebutkan Darmawi Wardhana yang lebih menyoroti CSR perusahaan menilai, operasional perusahaan migas yang ada di Riau juga masih menghadapi keterbatasan infrastruktur yang seringkali menjadi hambatan utama dalam menggerakan perekonomian.
"Ketersediaan infrastruktur akan mendorong laju pergerakan yang besar bagi masyarakat sehingga kegiatan perekonomian bisa mulai bertumbuh dari adanya infrastruktur tersebut," katanya.
Sebaliknya, kata Darmawi menceritakan, masa Chevron mengelola migas di Riau pembangunan infrastruktur yang dilakukan adalah membangun jembatan Siak I yang menghubungkan Riau bagian utara dan selatan.
Dengan adanya jembatan tersebut, akhirnya juga ikut mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, bukan hanya Riau tetapi juga perekonomian Sumatera secara umum, katanya.
Demikian pula dengan pembangunan jalan Duri, Dumai. Cikal bakal jalan Pulau Sumatera pertama yang menghubungkan Padang di sisi pantai barat dan Dumai di sisi pantai timur selesai dibangun PT CPI pada tahun 1958. Keberadaan jalan yang awalnya hanya dipakai oleh perusahaan, kini diserahkan ke pemerintah dan dijadikan sebagai jalan negara.
Menurutnya, perusahaan yang berkantor pusat di Colorado, Amerika Serikat, juga ikut serta menyediakan kebutuhan listrik bagi jutaan masyarakat Indonesia melalui proyek panas bumi di provinsi Jawa Barat oleh Chevron Geothermal Indonesia Ltd dan Chevron Geothermal Salak Ltd.
Darmawi mengatakan fokus investasi sosial Chevron saat ini pada layanan kesehatan, pendidikan, pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan dan konservasi serta rehabilitasi pasca bencana.
"Semuanya bertujuan menciptakan kesejahteraan, untuk generasi sekarang dan masa depan," terangnya.
Bahkan menurutnya lagi, untuk memastikan dampak penerapan CSR-nya, Chevron menggandeng Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas-Universitas dan lembaga riset IHS.
Hasil riset kedua lembaga tersebut menunjukkan bahwa pada 2013 misalnya, Chevron bersama mitranya berkontribusi sebesar Rp125 triliun, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyumbang Rp101 triliun bagi pendapatan negara. (*)
Tags : Corporate social responsibility, CSR Industri dan Migas, CSR untuk Tingkatkan Perekonomian Daerah, CSR Industri dan Migas di Riau,