JAKARTA - Epidemiolog menyayangkan respons pemerintah Indonesia terkait penyebaran varian delta, yang disebut telah mendominasi penularan di Kudus, Bangkalan dan DKI Jakarta, yang berkontribusi pada lonjakan kasus di Indonesia, serta varian lain yang beredar di Indonesia
"Sejak tahun lalu pun sudah banyak yang masuk, varian lokal juga banyak banget. Jadi jangan menganggap mutasi itu dari luar, dari Indonesia juga banyak. Jadi jangan memandang ini semua gara-gara [varian] dari luar, ini dari dalam," kata epidemiolog Pandu Riono menambahkan kalau virus yang bermutasi, harusnya sudah diantisipasi dari tahun lalu, virus ini memang virus yang terus bermutasi, sampai kapanpun akan bermutasi.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyebut selain tiga varian berbahaya: Alpha, Beta dan Delta, yang terdeteksi di Indonesia, sejumlah varian lokal, salah satunya B.1.466.2, juga telah mendominasi penyebaran Covid-19 di Indonesia. Namun, hingga kini informasi berkaitan dengan kecepatan penularan, gejala dan penurunan efikasi antibodi varian itu belum diketahui.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang disebutnya "tenang-tenang saja" dalam merespons varian delta yang dikategorikan berbahaya dan cepat menular oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). "Kita bandingkan dengan pemimpin negara lain, misalnya PM Inggris Boris Johnson begitu tahu ada yang terinfeksi Delta variant di Inggris, yang tadinya mau dilonggarkan malah diperpanjang sebulan supaya varian itu tidak banyak menyebar ke penduduk," ujar Pandu pada pers, Kamis (17/6) kemarin.
"Kalau menyebar ke penduduk begitu dilonggarkan, nanti tidak terkendali lagi karena sudah diketahui bahwa ini sangat menular dan menyerang usia muda. Jadi itulah respons antisipasi yang dilakukan banyak negara," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengeklaim virus corona varian delta sudah mendominasi penularan di Indonesia, setidaknya di Bangkalan, Kudus dan DKI Jakarta, dengan lebih dari seratus kasus terdeteksi.
Merespons kasus varian baru yang terus bertambah, pemerintah akan memperketat protokol kesehatan, kata juru bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito. "Namun, yang utama kita lakukan adalah menjaga protokol kesehatan, menjaga jarak dan menggunakan masker karena dengan 3M itu apapun variannya pasti tidak akan meningkatkan penularan," kata Wiku.
Wiku menambahkan, pemerintah akan terus melakukan sekuens genom utuh pada sampel-sampel virus Covid-19 untuk menemukan varian baru. Ia mengatakan, suatu varian yang disebut berbahaya di negara tertentu belum tentu berbahaya di negara lain. "Apakah virus-virus ini berbahaya atau tidak, seperti hasil yang didapat dari penelitian ilmiah di berbagai negara, tentunya virus yang berbahaya di suatu negara juga harus diteliti. Diteliti apakah betul sebuah varian tertentu yang di negara lain berbahaya, itu juga berbahaya di negara lainnya lagi," ujarnya.
Merujuk data Kementerian Kesehatan, hingga 13 Juni 2021 terdapat 107 kasus varian Delta di Indonesia, sedangkan varian Alpha yang pertama kali ditemukan di Inggris dan varian Beta yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan, masing-masing terdeteksi 36 dan 5 kasus.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung di Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengakui bahwa lonjakan kasus yang sedang terjadi di Indonesia disebabkan adanya mobilitas penduduk, kerumunan, dan kendornya protokol kesehatan serta tidak masifnya pengetesan dan pelacakan, yang diperparah dengan adanya varian baru.
Data terbaru situasi Covid-19 di Indonesia, mencatat 12.624 kasus baru pada Kamis 17 Februari 2021, ini merupakan penambahan kasus tertinggi dalam beberapa pekan terakhir. Adapun secara keseluruhan, tercatat lebih dari 1,95 juta kasus Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia.
Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa gejala varian Delta sama dengan virus Covid sebelumnya, tapi dalam waktu singkat bisa menularkan ke banyak orang. Kendati begitu, ia meyakinkan bahwa vaksinasi yang beredar saat ini masih sangat efektif untuk melawan varian tersebut.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio mengungkapkan ketiga varian yang dikategorikan sebagai variant of concern oleh WHO dan beredar di Indonesia, yakni Alpha, Beta dan Delta, memiliki sifat menular lebih cepat sehingga menyebabkan klaster dalam waktu singkat, memungkinkan lolos dari diagnostik, menyebabkan gejala klinis yang lebih berat dan menyebabkan kematian lebih cepat.
