UNGGAHAN media sosial, algoritma, dan teori konspirasi mungkin membentuk cara generasi masa depan memahami dunia saat ini. Saat John Randolph menulis buku pertamanya, tentang kehidupan keluarga Bakunin di Rusia pada abad ke-19, dia memiliki segunung sumber bahan untuk dikerjakan.
"Saya membaca ratusan, mungkin ribuan surat," ujar Randolph tentang tulisannya yang terbit tahun 2007 itu . "Semua surat itu disimpan secara cermat di dalam arsip keluarga," tuturnya seperti dirilis BBC.
Keluarga Bakunin menceritakan kehidupan dan hubungan mereka secara mendalam dalam surat-surat tersebut. Cerita itu mewariskan detail menarik untuk sejarawan yang hidup di era setelahnya, seperti Randolph yang bekerja sebagai pimpinan Pusat Studi Rusia, Eropa Timur, dan Eurasia di University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat.
Namun apa yang terjadi jika arsip yang didapatkan Randolph berbentuk unggahan dan foto di media sosial? Tak pelak lagi, bentuk dan isi dari arsip membentuk perspektif setiap orang yang ingin menjelajahi masa lalu. Pertanyaannya, bagaimana dengan zaman kita sekarang? Jika media digital bertahan cukup lama untuk dipelajari oleh sejarawan pada masa depan, walau tak ada jaminan itu akan mereka lalukan, bagaimana berbagai unggahan akan memengaruhi penilaian mereka tentang kita sebagai manusia?
Pesan teks biasa, email, dan unggahan media sosial menawarkan kilasan peristiwa yang sedang berlangsung sekaligus pendapat orang yang membuatnya. Sejarawan masa depan mungkin akan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang kehidupan pada zaman ini, berkat triliunan foto dan rekaman video di media sosial. Mereka akan dapat memahami bahasa tubuh dan intonasi vokal seseorang di tahun 1990-an. Itu tidak didapatkan sejarawan era kita sehingga dia hanya memiliki sedikit gambaran tentang seperti apa sebenarnya hal-hal yang berkembang, katakanlah, pada dekade 1390-an. "Salah satu hal menakjubkan yang terjadi saat ini adalah kita mendapatkan visi masa lalu yang jauh lebih lengkap dan lebih bulat yang memiliki lebih banyak materi, memiliki lebih banyak warna," kata Randolph.
Film dan acara televisi, foto pribadi, video, dan unggahan media sosial, merekam dengan sangat detail bagaimana orang hidup sehari-hari. Itu juga termasuk tekanan yang mereka hadapi. Ada narasi tentang bagaimana orang-orang bepergian, makan, dan bersosialisasi. Belum pernah sebelumnya dalam sejarah manusia, hal-hal kecil dalam kehidupan didokumentasikan secara berlebihan. Siapa pun yang mempelajari sejarah makanan, olahraga, transportasi, rekreasi, atau aspek lain dari gaya hidup kita, akan mendapatkan sumber yang utuh.
Tapi bagaimana sejarawan masa depan dapat memahami cara berpikir kita? Di satu sisi, saat ini banyak orang yang gemar mengunggah cuitan ke Twitter atau media sosial lain tentang pikiran dan emosi mereka. Di sisi lain, manusia yang hidup sebelum zaman kita jarang menulis narasi panjang dan terperinci tentang pikiran dan perasaan mereka.
Penulis surat yang produktif tidak hanya melestarikan apa yang terjadi, tapi juga menceritakan peristiwa dan tanggapan pribadi mereka terhadapnya. Contohnya adalah Mary Montagu, yang memperkenalkan inokulasi cacar ke Inggris setelah dia menyaksikan kejadian di luar negeri. Ada juga Horace Walpole, yang surat-suratnya merekam semua jenis perubahan sosial, termasuk kegemaran orang Georgia untuk mandi spa.
Blog, buku nonfiksi dan beberapa produk jurnalisme panjang bisa dibilang telah menggantikan keberadaan surat yang dulu menjadi wadah mengabadikan pemikiran dan hal-hal yang dilihat. Namun, medium baru itu dianggap kurang bersifat pribadi atau sumber informasi yang kurang intim. Karena sifat media sosial yang sangat pribadi, sejarawan masa depan mungkin menilai era kita sebagai era yang sangat narsis. Dan itu mungkin benar.
