PEKANBARU - Pandemi Covid-19 memporak-porandakan perekonomian global, termasuk Indonesia. Dan yang paling terpukul atas kejadian yang tidak umum ini adalah sektor ekonomi berbasis UMKM, pekerja harian lepas serta sektor riil lainnya.
"Dampak ekonomi Covid-19 telah terlihat jelas di provinsi Riau, khususnya di perkotaan seperti Pekanbaru, Dumai dan kota-kota lainnya. Banyak hotel dan restoran praktis tidak operasional lagi. Tenaga kerjanya dirumahkan. Demikian juga pusat pusat perdagangan besar, seperti mall dan department store," kata DR Viator Butar-butar, Pengamat Ekonomi Riau yang juga Wakil Ketua Umum Bidang Percepatan Pembangunan Daerah dan Kerjasama Ekonomi Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Riau ini dalam bincang-bincangnya ngopi bersama di bilangan jalan Arifin Achmad, Pekanbaru.
Menurutnya, berbagai skenario hingga kemungkinan yang paling buruk harus disiapkan guna mengatasi tantangan ini. Dia juga memberikan gambaran sekaligus masukan kepada Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten/Kota tentang efek Covid-19 terhadap perekonomian Riau. Seperti omset penjualan para pedagang dikeluhkan telah menurun tajam karena kurangnya konsumen, terutamanya disebabkan kekhawatiran tertular droplet virus corona.
Pemberantasan penularan virus corona di provinsi Riau sudah dilakukan pemerintah malah,kini semakin meningkatkan tekanan terhadap perekonomian lokal dan daerah di Riau. Walaupun kita belum memperoleh data resmi tentang jumlah PHK dan penurunan produktivitas perekonomian daerah karena terdampak Covid-19, berbagai informasi yang sangat banyak terekspos di media online memberikan gambaran yang jelas betapa merusaknya pengaruh pandemi ini terhadap kehidupan ekonomi masyarakat.
Menurutnya, angka kemiskinan diperkirakan akan melonjak terutama di perkotaan. Sumber utama pelonjakan adalah kelompok pekerja yang mengalami PHK, pekerja sektor informal dan pekerja transportasi seperti supir angkutan kota dan ojek online. "Hanya daerah yang mengandalkan sektor pertanian dan industri berbasis pertanian/perkebunan yang masih terlihat stabil, setidaknya secara makro, khususnya perkebunan kelapa sawit dan industri CPO serta produksi kehutanan dan industri pulp and paper," sebutnya.
Ini disebabkan relatif stabilnya (ada kecenderungan membaik) harga CPO di pasar dunia dan tentunya mengalir ke harga TBS di tingkat petani. Seperti ekspor Januari-Februari 2020 lalu bisa meningkat dibandingkan Januari-Februari 2019. YoY growth (perbandingan pertumbuhan dari tahun sebelumnya) untuk ekspor lemak dan minyak nabati (utamanya CPO) 2019-2020 mencapai 14,2 persen. Pulp and paper mengalami peningkatan ekspor sekitar 20 persen, sedangkan komoditi lainnya mencapai 28,7 persen.
Nampaknya permintaan pasar dunia masih cukup positif untuk CPO dan pulp and paper. Resesi yang telah mengancam perekonomian global tersebab Coronavirus belum kuat menyentuh industri berbasis CPO dan bubur kertas (pulp). Kontradiktif dengan CPO dan pulp, Covid-19 telah menyebabkan jatuhnya harga minyak mentah dunia (crude oil). Per 30 desember 2019, harga minyak mentah OPEC masih mencapai US $ 68,89/barrel. Pada minggu terakhir januari 2020 melemah menjadi US $ 61.98/barrel dan Februari minggu ke empat turun menjadi US $ 56.11 per barrel. Harga per 30 Maret 2020 telah menukik tajam menjadi hanya US $ 21.66 per barrel. Saat ini di pasar US, harga untuk jenis WTI malah telah mendekati US $ 0 per 20 April 2020, alias tak berharga.
Financial Times melaporkan harga WTI crude oil per 21 april telah negative (produsen membayar) untuk biaya penyimpanan (storage tanker/bunker). Harga minyak mentah Indonesia (ICP) mengikuti tren yang sama, menurun dalam empat bulan terakhir, dari US $ 65.38 per barrel pada bulan Januari 2020 menjadi US $ 56.61 pada Februari dan anjlok ke US $ 34.23 per barrel di bulan Maret 2020. Bulan April ini diperkirakan akan turun mengikuti tren harga minyak US khususnya jenis Brent Crude Oil yaitu sekitar US $ 21 per barrel.
Apa dampak terhadap Provinsi Riau?
Yang sudah pasti adalah penerimaan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH migas) akan menurun tajam. Sebagai daerah penghasil migas, Riau berhak atas DBH yang didistribusikan kepada kabupaten/kota penghasil dan non penghasil serta untuk provinsi sendiri. Dana DBH ini masih menjadi sumber penerimaan utama di APBD Riau dan kabupaten/kota di Riau, khususnya kabupaten penghasil seperti Bengkalis, Rokan Hilir dan Siak. APBD disusun sesuai asumsi harga minyak di APBN yaitu sekitar US $ 63 per barrel. Dengan anjloknya harga minyak realisasi penerimaan DBH juga akan anjlok dan bisa bermuara kepada rasionalisasi anggaran.
Yang kedua, sebagai daerah penghasil, kegiatan perminyakan di Riau sangat mungkin akan menurun. Lebih parahnya lagi , kalau harga minyak ICP hanya dikisaran 20an dollar Amerika per barrel, maka biaya produksi menjadi lebih tinggi dari harga jual. Tidak realistis mengharapkan adanya peningkatan investasi di perminyakan. Malah yang akan terjadi adalah budget cut yang bermuara pada lay off pekerja, terutamanya yang out sourcing.
Kesimpulannya, sangat mungkin terjadi serangan berganda (double impacts) Covid-19 terhadap perekonomian daerah Riau. Karenanya, pemerintah Provinsi Riau haruslah merumuskan langkah langkah jitu secara tepat dan cepat untuk memutus penyebaran pandemi ini sekaligus mengantisipasi dampak ekonomi Covid-19 secara sangat serius bersama dengan Pemerintah kabupaten/kota.
Kota Pekanbaru khususnya yang merupakan epicentrum Covid-19 dan telah menerapkan PSBB haruslah serius se serius seriusnya menggerakkan segenap potensi kota dan berkoordinasi erat dengan kabupaten Siak, Kampar dan Pelalawan, terutama dengan pemerintah provinsi Riau. Dengan komitmen sedemikian besar dari pemerintah pusat dan mengingat kapasitas keuangan daerah yang relatif baik serta masih terkendalinya penyebaran Covid-19 di provinsi Riau, seyogyanya Riau bisa memutus rantai penyebaran virus corona lebih cepat dari daerah lain di Indonesia. Dengan demikian, kita bisa segera menyusun strategi pemulihan ekonomi daerah. (*)
Tags : Covid-19, Perekonomian Riau Menurun, Dampak Covid-19,