Nasional   2024/12/02 12:1 WIB

Upah minimum 2025 naik 6,5 Persen, Buruh: 'Tidak ada Artinya, Lain Ceritanya Kalau 8-10 Persen'

Upah minimum 2025 naik 6,5 Persen, Buruh: 'Tidak ada Artinya, Lain Ceritanya Kalau 8-10 Persen'
Buruh yang tergabung di KSPI menuntut kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 8%-10%. 

JAKARTA - Kelompok buruh FSBPI dan KSBSI menyebut kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% pada tahun depan "tidak ada artinya" jika pemerintah memberlakukan setidaknya sepuluh kebijakan baru yang membebani kelas pekerja.

Kebijakan yang mereka sebut, antara lain kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kenaikan iuran BPJS kesehatan, perubahan subsidi KRL berbasis NIK, pembatasan subsidi BBM, dan iuran Tapera.

Pengamat ekonomi dari Celios, Bhima Yudhistira, juga memiliki pendapat yang sama. Ia mengatakan, kalau dengan asumsi inflasi tahun depan 4% maka kenaikan upah pekerja sesungguhnya cuma 2,5%.

Dampaknya, kata Bhima, wacana Presiden Prabowo Subianto meningkatkan daya beli pekerja akan sulit terwujud.

Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia, Bob Azam, bilang kenaikan upah yang ideal menurut hitungan lembaganya hanya sebesar 3,5%. Mereka berpijak pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang pengupahan.

Seorang buruh pabrik di Yogyakarta, Windhy, mengaku pasrah ketika mendengar pengumuman dari Presiden Prabowo Subianto soal besaran kenaikan upah minimum rata-rata nasional 6,5%.

Sebab kalau diuangkan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Yoygakarta hanya akan mencapai Rp138.000.

Angka itu tak jauh beda dari kenaikan tahun-tahun sebelumnya yang tak pernah lebih dari Rp150.000.

Pada 2024, UMP Yogyakarta adalah Rp2.125.897. Jika dikalkulasi dengan kenaikan 6,5%, jumlahnya menjadi Rp2.264.080.

Perempuan 24 tahun ini mengatakan upah sebesar itu "ngepas sekali" untuk memenuhi kebutuhannya beserta suami dan anaknya yang berusia 15 bulan.

"Rasanya sama saja karena biasanya upah naik itu per tahun Rp100.000, Rp120.000, Rp150.000 gitu,” katanya, Minggu (01/12).

Windhy bekerja sebagai penjahit di pabrik konveksi. Setiap hari dia bekerja dari jam 7 pagi sampai 3 sore. Karena tergolong pegawai baru, Windhy dapat kerja lembur satu hingga dua jam.

Dari lembur itu, dia bisa mendapatkan tambahan Rp150.000 per bulan.

Tambahan pemasukan Windhy dari suaminya yang bekerja di bengkel juga tak terlalu besar. Pasalnya, sang suami dibayar per hari—itu pun berdasarkan jumlah jasa service yang dia lakukan.

Semua uang hasil keringatnya dan suami, kata Windhy, dipakai untuk kebutuhan keluarga.

Pengeluaran terbesar mereka adalah cicilan utang ke bank dan keperluan sehari-hari yang jumlahnya bisa sampai Rp2 juta.

"Popok bayi dan susu itu lumayan besar pengeluarannya," kata Windhy.

Itulah mengapa, bagi Windhy, kenaikan upah 6,5% tak bisa menutupi mahalnya harga-harga kebutuhan pokok tahun depan. Belum lagi, sambungnya, ada rencana kenaikan PPN 12%, wacana kenaikan harga BBM, dan iuran BPJS kesehatan.

Kalau semuanya naik, Windhy merasa hidupnya makin berat.

"Saya, ya keberatan. Apalagi BBM naik. Sekarang saja ongkos pergi-pulang rumah ke pabrik sudah berat. Ngos-ngosan. Dari rumah ke pabrik 45 menit naik motor, jauh," ucapnya.

Menurut hitungan kasarnya kenaikan upah yang ideal sekitar Rp500.000.

Tapi kalaupun pemerintah tak bisa memenuhi kesejahteraan buruh, setidaknya jangan menaikkan pajak dan hal-hal yang memberatkan lainnya.

"Kalau menurut saya, UMP naik tapi pajaknya jangan. Kalau sebagai buruh pabrik, dikasih pajak segitu padahal gajinya enggak sepiro [seberapa], memang UMP naik tapi sama aja harus bayar pajak dan lain-lain."

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih, mengatakan besaran kenaikan upah minimum nasional yang sebesar 6,5% sebetulnya jauh dari harapan mereka.

Sebab angka itu, klaimnya, tidak sebanding dengan kenaikan-kenaikan harga kebutuhan pokok yang selalu terjadi setiap awal tahun.

Belum lagi kenaikan sewa indekos, ditambah PPN 12%, pembatasan subsidi BBM, dan biaya-biaya kesehatan serta pendidikan lainnya.