Pendapat ini dikatakan Katrin Weller, seorang ilmuwan informasi sekaligus kepala tim analisis dan layanan sosial di GESIS Leibniz Institute for the Social Sciences, Jerman. Modal sosial selalu penting dalam masyarakat. Di sisi lain, narsistik bukan hal baru. Namun, Weller menilai bahwa unggahan swafoto dan promosi diri yang tak ada habisnya menunjukkan banyak orang saat ini sangat peduli pada citra mereka di mata orang lain.
Fakta bahwa orang-orang sangat peduli tentang hal ini mungkin membingungkan para peneliti di masa depan. "Bayangkan Anda mengunjungi galeri dan melihat koleksi museum berupa pemengaruh yang paling terkenal di Instagram dan apa yang mereka unggah," kata Weller.
Potret abad ke-17 cenderung didominasi citra bangsawan dan anggota kerajaan karena mereka adalah orang-orang kaya yang dapat membayar seniman. Namun media visual saat ini berbeda dan menampilkan orang-orang yang paling terlihat dan vokal di dunia maya. Kelas sosial masih menjadi salah satu faktor, tapi hampir semua orang saat ini dapat mencatat kehidupan mereka di media sosial.
Bagaimanapun, peneliti masa depan tidak akan hanya mengandalkan catatan digital. Mereka juga akan memilih artefak fisik yang kita tinggalkan. Peninggalan itu adalah yang bertahan lama dan ditemukan di banyak tempat, seperti plastik. Pengemasan, misalnya, menyimpan semua detail tentang produk yang kita beli dan juga makanan apa yang kita makan, bahan apa yang digunakan, dan bagaimana kita menyimpan barang tersebut. (Sekarang relatif umum menemukan pplastik berusia puluhan tahun yang mengotori lingkungan. Adik saya baru-baru ini menemukan bungkus berusia 30 tahun yang terkubur di kebunnya.)
Itu adalah hal lain yang akan terlihat jelas bagi generasi mendatang. Kita menghasilkan banyak sekali sampah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan dengannya. Ada harapan orang-orang di masa mendatang dapat menangani persoalan ini secara lebih baik. Di masa depan, mengetahui kehidupan sehari-hari di abad ke-21 mungkin relatif mudah. Tapi Weller berkata, salah satu pertanyaan besar yang diajukan sejarawan adalah bagaimana dan mengapa peristiwa sejarah yang signifikan terungkap seperti itu.
Misalnya, mengapa gerakan politik tertentu dapat berkembang dan bagaimana penyebarannya? Media sosial mungkin merekam meme dan pesan viral, tapi itu belum tentu menjelaskan popularitas sebuah gagasan di populasi yang lebih luas. "Saat ini adalah era di mana algoritma membentuk banyak kehidupan kita," kata Weller. Inilah yang sulit dipahami para peneliti hari ini.
Jika sistem algoritma tidak dilestarikan untuk analisis retrospektif, dampaknya terhadap perjalanan sejarah bisa menjadi misteri seperti kotak hitam raksasa. Mungkin sulit atau tidak mungkin untuk mengetahui bagaimana rasanya menggunakan situs seperti Facebook untuk menggali sejarah, bahkan jika konten media sosial dari zaman kita dipertahankan dan dapat diakses pada masa depan.
Dalam esainya di The Atlantic, Alexis Madrigal menulis bahwa fungsionalitas media sosial biasanya tidak disimpan setiap kali situs itu diperbarui atau didesain ulang. Pembaruan itu cenderung sering terjadi. Yang terpenting, pasang surut ideologi dan hasrat politik dapat membuat sejarawan masa depan menggaruk-garuk kepala. Karena disinformasi yang bertebaran di media sosial, mereka mungkin bertanya-tanya, mengapa sejumlah kecil orang di awal abad ke-21 beralih ke teori konspirasi tentang Bumi datar atau vaksin "dipersenjatai"?
