Headline Sorotan   2024/05/25 15:10 WIB

UKT Mahal Jadi Banyak yang Panik dan Protes Mencari Sasaran Amarah, Mahasiswa: 'Cita-cita Saya Ingin Kuliah Tidak Terkabulkan, Lebih Baik Mundur'

UKT Mahal Jadi Banyak yang Panik dan Protes Mencari Sasaran Amarah, Mahasiswa: 'Cita-cita Saya Ingin Kuliah Tidak Terkabulkan, Lebih Baik Mundur'
UKT mahal, calon mahasiswa baru jadi mundur.

"Kisruhnya kebijakan Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang kian mahal di beberapa Perguruan Tinggi Negeri [PTN] terus berlanjut"

ejumlah pengamat menilai kisruhnya kebijakan Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang kian mahal di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seharusnya bisa diselesaikan dengan ruang dialog antara mahasiswa dan kampus.

"Kenaikan UKT sudah terasa dampaknya. Sejumlah calon mahasiswa baru (camaba) di beberapa universitas negeri mengundurkan diri," kata Wawan Sudarwanto dari Lembaga Penelitian Pengembangan Pendidikan [LP3] Anak Negeri menanggapinya, Sabtu (25/5/2024).

Janji Mendikbudristek, Nadiem Makarim, yang bakal menghentikan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) disebut hanya 'omong kosong' selama Pemendikbudristek nomor 2 tahun 2024 tidak dicabut, kata dia.

Menanggapi kasus yang baru-baru ini terjadi, yakni Rektor Universitas Riau (Unri) yang melaporkan mahasiswanya ke polisi karena mengkritik kebijakan uang pangkal alias iuran pengembangan institusi atau IPI, LP3 Anak Negeri menilai bahwa kampus tak boleh membatasi kebebasan berekspresi mahasiswa.

Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, Prof. Ganefri, mengaku menyayangkan. Karenanya dalam waktu dekat seluruh pimpinan perguruan tinggi akan bertemu dengan pejabat Kemendikbudristek untuk membicarakan kenaikan UKT.

Dialog sangat diperlukan

Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Abdul Haris, berkata soal mahasiswa baru yang merasa keberatan dengan penempatan UKT maka perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi negeri badan hukum harus mewadahi peninjauan ulang kelompok UKT bagi mahasiswa yang mengajukan.

Polemik tentang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri terus bergulir.

Sejumlah calon mahasiswa baru (camaba) di beberapa perguruan tinggi negeri dilaporkan mengundurkan diri gara-gara tak sanggup membayar UKT.

Naffa Zahra Muthmainnah adalah salah satunya.

Ia mengaku kecewa tidak bisa kuliah di kampus Universitas Sumatera Utara (USU) yang diimpikannya sejak kecil, karena orangtuanya tidak mampu membiayai uang kuliah yang terbilang mahal.

"Saya kecewa kali tidak bisa kuliah di USU, padahal saya ingin sekali kuliah di (Fakultas Ilmu Budaya USU) jurusan Sastra Arab, tapi tidak terkabul," ujar Naffa kepada media, Kamis (23/05).

Uang Kuliah Tunggal (UKT) di fakultas yang disasar Naffa sebesar Rp8,5 juta per semester.

Angka itu, kata dia, terlampau besar lantaran sebelumnya dia mengira uang kuliahnya nanti hanya Rp2,4 juta sampai Rp3 juta.

Uang Kuliah Tunggal (UKT) terlalu mahal di Perguruan Tinggi Negeri.

"Uang Kuliah Tunggal (UKT) di USU terlalu mahal, orangtua tidak sanggup membiayai kalau Rp 8,5 juta. Itu alasan saya mundur," katanya dengan nada pilu.

Ayah Naffa sudah meninggal sejak tahun 2021, sementara ibunya tidak bekerja. Mereka tinggal di rumah sederhana.

Sejak ayahnya tiada, tulang punggung keluarga dipikul abangnya, Rangga Fadillah, yang sedang kuliah semester lima di Fakultas Hukum Universitas Harapan Medan.

"Abang kuliah sambil kerja," ungkapnya.