"Enggak impas kenaikan 6,5% itu untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya," ucap Jumisih.

Kalau memakai hitungan kasar para buruh FSBPI—yang kebanyakan perempuan—kenaikan upah idealnya di atas 10% sehingga bisa memenuhi standar kebutuhan hidup buruh beserta keluarganya.

Mereka beralasan, tidak semua buruh lajang, ada yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Para buruh yang mempunyai anak harus menyisihkan upah sekitar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta untuk biaya penitipan anak.

Pengeluaran untuk biaya daycare tersebut, kata Jumisih, kerap kali tak diperhitungkan pemerintah ketika mengkalkulasi soal pengupahan. Padahal itu termasuk kebutuhan dasar.

"Ibu yang bekerja kan ingin bekerja dalam kondisi tenang dan anaknya dijaga dengan baik, tapi biaya momong anak itu enggak masuk hitungan," tuturnya.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita, juga menilai kenaikan upah minimum nasional 6,5% tidak ada artinya kalau pemerintah tetap membebani kelas pekerja dengan berbagai kebijakan.

"Kalau PPN naik, harga BBM naik, kontrakan dan sembako juga naik, memang enggak ada artinya. Harusnya pemerintah hadir dengan menjaga harga-harga kebutuhan pokok dan menunda pajak-pajak," ujar Elly.

"Jangan seperti main petak umpet, buruh dibikin terlena dengan kenaikan upah tapi di belakangnya pemerintah menaikkan berbagai pajak.

"Biarkan upah yang naik itu dinikmati dulu untuk meningkatkan daya beli mereka," tuturnya.

KSBSI mempunyai hitungan sendiri soal pengupahan. Mereka memakai konsep pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi dan indeks tertentu (kumulatif).

Indeks tertentu tersebut diubah menjadi penambah, bukan variabel pengurang seperti yang selama ini diterapkan dalam PP 51/2023.

Dengan memakai formula itu, maka kenaikan upah rata-rata nasional bisa mencapai 7%-10%.

Elly mengambil contoh upah minimum provinsi Jakarta sebesar Rp5.067.381. Dengan formula kumulatif, kenaikan upah tahun depan akan mencapai 7,74% atau Rp392.215.

"Kenaikan itu, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 4,84%, inflasi 1,70%, dan rentang nilai indeks tertentu 1,2%," kata Elly.

Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, tidak memahami formulasi yang digunakan Presiden Prabowo Subianto dalam menentukan besaran kenaikan upah rata-rata nasional 6,5%.

Dia berkata, PP 51/2023 tak lagi berlaku setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan uji materi UU Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan baru-baru ini.

Namun, kata Bhima, apabila pemerintah merujuk pada PP 78/2015 tentang pengupahan, maka kenaikan upah minimum 2025 seharusnya 6,79%.

"Jadi keputusan upah naik 6,5% ini sepertinya lebih kepada pertimbangan politik, bukan pertimbangan berdasarkan formulasi yang rasional. Malah kayak negosiasi," ujar Bhima.

"Supaya buruh senang dan pengusaha juga bisa menoleransi," tuturnya.

Serupa pernyataan serikat buruh, Bhima menyebut kenaikan 6,5% terlalu kecil bila pemerintah tetap berkeras menerapkan berbagai kebijakan baru yang membebani pekerja tahun depan.

"Perkiraan kami ada sepuluh kebijakan baru yang akan menjadi beban kelas pekerja, mulai dari PPN, iuran BPJS kesehatan, subsidi BBM, Tapera, dan masih banyak lagi," kata Bhima.

Bhima berkata, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir pekerja formal di Indonesia sesungguhnya memperoleh kenaikan upah riil yang rendah.

Penyebabnya, antara lain kenaikan biaya perumahan, pendidikan, dan sembako.

Dia mengambil contoh kenaikan upah minimum rata-rata 7,5% pada 2023. Jika dikurangi inflasi bahan makanan yang sebesar 6,37%, maka upah riil pekerja hanya mencapai 1,13%.

Sedangkan kalau dengan asumsi inflasi tahun 2025 adalah 4%, maka kenaikan upah riil pekerja sesungguhnya cuma 2,5%.

"Jadi kecil sekali yang bisa dinikmati pekerja dan tidak akan terlalu berdampak pada daya beli masyarakat terutama kelas pekerja," ujar Bhima.

"Kalau di Jakarta, kenaikan 6,5% artinya kenaikan upahnya sekitar Rp300.000, sementara hasil simulasi Celios dengan kenaikan PPN 12% ada tambahan pengeluaran bagi buruh sebesar Rp350.000 per bulan."

"Artinya ini tidak sepadan," tuturnya.

Menurut Bhima, fungsi upah minimum tidak sebatas memberikan perlindungan bagi para pekerja, namun menjadi stimulus perekonomian.

