JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai varian baru Covid-19 yang lebih mematikan atau yang dikenal dengan varian super bisa muncul di Indonesia.
Mutasi varian baru SARS-CoV-2, kata dia, bisa muncul dari negara atau wilayah yang tidak mampu menekan laju penularan virus seperti di Indonesia. "Sangat jelas ada banget Indonesia bisa menghasilkan varian baru Covid-19 super itu sangat jelas. Karena pandemi kita tak terkendali," kata Dicky dirilis CNNIndonesia.com, Sabtu (24/7).
Secara global, sudah ditemukan empat varian varian virus corona yakni varian Alpha, varian Beta, varian Gamma dan varian Delta. Nama terakhir disebut-sebut pertama kali diidentifikasi di India. Dicky menyebut indikator sebuah wabah virus corona tak terkendali, apabila angka positivity rate melebihi standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen.
Positivity rate merupakan perbandingan antara jumlah kasus positif Covid-19 dengan jumlah tes yang dilakukan. Sementara angka positivity rate Indonesia belakangan ini berkali-kali lipat lebih tinggi ketimbang standar WHO tersebut. "Bisa dipastikan Indonesia sangat berpotensi besar melahirkan mutasi virus corona varian baru yang super," kata Dicky.
Dicky menjelaskan ada tiga kriteria mutasi virus corona varian baru masuk kategori yang mengkhawatirkan atau varian super. Pertama yakni memiliki kecepatan penularan. Kedua, kemampuan menimbulkan gejala parah bahkan kematian. Terakhir mampu menurunkan efikasi antibodi setelah vaksinasi. Dicky menilai masyarakat Indonesia saat ini masih buta dengan situasi corona yang ada di negaranya sendiri. Terlebih, upaya untuk mendeteksi penularan mutasi virus corona atau whole genome sequencing yang menyebar saat ini masih amat terbatas.
Sepanjang pandemi, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mencatat per 10 Juni 2021 lalu total baru sebanyak 2.000 sampel acak yang dilakukan whole genome sequencing di Indonesia. Meski demikian, Dicky menilai masih sulit untuk memastikan apakah sudah ada mutasi varian baru corona yang dilahirkan di Indonesia saat ini. Ia hanya mengatakan potensi tersebut masih sangat besar terjadi.
Dicky turut mengingatkan upaya terpenting mencegah munculnya varian baru yang lebih berbahaya dengan menghambat penyebarannya. Salah satunya tetap melaksanakan strategi testing, tracking dan treatment secara luas. "Lalu jangan lupa 5M, vaksinasi dan visitasi. Tanpa adanya itu, banyak kasus Covid terlewatkan yang artinya terjadi pengabaian dalam mencegah penyebaran di komunitas," kata Dicky.
Eikjman Amin Soebandrio mengatakan varian baru Covid-19 bisa muncul tidak hanya Indonesia. Tetapi bisa di semua negara karena virus tersebut bermutasi kapan saja dan dimana saja. "Varian baru corona bisa muncul di negara lain bisa di Indonesia," kata Amin kepada CNNIndonesia.com.
Ke depan, Amin mengatakan varian Covid-19 yang mendominasi bukan hanya delta, tetapi varian baru yang lain. Amin menekankan varian baru tidak selalu merupakan turunan dari varian Covid-19 yang ada sekarang. "Sekarang kan varian Covid di ada 4. Walaupun yang masuk Indonesia baru tiga. Bisa saja varian baru itu dari varian yang aslinya. Dari yang Wuhan dulu mengalami mutasi terus jadi varian baru," tegas Amin menambahkan varian baru Covid-19 bermutasi bisa jadi karena lolos dari tekanan lingkungan, baik obat, antibodi dan faktor lain.
Kapan masa inkubasi Covid-19
Penularan Covid-19 di Indonesia memang masih berada dalam angka yang tinggi. Menurut para ahli penularan Covid-19 ini disebabkan masih tingginya mobilitas masyarakat di Indonesia. Bahkan dari tingginya angka penularan Covid-19 ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan seperti Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Namun dari banyaknya penularan tersebut timbul pertanyaan 'kapan masa inkubasi Covid-19 yang paling menular?'. Rata-rata masa inkubasi Covid-19 adalah 5 hingga 6 hari. Tetapi, tidak menutup kemungkinan masa inkubasi Covid-19 sampai 14 hari. Menurut hasil penelitian, seseorang yang terinfeksi Covid-19 mungkin menularkan 48 jam sebelum mulai mengalami gejala.
Lalu, orang dianggap paling menular adalah ketika awal mulai mengalami gejala Covid-19 terutama saat batuk dan bersin. Tidak hanya itu, orang yang terinfeksi Covid-19 tetapi tidak mengalami gejala juga dapat menyebarkan virus corona kepada orang lain. Faktanya, orang yang terinfeksi Covid-19 mungkin menyebarkan penyakit jika tidak menunjukkan gejala atau pada hari-hari sebelumnya mengalami gejala.