Di keluarga, perempuan 18 tahun ini didorong oleh abangnya untuk kuliah. Sebab dari empat bersaudara, hanya Rangga yang menempuh pendidikan tinggi. Itu mengapa Naffa diharapkan mengikuti jejak sang abang.

"Itu harapan keluarga agar saya kuliah."

Ketika Naffa diterima kuliah di USU lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi  (SNBP) pada tanggal 26 Maret 2024, keluarganya senang sekali.

Naffa juga mengaku bahagia karena Sastra Arab adalah favoritnya. Sejak sekolah di SD sampai SMP, Naffa pintar berbahasa Arab.

Namun kebahagiaan itu hanya sesaat, ketika tahu biaya kuliah di Sastra Arab mencapai Rp8,5 juta per semester.

Perempuan lulusan SMK 1 Medan dan keluarganya ini sontak terkejut.

Dia pun tidak yakin bisa kuliah di USU karena keluarganya hanya mampu membayar UKT sekitar Rp3 juta.

"Kata abang, kalau UKT diturunkan abang saya sanggup membiayai kuliah saya. Tapi kalau tidak bisa, abang saya tidak sanggup," katanya pasrah.

UKT dan Problem Mahasiswa

Ia juga bercerita sempat mau mengajukan permohonan untuk pengurangan biaya UKT, tapi urung karena kesibukan sang abang.

Kini dia cuma berharap USU menurunkan uang kuliah untuk mahasiswa baru.

Kalaupun tidak bisa kuliah tahun ini, Naffa bakal kerja mengumpulkan uang untuk biaya kuliah di tahun depan.

Orangtuanya menyatakan setuju dengan rencana itu.

Jika uangnya sudah terkumpul, dia akan melanjutkan kuliah di Sastra Arab USU.

Tapi, jika biaya kuliah tetap mahal Naffa terpaksa menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).

"Selama setahun ini kerja dulu, tahun depannya baru kuliah. Cita-cita saya ingin kuliah di USU," katanya.

Uang Kuliah Tunggal (UKT) di USU mengalami kenaikan 30% - 50% dibandingkan tahun sebelumnya. UKT di USU terdiri dari delapan kelompok. Kenaikan terjadi pada kelompok UKT 3 sampai 8.

Kenaikan UKT tertinggi berada di Fakultas Kedokteran Gigi. UKT kelompok 8 di Fakultas Kedokteran Gigi sebesar Rp10 juta di 2023.

Saat ini UKT tertinggi Fakultas Kedokteran Gigi sebesar Rp17 juta.

LP3 Anak Negeri, mengatakan apa yang dialami Naffa dan sejumlah camaba lain yang memutuskan mundur gara-gara tak sanggup membayar UKT kian membuktikan bahwa Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024 memang tidak berkeadilan dan inklusif seperti yang diklaim Menteri Nadiem Makarim selama ini.

Menurut Ubaid, selama aturan tersebut dipelihara oleh Kemendikbudristek maka akan makin banyak camaba yang berguguran.

Sayangnya, kata dia, dalam rapat kerja (raker) antara Komisi X dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim pada Selasa (21/05) kemarin tidak disinggung desakan para mahasiswa yang menginginkan aturan itu dicabut.

"Yang membuat UKT mahal kan Permendikbudristek 2 tahun 2024, tapi enggak ada yang mengulas aturan itu dan akhirnya tidak ada keinginan dicabut," ujar Ubaid.

"Pernyataan Menteri Nadiem bahwa Permendikbudristek berkeadilan cuma omong kosong, karena nyatanya masih jauh dari rasa keadilan dalam penentuan UKT."

Karena itulah dia mempertanyakan janji Menteri Nadiem Makarim yang bakal menghentikan kenaikan UKT yang nilainya disebut fantastis atau tidak wajar.

Sebab dalam menetapkan tarif UKT, perguruan tinggi berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan dari kementerian. Kemudian penetapan kategori UKT pun merujuk pada Keputusan Mendikbudristek nomor 54 tahun 2024.

Itu artinya, Kemendikbudristek tahu betul besaran tarif UKT yang ditetapkan oleh kampus.

"Plafon angka yang dijadikan rujukan kampus ya Permendikbudristek itu, kalau dibilang akan dihentikan gimana caranya kalau aturannya masih ada?" kata Ubaid geram.