Sayangnya, kata dia, konsep itu belum pernah digunakan pemerintah sebagai strategi mendorong konsumsi rumah tangga dan perputaran ekonomi domestik.

Kebijakan pengupahan yang selama ini diterapkan, menurut Bhima, seringkali hanya memakai kacamata pengusaha yang menganggap bahwa upah murah akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan menarik investasi baru.

Padahal dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, klaim Bhima, upah murah terbukti tidak dapat mendongkak kenaikan serapan tenaga kerja.

Bhima mencontohkan, pada 2014 setiap Rp1 triliun investasi yang masuk menciptakan penyerapan 3.313 orang tenaga kerja. Sementara pada 2023, setiap Rp1 triliun realisasi investasi yang masuk, hanya mampu menyerap 1.283 tenaga kerja.

"Ini menunjukkan korelasi yang tidak lurus antara upah rendah dengan investasi yang masuk," ujar Bhima.

Pemerintah Indonesia, menurutnya, harus mengubah cara pandang "yang tertinggal itu".

Dengan menaikkan upah minimum lebih tinggi, maka rumah tangga akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi, dan pada akhirnya akan dibelanjakan lebih banyak ke pelaku usaha domestik.

Padahal kalau berdasarkan simulasi yang dilakukan Celios, kenaikan upah minimum 1,58% bisa mendongkrak surplus usaha sebesar Rp11,23 triliun.

Adapun jika kenaikan upah 8,7% maka surplus usahanya meningkat menjadi Rp61,84 triliun.

Sedangkan pada kenaikan upah 10%, angka surplus usaha mencapai Rp71,08 triliun.

Atas dasar itulah hitungan Celios, idealnya upah minimum naik di atas 8,7%-10%. Dengan begitu Pendapatan Domestik Bruto (PDB) akan terdorong naik hingga Rp106,3 hingga Rp122 triliun.

"Jadi upah salah satu cara menstimulus konsumsi rumah tangga di tengah ekspor kurang baik, mitra dagang melemah, adanya perang dagang, dan turunnya penjualan ritel."

"Makanya di kondisi sekarang, upah harus lebih tinggi lagi, jadi pekerja langsung membelanjakan uangnya."

"Lagian pengusaha sudah banyak dapat stimulus dari pemerintah, termasuk PPh turun dari 22% ke 20%. Plus tax amnesty," kata Bhima.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengatakan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5% tahun depan berdasarkan hasil keputusan melalui rapat terbatas bersama serikat buruh dan menteri-menterinya.

Prabowo bilang kenaikan itu sedikit lebih tinggi dari usulan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, yang sebelumnya merekomendasikan kenaikan sebesar 6%.

Dia menyebut besaran upah minimum tersebut ditujukan sebagai jaring pengaman sosial bagi pekerja, terutama yang bekerja kurang dari 12 bulan.

Prabowo juga menegaskan bahwa penetapan upah ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja sambil tetap menjaga daya saing usaha.

Prabowo berkata, upah minimum sektoral akan ditentukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten.

Adapun soal ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan upah minimum ini akan diatur melalui peraturan Kenteri Ketenagakerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, sebelumnya menyebut akan mengeluarkan regulasi itu pada 4 Desember. Ia meminta pemerintah daerah segera menindaklanjutinya.

Dia berharap pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan pemerintah pusat terkait kenaikan upah minimum ini. Kemnaker berencana membuat sosialisasi ke pemda tentang kebijakan ini.

"Karena tadi kondisinya tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya semoga kami dapat sinergi yang baik," ujarnya.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, bilang akan terus menagih Kemnaker soal formulasi penghitungan upah minimum yang menghasilkan angka 6,5% itu.

Sebab kalau pakai hitungan pengusaha, kenaikan upah minimum berada di angka 3,5%.

"Meskipun jatuhnya bisa lebih dari itu, antara 4,5% sampai 6%, karena ada efek berganda, kan upah di atas yang minimum juga harus naik juga," ujar Bob Azam.

Bob berkata dengan kenaikan upah rata-rata minimum nasional mencapai 6,5% para pebisnis mencemaskan pengurangan tenaga kerja alias PHK. Alasannya, industri padat karya sangat sensitif terhadap upah.

"Upah itu memakan porsi yang lebih besar di industri padat karya, upah naik 50% maka pengeluaran bisa lebih tinggi lagi," ujarnya membuat klaim.

Menurut Bob, sejak demonstrasi besar-besaran soal upah pada 2012, investasi yang masuk ke Indonesia jauh menurun.

Indonesia bahkan, klaimnya, tak lagi menjadi negara tujuan investasi nomor satu di Asia.

Kendati demikian, Bob berharap pemerintah memberikan kelonggaran bagi perusahaan yang menghadapi kesulitan menjalankan kebijakan pengupahan tersebut. (*)

Tags : Ekonomi, Hak perempuan, Hak asasi, Inflasi, Pekerjaan, Perempuan,