Agama   2021/04/09 15:13 WIB

Umat Islam di Himbau 'Tetap Divaksinasi Saat Puasa Ramadan'

Umat Islam di Himbau 'Tetap Divaksinasi Saat Puasa Ramadan'

AGAMA - Para ulama dan pejabat kesehatan di Inggris mendorong umat Muslim agar tetap menerima vaksinasi Covid-19 walaupun sedang berpuasa di tengah Ramadan.

Imbauan ini dikemukakan lantaran adanya keyakinan bahwa umat Muslim yang berpuasa selama Ramadan harus menghindari "apapun masuk ke dalam tubuh" antara subuh hingga maghrib. Namun, Qari Asim selaku imam di Leeds, mengatakan karena vaksin masuk ke dalam otot – alih-alih ke aliran darah – vaksin tidak membatalkan puasa. Lagipula, lanjutnya, vaksin mengandung nutrisi. "Mayoritas cendekiawan Islam berpandangan bahwa menerima vaksin selama Ramadan tidak membatalkan puasa," kata Asim yang mengetuai Dewan Penasihat Nasional Masjid dan Imam dirilis BBC.

Dia berpesan kepada komunitas umat Muslim: "Jika Anda memenuhi kriteria untuk mendapat vaksin dan telah menerima undangan, Anda perlu bertanya kepada diri sendiri: apakah Anda akan menerima vaksin yang sudah terbukti efektif atau membiarkan diri Anda berisiko terjangkit Covid, yang bisa membuat Anda sakit sehingga berpotensi kehilangan momen Ramadan, bahkan dirawat di rumah sakit?"

Sejumlah lokasi vaksinasi yang dikelola Layanan Kesehatan Inggris (NHS) di Nottingham dan Brighton memperpanjang waktu layanan sehingga umat Islam dapat datang setelah berbuka puasa. Akan tetapi, Dr Farzana Hussain, seorang dokter umum senior dari The Surgery Project di bagian timur London, mengatakan umat Muslim tidak perlu menunggu matahari terbenam untuk disuntik vaksin.

Dia menambahkan: "Al-Quran mengatakan menyelamatkan nyawa adalah hal terpenting: 'Menyelamatkan satu kehidupan sama dengan menyelamatkan seluruh kemanusiaan'. Karena itu adalah tanggung jawab seorang Muslim yang taat untuk menerima vaksin."

Sejumlah masjid digunakan sebagai lokasi vaksinasi guna meningkatkan jumlah penerima vaksin di kelompok minoritas. Jajak pendapat Ipsos Mori menunjukkan kenaikan dramatis penerimaan vaksin di kalangan etnis minoritas Briton — dari 77% pada Januari hingga mencapai 92% pada Maret. Para responden mengaku telah menerima atau kemungkinan besar akan menerima vaksin.

Sebelum pandemi, acara buka puasa bersama kerap diadakan oleh berbagai komunitas Muslim di Inggris. Kini, meski jamuan buka puasa dibolehkan, penerapan protokol kesehatan harus ditegakkan, antara lain jaga jarak. Asosiasi Medis Islam Inggris (BIMA) telah merilis panduan bagi semua masid selama Ramadan. Mereka merekomendasikan waktu salat tarawih diperpendek, ventilasi diperbanyak, dan para imam sebaiknya memakai masker ganda guna melindungi jemaah.

Dr Shehla Imtiaz-Umer, seorang dokter umum dan juru bicara BIMA, berkata kepada BBC: "Kami telah menyaksikan banyak penderitaan di komunitas kami akibat pandemi Covid-19 dan kami ingin memastikan Ramadan-Ramadan berikutnya tidak terdampak separah ini. "Sayangnya Ramadan tahun lalu dan tahun ini masih terdampak. Namun, jika kita terus menerima vaksin dan memastikan kita semua terlindungi, kita bisa memastikan Ramadan berikutnya dapat kembali berjalan normal."

Bagaimana dengan Indonesia?

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa vaksinasi Covid-19 tidak membatalkan puasa dan boleh dilakukan oleh Muslim yang sedang berpuasa. Berdasarkan fatwa tersebut, MUI merekomendasikan agar pemerintah melakukan vaksinasi di bulan Ramadan demi mencegah penularan Covid-19.

Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan vaksinasi di bulan Ramadan akan diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi umat Islam yang sedang berpuasa. "Saya yakin puasa itu walaupun dalam kondisi berpuasa, kondisi tubuh kita tidak berpengaruh terhadap pemberian vaksinasi," ujarnya, seperti dikutip laman resmi Kementerian Kesehatan.

"Untuk vaksinasinya sendiri kita tetap lakukan di pagi hari sampai sore, mungkin dapat juga dilakukan malam hari atau bisa juga dilakukan di masjid pada malam hari, asal tidak mengganggu ibadah di bulan Ramadan," dia menambahkan tidak ada persiapan khusus untuk melaksanakan vaksinasi di bulan Ramadan, selain istirahat cukup dan sahur dengan makanan bergizi seimbang.

Sepenting apakah kehalalan vaksinasi Covid-19?

PT Bio Farma resmi menerima sertifikat halal vaksin Covid-19 Sinovac dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama pada Rabu (13/1) kemari. Melalui penyerahan sertifikasi halal ini, maka vaksinasi massal vaksin Covid-19 buatan Sinovac bisa dimulai setelah BPOM telah memberikan persetujuan untuk penggunaan darurat.

Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir, mengatakan masalah kehalalan vaksin menjadi isu utama di Indonesia. Hal ini berdasarkan pengalaman vaksin rubela yang tak optimal pada 2018 lalu. "Di Indonesia itu vaksin itu harus ada faktor safety, khasiat, mutu, dan halal," kata Honesti dirilis BBC News Indonesia.