"Oke lah menghentikan sementara, tapi di kemudian hari akan menghadapi masalah yang sama kan? Jadi daripada menunda masalah, mending dicabut masalahnya."

Masalah lain, kampus tidak transparan dalam menetapkan UKT.

Kesaksian Mahasiswa korban UKT mahal hingga pindah kampus.

Meskipun dalam Permendikbudristek disebutkan bahwa besaran UKT tidak boleh lebih tinggi dari biaya kuliah tunggal (BKT) di masing-masing program studi, namun cara menghitungnya tidak jelas.

Kenaikan UKT sampai 100% seperti yang diberlakukan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dianggap sangat tidak masuk akal.

"Itu hitungnya bagaimana? Harga barang juga tidak secepat itu melonjaknya."

"Jadi menghitung UKT tidak ada rumus yang baku. Tapi yang harus jadi rujukan dari penetapan UKT mestinya harus menyesuaikan kemampuan bayar mahasiswa."

"Ketika mahasiswa tidak mampu di angka yang ditetapkan, ya jangan dipaksakan bayar karena melanggar aturan."

JPPI, kata Wawan, menawarkan solusi agar Permendikbudristek 2 tahun 2024 segera dicabut saja dan mengembalikan fungsi perguruan tinggi sebagai lembaga non-profit.

Dengan begitu skema bantuan pembiayaan dari pemerintah untuk perguruan tinggi negeri yang tadinya mencapai 80%-90% dapat diterapkan kembali.

Pasalnya setelah muncul status perguruan tinggi negeri berbadan hukum, bantuan pembiayaan dari pemerintah tak lebih dari 30% sehingga akibatnya kampus membebankan ongkos operasional kepada mahasiswa dalam bentuk uang kuliah tunggal.

"Kampus murni untuk mencerdaskan bangsa sehinga jelas keberpihakan pemerintah pada sektor pendidikan. Enggak kayak sekarang keberadaannya jadi pelengkap penderita," ujarnya.

"Kalau Kemendikbudristek masih berpandangan bahwa kuliah itu pilihan, sama saja melukai anak bangsa yang punya mimpi bisa kuliah."

"Bayangkan, kuliah masih jadi mimpi."

Apa langkah konkret Kemendikbudristek?

Dalam rapat kerja Komisi X DPR, Selasa (21/05), Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim, memastikan bakal menghentikan kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri.

Nadiem menyadari ada "lompatan" UKT yang cukup fantastis.

"Karena tentunya harus ada rekomendasi dari kami untuk memastikan bahwa lompatan-lompatan yang tidak masuk akal atau tidak rasional itu akan kami berhentikan," kata Nadiem.

Untuk itu, pihaknya akan memeriksa sejumlah perguruan tinggi negeri yang mengalami kenaikan UKT fantastis tersebut. Selanjutnya mengevaluasi dan mengkaji kembali.

"Saya ingin meminta semua ketua perguruan tinggi dan prodi untuk memastikan bahwa kalaupun ada peningkatan harus rasional, masuk akal dan tidak terburu-buru."

Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Abdul Haris, menyebut kenaikan UKT untuk seluruh mahasiswa merupakan "miskonsepsi".

Dalam pernyataan tertulisnya, Abdul Haris menyatakan tidak ada perubahan UKT untuk mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan.

Apabila pimpinan perguruan tinggi negeri dan PTN-Berbadan Hukum menetapkan UKT baru maka uang kuliah tersebut hanya berlaku bagi mahasiswa baru.

Lebih lanjut Haris menjelaskan berdasarkan data yang dimilikinya, proporsi mahasiswa baru yang masuk ke dalam kelompok UKT tertinggi atau kelompok 8 sampai kelompok 12 hanya 3,7% dari populasi.

Sebaliknya, 29,2% mahasiswa baru masuk ke kelompok UKT rendah yakni tarif UKT kelompok 1 dan 2 serta penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah - sehingga melampau mandat 20% dari UU Pendidikan Tinggi, katanya dalam siaran pers tertulis.

Soal kemungkinan mahasiswa baru merasa keberatan terhadap penempatan kelompok UKT, Haris menekankan bahwa PTN dan PTN-BH harus mewadahi peninjauan ulang kelompok UKT bagi mahasiswa yang mengajukan.