Dari hal tersebut, karantina 14 hari tetap menjadi cara terbaik untuk menghindari penyebaran Covid-19. Namun menurut pedoman CDC seseorang dapat menghentikan karantina minimal setelah 10 hari karantina jika tidak mengalami gejala, atau setelah minimal 7 hari jika hasil Tes Covid-19 negatif dalam waktu 48 jam sebelum mengakhiri karantina.
Bagaimana dengan perjalanan internasional?
Saat ini, banyak pemerintahan terjebak dalam dilema antara kejatuhan ekonomi bila perbatasan negara ditutup untuk perjalanan non-esensial dan kebutuhan untuk melindungi populasi dari virus. Negara berbeda punya aturan berbeda, dan pakar seperti Profesor Heymann mengkritik apa yang ia sebut sebagai koordinasi payah secara global. "Dengan distribusi vaksin yang tak merata, WHO tidak akan merekomendasikan 'paspor vaksin', namun saya melihat beberapa negara akan menggunakannya," ujarnya.
"Tentu tidak etis mewajibkan sertifikat vaksinasi bila orang-orang tidak bisa melakukan perjalanan, apalagi jika mereka tidak bisa divaksin karena alasan tertentu."
Walau begitu, Uni Eropa telah mulai menerapkan Sertifikat Covid Digital, yang memperbolehkan warga negara dan penduduk melakukan perjalanan antarnegara tanpa pembatasan jika mereka sudah divaksin, memiliki hasil tes negatif, atau baru sembuh dari penyakit ini. Namun bagaimana negara-negara lain di dunia menghadapi pergerakan manusia melalui perbatasan mereka, masih belum diketahui.
Perjalanan internasional telah menurun drastis sejak Maret 2020 dan UNCTAD, Badan PBB untuk Perdagangan dan Perkembangan, memperkirakan pandemi mengakibatkan kerugian sebesar US$1,4 triliun di sektor pariwisata selama 2021. Negara-negara dengan pendapatan rendah mengalami kerugian terbanyak. Hingga 5 Juli 2021, lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia telah divaksin penuh - angka ini masih di bawah 15% dari total populasi global. "Dunia telah gagal. Sebagai komunitas global, kita telah gagal," begitu Direktur Jenderal PBB Tedros Adhanom Ghebreyesus berkata dalam sebuah pernyataan pers.
Selain isu kemanusiaan, "demokrasi vaksin" penting untuk mengontrol varian-varian Covid-19. Dalam sebuah surat terbuka baru-baru ini, pimpinan WHO, Badan Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperingatkan ketiadaan vaksin di negara-negara miskin menciptakan kondisi yang mendorong munculnya varian-varian baru. "Yang sedang terus terjadi, tahap kedua pandemi sedang berlangsung. Distribusi vaksin yang tidak adil tidak hanya membuat jutaan orang rentan terhadap virus, tapi juga membuat varian berbahaya bermunculan dan mengancam seluruh dunia," tulis mereka.
"Bahkan negara-negara dengan program vaksinasi yang bagus dipaksa untuk membuat pembatasan yang lebih ketat. Ini tidak harus terjadi."
Dalam pertemuan G7 baru-baru ini, para pemimpin dunia dari tujuh negara dengan ekonomi terkuat (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS) berjanji menyumbangkan satu miliar dosis vaksin ke negara-negara miskin. Ini masih jauh di bawah perkiraan kebutuhan vaksin di negara miskin menurut perkiraan WHO, yakni 11 miliar dosis. Dan vaksin yang mencapai semua lapisan masyarakat adalah kunci bagi imunitas, selama virus ini masih terus ada di masa mendatang. "Ada tanggung jawab kesehatan publik dan kemanusiaan untuk memastikan kita mendapatkan distribusi vaksin yang setara di seluruh dunia," kata Profesor Heymann.
Perang melawan Sars-Cov-2 juga sangat bergantung pada bagaimana perilaku virus ini terhadap binatang. Hingga saat ini, para ilmuwan masih meyakini bahwa virus corona berasal dari kelelawar dan kemungkinan melompat ke manusia melalui binatang perantara. Berbagai studi memperlihatkan virus ini bisa menginfeksi kucing, kelinci, hamster dan terutama sangat mudah menular di kalangan cerpelai - ilmuwan di Denmark menemukan bukti transmisi dari cerpelai ke manusia.
Para ahli berkata, selama masih ada binatang di alam yang bisa tertular virus ini, maka selalu ada risiko virus ini bisa menulari manusia. "Penyakit ini ada di luar sana. Jika tersedia kesempatan, mereka bisa saja melompat [ke manusia]," kata Dawn Zimmerman, dokter hewan liar di Program Kesehatan Global Institut Konservasi Biologi Smithsonian. (*)
Tags : Varian Baru Covid-19 Super, Bisa Muncul di Indonesia, Penularan Varian Baru Covid-19 Super ,