INTERNASIONAL - Presiden Donald Trump dinyatakan kalah dalam pemilihan umum Amerika Serikat (Pemilu AS) menurut hitung cepat sejumlah lembaga. Ia menolak mengakui kekalahannya. Bahkan Trump mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis jelang akhir masa jabatannya mulai dari rombak kabinet hingga menyetujui menjual pesawat jet ke UEA. Sikap Donald Trump yang menolak mengakui kekalahan berpotensi membuat transisi pemerintahan ke presiden terpilih, Joe Biden, terganggu. Alasannya proses transisi biasa diurus tim Presiden Amerika Terpilih dan badan Layanan Administrasi Umum (GSA).
GSA bisa memulai proses transisi begitu jelas siapa yang memenangi Pemilu AS. Sikap Trump yang berkukuh menang dan mengajukan gugatan sengketa pemilu bisa membuat GSA menolak proses transisi. "Kami belum memutuskan bahwa ada pemenang yang jelas," ujar juru bicara GSA, Selasa, 10 November 2020.
Donald Trump memutuskan merombak kabinet di akhir-akhir masa jabatannya ini. Ia memecat Menteri Pertahanan Mark Esper dan menggantinya dengan Christopher Miller, direktur National Counterterrorism Center. "Mark Esper telah diberhentikan," cuit Trump di Twitter. Setelah Mark Esper, pejabat Pentagon yang kena pecat Donald Trump adalah James Anderson yang mengklaim dirinya mengundurkan diri. Ia kemudian digantikan oleh Brigjen Anthony Tata. Menyusul Anderson adalah Pejabat Intelijen Pentagon Jospeh Kernan dan Kepala Staf Pentagon Jen Stewart.
Terbaru Donald Trump menyetujui penjualan senjata canggih AS termasuk jet tempur F-35 dan drone ke Uni Emirat Arab (UEA). Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo kkongres pada Selasa kemarin. Pemberitahuan ini mengikuti perjanjian yang ditengahi AS pada bulan September di mana UEA setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, menjadi negara Teluk Arab yang pertama yang mengakui Israel. Paket penjualan senilai US$ 23,37 miliar (Rp 328,8 triliun) itu mencakup hingga 50 pesawat F-35 Lighting II, sampai 18 MQ-9B Unmanned Aerial Systems atau drone dan paket amunisi udara-ke-udara dan udara-ke-darat, kata Departemen Luar Negeri, dikutip dari Reuters, 11 November 2020.
Obama nilai tuduhan Trump lemahkan demokrasi
Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menuding para politisi senior Partai Republik melemahkan demokrasi dengan ikut-ikutan mendukung klaim Presiden Donald Trump bahwa ada kecurangan pemilu—walau tanpa memberi bukti. Dalam wawancara dengan CBS News yang bakal tayang Minggu (15/11), Obama menegaskan Presiden terpilih Joe Biden "jelas menang" pada pilpres tahun ini..
Kemenangan Biden diproyeksikan media-media AS pekan lalu, namun perhitungan suara di beberapa negara bagian masih berlangsung. Presiden Trump tidak terima dengan proyeksi kemenangan Biden. Dia melayangkan gugatan hukum di beberapa negara bagian dengan tuduhan terdapat campur tangan pada kertas suara. Akan tetapi, tim kampanye Trump belum kunjung menyediakan bukti untuk mendukung tuduhan tersebut. Obama mengatakan tuduhan-tuduhan tersebut didorong oleh fakta bahwa "sang presiden tidak suka kalah". "Saya lebih dongkol pada kenyataan bahwa beberapa petinggi Partai Republik, yang jelas lebih tahu, ikut-ikutan dengan [tuduhan] ini," kata Obama.
"[Sikap] itu selangkah lebih dekat menuju pendelegitimasian, tidak hanya pada pemerintahan Biden nanti, tapi juga demokrasi secara umum. Dan itu adalah jalur yang berbahaya."
Pernyataan Obama dikemukakan menjelang rilis buku memoar terbarunya, A Promised Land, yang mengisahkan perjalanannya dari Senat AS ke Gedung Putih. Buku yang akan diluncurkan pada 17 November mendatang tersebut adalah buku pertama dari rencana dua buku yang menceritakan pengalamannya di Gedung Putih. Dalam buku tersebut, yang cuplikannya dirilis CNN, Obama menulis bahwa Trump menjadi presiden dengan menakut-nakuti masyarakat AS mengenai kepemimpinan seorang kulit hitam di AS. "Seolah-olah keberadaan saya di Gedung Putih telah memicu kepanikan mendalam, seakan-akan saya mengganggu proses alam."
"Bagi jutaan orang Amerika yang takut dengan keberadaan seorang kulit putih di Gedung Putih, [Trump] menjanjikan obat mujarab untuk kerisauan mereka soal ras."
Sementara itu, sejumlah pejabat keamanan pemilu Amerika Serikat menyatakan Pilpres 2020 adalah "yang paling aman sepanjang sejarah Amerika". "Tidak ada bukti bahwa ada sistem pemilihan yang dihapus atau ada suara yang hilang, suara yang diubah," kata komite Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur Keamanan (Cisa).
Pernyataan itu dikemukan setelah Presiden Trump mengklaim 2,7 juta suara untuknya telah "dihapus" dalam Pilpres 2020. Kepala Cisa, Christopher Krebs, menduga dirinya akan dipecat oleh pemerintahan Trump, menurut kantor berita Reuters. Krebs disebut-sebut telah membuat penghuni Gedung Putih tidak senang lantaran Cisa mengelola sebuah laman bernama Rumor Control yang melawan informasi keliru mengenai pemilu. Asisten Direktur Cisa, Bryan Ware, telah mengundurkan diri dari jabatannya pada Kamis (12/11), setelah Gedung Putih meminta dia mundur awal pekan ini, demikian dilaporkan Reuters.