"Mahasiswa yang keberatan dengan penempatan UKT-nya, misalnya karena perubahan kemampuan ekonomi atau hasil penetapan tidak sesuai dengan fakta kondisi ekonominya, bisa mengajukan peninjauan ulang sesuai prosedur."

Dia menambahkan jika masih ada keluhan setelah proses peninjauan ulang maka mahasiswa baru bisa menyampaikan laporan melalui situs kemendikbud.lapor.go.id.

Nantinya Ditjen Diktiristek akan menindaklanjuti laporan yang masuk mengenai kebijakan UKT yang tidak sesuai dengan Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024.

Sebagai informasi, dalam Permendikbudristek setiap perguruan tinggi negeri wajib memiliki setidaknya dua kelompok uang kuliah tunggal (UKT), yaitu kelompok 1 sebesar Rp500.000 dan kelompok 2 sebesar Rp1 juta.

Dua kelompok ini biasanya menjadi tarif terendah yang diterapkan berbagai perguruan tinggi negeri.

Di luar itu, mereka bebas menambah jumlah kelompok UKT dan menentukan besarannya. Makanya, ada perguruan tinggi yang bisa memiliki lima atau lebih kelompok UKT.

Penentuan kelompok UKT yang didapat mahasiswa biasanya berdasarkan pada kondisi ekonomi keluarga atau pihak yang membiayainya. Semakin seorang mahasiswa dianggap mampu, semakin besar pula besaran UKT-nya.

Tetapi kembali disebutkan Wawan Sudarwanto menilai kisruhnya kebijakan Uang Kuliah Tunggal atau UKT yang kian mahal di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seharusnya bisa diselesaikan dengan ruang dialog antara mahasiswa dan kampus.

Menanggapi kasus yang baru-baru ini terjadi, yakni Rektor Universitas Riau (Unri) yang melaporkan mahasiswanya ke polisi karena mengkritik kebijakan uang pangkal alias iuran pengembangan institusi atau IPI, pengamat pendidikan menilai bahwa kampus tak boleh membatasi kebebasan berekspresi mahasiswa.

Wawan berharap agar kampus tidak lagi menggunakan cara-cara represif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan akademik.

"Seharusnya ada upaya-upaya yang relevan untuk dialog, diskusi dan lain sebagainya, agar upaya pemidanaan ini tidak terjadi," kata dia.

Wawanmelanjutkan bahwa dalam dunia pendidikan, ruang-ruang dialog itu merupakan ruang yang harus disediakan oleh perguruan tinggi untuk memastikan bahwa berbagai problematika bisa diselesaikan dengan terbuka.

"Misalnya UKT, ya harus didialogkan. Menaikkan atau menurunkan UKT itu harusnya ada dialog berbagai arah dari mahasiswa, unsur struktural kampus, dan unsur alumni sehingga kebijakan ini kemudian tidak bertentangan atau tidak menjadi polemik," ujarnya.

Mantan Dosen Perikanan UNRI, Ir Mangasa Panjaitan M.Si menuturkan, terlepas dari cara mahasiswa mengekspresikan berbagai kritiknya, sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pihak kampus adalah dengan membuka ruang seluas-luasnya untuk berdialog dan berdiskusi.

Sebab, menurut Mangasa, permasalahan biaya kuliah mahal bukan sekadar persoalan kampus dan mahasiswa.

Keduanya merupakan korban dari kebijakan PTN berbadan hukum atau PTNBH.

Oleh karena itu, Mangasa mengungkap akan ada kesepahaman bila ruang dialog disediakan.

"Maka yang kemudian harus menjadi dasar untuk dikritik juga bukan kampusnya tapi justru adalah kebijakan dari PTNBH itu sendiri," kata dia.

Minimnya ruang dialog yang disediakan oleh kampus akibatnya membuat mahasiswa semakin takut untuk menyuarakan aspirasi.

Padahal, menurut Mangasa, kampus harusnya memberi teladan, bukan malah jadi benalu kebebasan berekspresi.

"Merespons ekspresi mahasiswa dengan laporan kepolisian, jelas keliru besar. Pertanda kampus gagal memahami makna kebebasan berekspresi, yang cilakanya harusnya justru dicontohkan oleh kampus, ternyata pelakunya justru birokrasi kampus sendiri," kata dia.