Ini bisa dibilang sulit untuk dipahami bahkan sekarang, terutama pada masa depan ketika tidak ada dari kita yang akan memberikan kesaksian tentang semua ini. Apakah algoritma abad ke-21 memanipulasi orang sedemikian rupa sehingga beberapa orang dicuci otak? Beberapa orang mungkin lebih rentan daripada yang lain terhadap iming-iming media manipulatif, tapi mengapa mereka begitu mudah ditipu?
Pertanyaan yang sama yang kita tanyakan pada diri kita sendiri hari ini mungkin akan tetap ada selama berabad-abad yang akan datang. Salah satu kemungkinan yang mengkhawatirkan adalah bahwa disinformasi digital hari ini akan dianggap remeh di masa depan. Bayangkan orang-orang 100 tahun dari sekarang menjelajahi kolom surat kabar digital, blog dan Twitter dan memiliki ketidaksepakatan yang sama tentang, katakanlah, manfaat dari Brexit atau perilaku mantan Presiden AS, Donald Trump, karena mereka memiliki arsip yang besar berisi unggahan terpolarisasi. "Orang bisa menjangkau arsip dan mengeluarkan apa pun yang mereka inginkan dan itu pasti akan menjadi masalah yang lebih besar, hanya karena skala materialnya," kata Randolph.
Dengan kata lain, disinformasi hari ini bisa saja mendistorsi sejarah. Potensi distorsi sejarah itu semakin besar akibat media digital karena media sosial berfungsi sebagai "mesin dekontekstualisasi" raksasa, menurut Randolph. Gambar dan video sering kali muncul tanpa informasi tentang dari mana asalnya, kapan dibuat, atau siapa yang membuatnya. Juga tidak selalu jelas apakah itu diedit atau dibuat sebagai "kepalsuan yang mendalam" oleh sistem kecerdasan buatan.
Keprihatinan munculnya distorsi itu diungkap Clare Miles, seorang blogger isu sejarah yang mempertimbangkan nilai informasi meme untuk generasi mendatang. Meme hari ini dapat digambarkan sebagai bentuk evolusi dari kartun politik abad ke-18. Mereka secara visual menarik dan biasanya berisi beberapa pengamatan atau keterangan yang tajam dan sinis. Namun, seperti beberapa kartun lama, identitas dan motivasi pembuatnya biasanya tidak diketahui. "Ketika mempelajari meme di masa depan, kita mungkin harus mempertimbangkan bahwa meme itu dibuat oleh seseorang yang memiliki interpretasi yang sangat berbeda dari peristiwa atau topik tertentu berdasarkan informasi yang mereka anggap nyata," tulis Miles.
Dan ada begitu banyak data yang beterbangan di media sosial hari ini sehingga mengarunginya berabad-abad dari sekarang mungkin menjadi tugas yang menakutkan. "Saya pikir kita akan menghadirkan generasi masa depan dengan arsip yang setara dengan loteng penimbun yang sangat kaya di mana Anda memiliki banyak barang acak," kata Randolph.
Sejarawan mungkin akan dipaksa untuk mengandalkan metode ilmu data untuk mencari dan mengatur arsip secara otomatis untuk informasi yang mereka butuhkan. Ada juga kemungkinan sebaliknya bahwa banyaknya informasi dapat membuat sejarah masa lalu terlihat hambar. Orang mungkin, benar atau salah, berasumsi bahwa mereka sudah memiliki gagasan bagus tentang seperti apa kehidupan tahun 2000-an dan malah terobsesi dengan tahun 1800-an.
Namun Weller tidak yakin ini akan terjadi. Generasi mendatang mungkin akan mengagumi karier pendiri Apple, Steve Jobs. Mereka mungkin akan menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mencoba memahami kehidupan orang-orang yang tumbuh di negara berkembang dengan cepat di zaman kita. Orang bertanya-tanya apakah cuitan Twitter dan unggahan blog yang kita tinggalkan akan sepenuhnya mengungkapkan bagaimana masyarakat kita berpikir tentang dan berusaha untuk mengatasi tantangan besar seperti perubahan iklim. Apa yang kita lakukan hari ini dan penyebab itu terjadi. Seperti yang dikatakan Weller, "Cerita menarik akan muncul, apa pun yang terjadi."
Tags : Media sosial, Sejarah,