Apalagi, publik tak akan bisa membedakan virus yang beredar di lapangan, oleh sebab itu, kata Amin, upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah memperketat protokol kesehatan. "Tetap saja 5M dan 3T harus dilakukan. Jadi tidak ada perlakuan khusus untuk varian-varian itu kalau di lapangan. Kita baru bisa membedakan itu setelah whole genome sequence available," katanya.
Gerakan protokol kesehatan 5M merupakan pelengkap dari aksi 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan membatasi mobilisasi atau interaksi. Sedangkan 3T adalah upaya utama penanganan Covid-19, yakni pengetesan (testing), penelusuran kontak erat (tracing) dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien Covid-19 (treatment).
Namun, Amin Soebandrio menerangkan bahwa varian yang dominan di Indonesia bukanlah varian Alpha, Beta maupun Delta, melainkan varian lokal B.1.466.2 yang telah marak beredar sejak akhir tahun lalu. "Fenomena yang dicermati adalah varian itu memang lebih banyak ditemukan di Indonesia, bukan hanya di Indonesia, tapi lebih banyak di Indonesia, sehingga kemudian orang beranggapan bahwa varian ini berasal dari Indonesia dan berkembang di Indonesia, sehingga disebut local variant of Indonesia," jelas Amin.
Ia mengatakan, selain di Indonesia, varian B.1.466.2 juga terdeteksi di 14 negara lain, yaitu Singapura, Jepang, Malaysia, Australia, Bahrain, India, Denmark, Kamboja, Korea Selatan, Papua Nugini, Jerman, Inggris, Portugal, dan Amerika Serikat. Dikatakan Amin, sejauh ini belum ada data terutama berkaitan dengan virulensi atau kecepatan penularan, peningkatan gejala dan penurunan efikasi antibodi dari varian B.1.466.2. "Sampai sekarang belum ada laporan yang ekstensif tentang keterkaitan mutan-mutan itu dengan gejala klinis dan lain-lain," katanya.
Sebab tak ada laporan ekstensif tentang B.1.466.2, hingga saat ini, varian ini tidak termasuk dalam variant of concern dan variant of interest dalam kategori WHO. "Sebetulnya karena varian-varian itu tidak memiliki - sampai saat ini - memiliki kemaknaan yang besar terhadap penyebaran maupun gambaran klinis, sehingga varian lokal Indonesia tidak begitu mendapat perhatian," ungkap Amin.
"Yang menarik perhatian hanya jumlahnya saja, setelah diamati ternyata varian ini memang lebih banyak ditemukan di Indonesia. Baru sampai situ saja, belum dikaitkan dengan hal-hal lain sehingga sejauh ini tidak ada, atau belum ada perlakuan khusus terhadap varian-varian tadi," kata Amin.
Pakar epidemiologi Pandu Riono menambahkan, riset epidemiologi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah virus varian lokal yang mendominasi di Indonesia tersebut, meningkatkan penularan. "Kalau kita hanya melihat karakteristik virus berdasarkan perubahan materi genetik dan kemudian kita tidak bisa melihat dampaknya pada masyarakat, pada orang yang terinfeksi, ya sama aja kita bingung," tegas Pandu.
"Makanya perlu studi lanjutan, selama tidak ada studi lanjutan, kita nggak akan pernah tahu apakah ini variant of concern, atau apakah variant of interest, Jadi masih belum diketahui, masih blind," ujarnya kemudian.
Ia mengatakan riset epidemiologi akan melengkapi riset molekuler agar memberikan informasi lebih banyak berkaitan mutasi virus dan kecepatan penularan varian tertentu. "Indonesia itu kan ada epidemiology, surveillance epidemiology, surveillance genome, tapi nggak pernah menyatu. Seakan-akan independen satu sama lain sehingga kita tidak bisa tahu banyak tentang masalah dinamika mutasi virus yang bisa dikaitkan dengan dinamika kecepatan penularan," kata dia.
Diakui oleh Amin Soebandrio dari Lembagai Biologi Molekuler Eijkman, bahwa kendati tak ada perlakuan khusus pada varian Covid-19 yang telah menyebar luas, Indonesia tetap memberlakukan apa yang disebutnya "universal precautions".
"Perlakuannya harus sama, mulai dari pakai masker sampai menghindari perjalanan, itu tetap sama. Jadi tidak berarti misalnya kita berada di dekat Kudus kemudian ekstra hati-hati pakai maskernya lima masker, sedangkan di daerah lain boleh kendor, tidak demikian, tetap saja perlakuannya sama, kehati-hatiannya harus sama, protokol kesehatannya juga sama," katanya. (*)
Tags : Varian Delta dan Varian Lokal Mendominasi Penularan, Pemerintah Harus Antisipasi Varian Delta, Kemenkes Siti Nadia Tarmizi Akui Bahaya Varian Delta,