Respons para kampus

Setelah mendapat protes dari mahasiswa, beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) mencabut Peraturan Rektor nomor 6 tahun 2024 tentang biaya pendidikan mahasiswa.

Aturan itu sebelumnya memuat kenaikan UKT mencapai 100%.

Unsoed kemudian menerbitkan tarif UKT terbaru melalui Surat Keterangan Rektor nomor 847 tahun 2024 tentang tarif UKT program diploma dan program sarjana.

Dengan aturan baru itu, calon mahasiswa baru jalur SNBP diharapkan untuk melakukan registrasi ulang. Pasalnya hingga Senin (20/05) masih ada 2,1% mahasiswa yang belum mendaftar ulang. Jumlah itu disebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 15%.

Aturan anyar tersebut juga menyebutkan rata-rata kenaikan tarif UKT untuk calon mahasiswa baru sebesar 18%.

"Rata-rata UKT calon mahasiswa baru tahun 2024 adalah Rp4,5 juta. Tidak terlalu jauh dari rata-rata besaran UKT tahun lalu yaitu Rp3,8 juta," sebut Juru bicara Unsoed, Dr Mite Setiansah dalam rilis resminya seperti dilansir Detik.com.

Sementara itu, Universitas Riau (Unri) juga memutuskan menurunkan tarif UKT menjadi tujuh kelompok dari sebelumnya 12 kelompok untuk calon mahasiswa baru.

Namun demikian, program studi kedokteran masih terdiri dari 12 kelompok UKT.

Sebelumnya UKT mahasiswa di setiap program studi terdiri dari 6 kelompok. Kelompok terendah membayar Rp500.000 sedangkan kelompok tertinggi Rp6 juta.

Tapi, UKT diubah menjadi 12 kelompok. Perubahan itu memengaruhi nominal UKT yang harus dibayar. Kelompok terendah membayar Rp500.000 dan kelompok tertinggi menjadi Rp14 juta.

Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, Prof. Ganefri, menjelaskan penambahan rentang kelompok UKT sebetulnya ditujukan untuk keterjangkauan dan keberadilan untuk semua pihak.

Dia mencontohkan untuk program studi kedokteran memang dibuat kategori lebih banyak demi memperluas pembiayaan pendidikan bagi masyarakat yang ekonominya mampu.

"Di kedokteran, kalau hanya rentang 1 sampai 5 nanti kampus terlalu banyak mensubsidi. Akan sulit untuk membiayai operasionalnya," ujar Prof Ganefri.

"Bagi yang tidak mampu tetap di kelompok 1 sampai 5. Tidak ada kenaikan."

Kendati begitu, dia mengaku tidak setuju jika perguruan tinggi langsung menaikkan UKT hingga 100%. Uang kuliah yang disebutnya tidak wajar itu patut ditinjau ulang.

Baginya UKT yang rasional adalah jika lonjakannya berkisar 5% atau 10%.

"Misalnya sebelumnya Rp3,5 juta maka cukup dinaikkan menjadi Rp3,7 juta. Tapi kalau dinaikkan sampai 50% saja itu sudah enggak wajar."

"Karena PTN berbadan hukum seharusnya pikirannya bukan menaikkan UKT tapi menurunkan UKT. Kenapa? Sebab dia diberikan kesempatan mencari pendanaan lain. Makanya rektor diminta kreatif, tidak hanya pandai mengambil UKT."

Ia bilang pada Senin (27/05) seluruh pimpinan perguruan tinggi negeri akan bertemu dengan pejabat Kemendikbudristek untuk membahas kenaikan UKT yang tidak wajar.

Di pertemuan itu, dia menjamin akan memperjuangkan harapan mahasiswa untuk menurunkan atau kalau perlu membatalkan UKT yang fantastis.

"Saya sebagai ketua majelis rektor perguruan tinggi akan menjamin," ucapnya. (*)

Tags : uang kuliah tunggal, ukt mahal, UKT, Mahasiswa, Kampus, Kemendikbud, UKT Mahal Jadi Panik, Keuangan pribadi, Ekonomi, Kaum muda, Kemiskinan, Pendidikan, Sorotan, riaupagi.com,