Sebelumnya, Joe Biden menyebut penolakan Presiden Donald Trump untuk mengakui kekalahan dalam pemilihan presiden pekan lalu sebagai hal yang "memalukan". Namun sang presiden AS terpilih - yang telah berbicara dengan sejumlah pemimpin negara asing - bersikeras bahwa tidak ada yang akan menghentikan perpindahan kekuasaan. Sementara itu, Trump menyatakan dalam serangkaian twit bahwa ia pada akhirnya akan memenangkan pemilihan meski ia telah diproyeksikan bakal kalah.
Sebagaimana yang terjadi setiap empat tahun, media AS memproyeksikan pemenang pemilihan presiden. Belum satu pun hasil di negara bagian yang disertifikasi, penghitungan suara di beberapa tempat masih berlangsung, dan hasil pemilu hanya akan diketahui secara pasti setelah Electoral College AS bertemu pada 14 Desember.
Apa kata Biden?
Sang presiden-terpilih ditanyai oleh seorang reporter pada hari Selasa, tentang pandangannya terhadap penolakan Trump untuk mengakui kekalahan. "Saya pikir ini hal yang memalukan, jujur saja," kata Biden, seorang politikus Demokrat, di Wilmington, Delaware.
"Satu-satunya, bagaimana saya bisa mengatakan ini dengan hati-hati, saya pikir ini tidak akan membantu warisan sang presiden. Ujung-ujungnya, Anda tahu, semua hasilnya akan terlihat pada 20 Januari," imbuhnya, mengacu pada hari pelantikan.
Biden telah bercakap-cakap lewat telepon dengan beberapa pemimpin negara asing sembari bersiap untuk menjabat. PM Inggris Boris Johnson, PM Irlandia Micheál Martin, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Angela Merkel termasuk di antara mereka yang berbicara dengannya pada hari Selasa. Mengenai percakapan tersebut, Biden berkata: "Saya memberi tahu mereka bahwa Amerika telah kembali. Kita kembali bermain". Ia beserta Wakil Presiden terpilih Kamala Harris terus melakukan proses transisi. Namun satu lembaga pemerintah pimpinan pejabat yang ditunjuk Trump menghalang-halangi proses tersebut.
Badan Administrasi Umum mengkoordinasikan pendanaan dan akses kepada departemen federal untuk pemerintahan yang akan datang. Namun, ia sejauh ini menolak untuk secara formal mengakui Biden sebagai presiden-terpilih. Meski demikian, sang presiden-terpilih berkata: "Kami tidak melihat ada yang memperlambat kami, sejujurnya."
Apa kata Trump dan para sekutunya?
Pada Selasa (10/11) Trump mengirim beberapa twit dalam huruf kapital tentang "kecurangan masif dalam penghitungan surat suara," sambil menegaskan: "Kita akan menang!". Twit-twitnya diberi label yang menyatakan klaim tersebut "diperdebatkan" (disputed) oleh Twitter. Sang presiden telah membuat klaim tak berdasar bahwa Biden hanya bisa memenangkan pemilu melalui kecurangan, namun sejauh ini belum ada bukti yang mendukung tuduhan itu. Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, seorang loyalis Trump, berkata kepada konferensi pers di Departemen Luar Negeri pada hari Selasa bahwa setelah setiap suara "legal" dihitung, "periode kedua pemerintahan Trump" akan dimulai.
Sebagian besar rekan Trump di partai Republik telah menahan diri untuk mengakui proyeksi kemenangan Biden. Ketika ditanyai mengapa ia belum mengucapkan selamat kepada sang politikus Demokrat, Senator Ron Johnson dari Wisconsin berkata pada hari Selasa: "Tidak ada alasan untuk mengucapkan selamat". Senator Missouri Roy Blunt berkata Trump "bisa jadi belum dikalahkan sama sekali". Pemimpin fraksi Republik di Senat, Mitch McConnell berkata bahwa Trump punya hak untuk mengajukan gugatan hukum terkait hasil di beberapa negara bagian kunci seperti Pennsylvania.
Apa yang terjadi dengan pemilihan Senat?
Pada hari Selasa (10/11), partai Republik mendapat dorongan dalam upaya mereka untuk mempertahankan mayoritas di majelis tinggi Kongres setelah seorang penantang dari Demokrat mengakui kekalahan dalam pemilihan di Carolina Utara. Petahana Partai Republik Thom Tillis terpilih kembali setelah lawannya dari Partai Demokrat, Cal Cunningham, dilanda skandal perselingkuhan.
Dengan hasil yang pasti di North Carolina, semua mata sekarang akan tertuju ke Georgia, tempat dua kursi senat yang saat ini dipegang oleh Partai Republik akan diputuskan dalam pemilihan putaran kedua pada Januari mendatang. Jika Demokrat memenangkan kedua kursi itu - yang tidak akan mudah - mereka masih bisa menguasai Senat. Itu karena, jika terjadi perolehan kursi yang seri 50-50, wakil presiden akan menentukan hasilnya, dan Kamala Harris akan menjabat pada Januari. Pekan lalu, Partai Republik juga berhasil merebut kembali kursi Senat Alabama yang dimenangkan oleh Demokrat pada 2018, meskipun mereka kehilangan kursi di Colorado dan Arizona. Kandidat Partai Republik saat ini memimpin dalam pemilihan di Alaska, tempat suara masih dihitung. (*)
Tags : Donald Trump, Usai Kalah Pemilu AS Trump Buat Manuver, Obama Angkat Bicara,