Penyerahan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan dapat melancarkan program vaksinasi di Indonesia. "Kita tak perlu ragu bahwa vaksin Sinovac ini suci dan halal," kata Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa'adi.

Kabar tersebut melegakan sejumlah orang yang sempat merasa ragu, terutama mereka yang akan ikut serta dalam tahap pertama vaksinasi Januari ini. Kehalalan vaksin - selain keamanannya - adalah isu yang penting bagi sebagian masyarakat Indonesia yang beragama Islam, dan dapat memengaruhi keberhasilan suatu program vaksinasi.

Pada 2018, kampanye nasional imunisasi campak-rubella (MR) sempat ditolak oleh majelis ulama di sejumlah daerah, antara lain Kepulauan Riau dan Aceh, yang menganggap vaksin tersebut haram karena proses pembuatannya melibatkan enzim trypsin dan gelatin yang berasal dari babi. Akibatnya, hampir 10 juta anak tidak diimunisasi.

Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi, berharap keputusan MUI dapat meyakinkan orang-orang yang sebelumnya merasa ragu dengan vaksin Covid-19. Menurut survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan, 30-40% masyarakat Indonesia menyatakan ragu dengan vaksin Covid-19, dan 7% lainnya tidak mau divaksinasi. Persoalan kehalalan menjadi salah satu alasan keraguan tersebut, kata dr. Nadia. "Alhamdulillah, sudah terjawab [dengan keputusan MUI]. Apalagi vaksin ini adalah vaksin pertama yang akan kita gunakan dalam penyuntikan perdana," ungkapnya.

Keputusan MUI jelas membuat Masry, seorang dokter di Aceh, merasa lega. Sebagai tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok prioritas penerima vaksin dalam tahap pertama vaksinasi Covid-19 - dia menerima SMS notifikasi yang memastikan itu - Masry mengaku sempat merasakan dilema. Dia menginginkan vaksin yang halal, namun dia juga memahami kedaruratan situasi yang ia hadapi sebagai pekerja di garis depan. "Ini pertanyaan yang berat, jika dalam kondisi darurat, vaksin yang tidak ada sertifikasi halal pun harus di pakai," ujarnya.

Sebelumnya, sempat beredar sebuah pesan melalui WhatsApp yang meragukan kehalalan vaksin Sinovac. Pesan tersebut mengatakan bahwa vaksin Sinovac yang akan digunakan dalam program vaksinasi terbuat dari jaringan kera hijau Afrika yang tidak halal. Kabar tersebut dibantah oleh senior manager PT Bio Farma, Bambang Herianto, yang juga menjadi juru bicara vaksinasi Covid-19.

Bambang menjelaskan bahwa vaksin dari Sinovac dibuat dari virus Covid-19 yang telah diinaktivasi, yang berarti materi genetiknya dihancurkan, bukan virus hidup atau dilemahkan. Sebelum digunakan sebagai bahan baku vaksin, virus diperbanyak dalam media yang disebut sel vero yaitu keturunan dari sel yang diambil dari dari ginjal monyet hijau Afrika pada tahun 1960-an. "Sel vero ini tidak akan ikut atau terbawa sampai dengan proses akhir pembuatan. Dengan demikian, pada produk akhir vaksin, tidak lagi nanti mengandung sel vero tersebut," ujar Bambang.

Isu kehalalan menjadi salah satu penyebab kegagalan kampanye nasional imunisasi campak-rubella (MR) pada 2018. Vaksin yang digunakan dalam program tersebut, diproduksi Serum Institute of India, sempat ditolak oleh majelis ulama di sejumlah daerah, antara lain Kepulauan Riau dan Aceh. Alasannya, vaksin dianggap haram karena proses pembuatannya melibatkan enzim trypsin dan gelatin yang berasal dari babi. Namun bahan-bahan tersebut tidak ada yang tersisa di produk akhirnya karena telah melalui beberapa kali proses pemurnian.

MUI waktu itu akhirnya menyatakan vaksin tersebut haram, namun membolehkan penggunaannya atas alasan kedaruratan. Akan tetapi sebagian masyarakat sudah telanjur ragu sehingga hampir 10 juta anak tidak diimunisasi. Pakar imunisasi, dr. Elizabeth Jane Supardi, menyebut capaian program tersebut hanya 68% dari yang seharusnya 95% sehingga harus diulang di seluruh Indonesia kecuali provinsi Bali dan Yogyakarta pada 2021.

Menurut perempuan yang pernah menjabat direktur surveilans dan karantina penyakit di Kemenkes ini, kegagalan tersebut mengakibatkan banyak kerugian baik dari segi materi maupun kesehatan. "Untuk kampanye di Indonesia, negara keluar uang 100 juta dolar AS. Dan 68% ini negara dirugikan, uang sudah keluar tapi cakupan tidak tercapai," kata dr. Jane.

Ia menambahkan, pemberian imunisasi yang setengah-setengah ini justru menimbulkan ancaman congenital rubella syndrome alias cacat bayi baru lahir karena rubella. "Jadi ruginya itu, berarti dalam beberapa tahun ini kasus-kasus bayi lahir cacat karena rubella akan meningkat dibanding sebelum melakukan MR campaign," ungkapnya.

Dengan keputusan halal dari MUI, diharapkan masalah tersebut tidak terulang kembali. "Itu kalau tidak dilakukan upaya-upaya masif dan terstruktur, itu bisa jadi di Indonesia akan berubah menjadi wabah," kata wakil sekretaris jenderal MUI Pusat Bidang Fatwa, Sholahudin Al-Aiyub.

Tags : Covid-19, Virus Corona, Umat Islam, di Himbau Jalani Vaksinasi Saat Puasa Ramadan,