KESEHATAN - Di tengah gelombang kasus Covid-19 varian Omicron, Pemerintah Indonesia sedang berupaya mengendalikan infeksi Covid-19 agar bisa bertransisi dari pandemi menjadi endemi meski di lapangan masyarakat juga mulai kendor dalam mematuhi protokol kesehatan.
Salah satu buktinya adalah mobilitas tinggi yang menyebabkan kemacetan parah di Puncak, Jawa Barat, akhir pekan lalu.
"Ada kriteria-kriteria yang saat ini kita sedang susun. Termasuk menjadi indikator-indikator yang harus kita capai bersama, bukan hanya oleh pemerintah pusat, tapi oleh pemerintah daerah," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, dalam konferensi pers Selasa (1/3).
Pada hari yang sama, pemerintah menerapkan perpanjangan status PPKM di Jawa-Bali selama sepekan dan di luar Jawa Bali selama dua pekan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19, meski masyarakat mulai kendor dalam mematuhi protokol kesehatan. Terbukti dari kemacetan parah yang terjadi di Puncak, Jawa Barat pada akhir pekan lalu.
Epidemiolog menilai peraturan di atas kertas itu "seringkali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan", sehingga tingkat kepatuhan masyarakat menurun.
Ditambah lagi masyarakat telanjur menganggap Oicron tidak berbahaya karena memiliki gejala ringan.
Masyarakat mulai kendor
Kota Madiun menjadi satu-satunya kota di Jawa Timur yang berstatus PPKM level 4. Salah seorang warga bernama Ragil mengatakan tidak ada pengurangan mobilitas atau perbedaan situasi di kotanya, bahkan sejak gelombang Omicron dimulai.
"Kayak enggak ada apa-apa, masih berkegiatan kayak biasanya, tapi masih pada prokes kalau di luar. Tapi untuk keramaiannya sendiri masih ramai banget apalagi kemarin pas long weekend kemarin, masih pada liburan, ke luar kota juga. Kayak sudah menganggap enggak pandemi lagi, udah endemi malahan kali ya," kata Ragil kepada BBC News Indonesia.
Sintya, warga Jakarta, juga menyaksikan hal yang sama. Bahkan keluarganya sendiri sudah mulai mengabaikan protokol kesehatan, meski dirinya masih berusaha patuh karena dia memiliki penyakit asma.
Sudah sebelum gelombang Covid-19 varian Omicron dimulai, keluarga Sintya mulai mengabaikan protokol kesehatan.
"Mau Omicron mau enggak kayaknya sudah agak lama kalau dari keluarga cuek sih, terbukti dengan adanya kumpul-kumpul keluarga, pergi-pergi ke mana. Pas lagi kumpul juga jarang banget pakai masker. 'Enggak ada lah itu corona corona di sini', gitu katanya," ujar Sintya.
Ahli epidemiologi UGM Riris Andono Ahmad mengatakan gambaran perilaku masyarakat itu merupakan penyebab dari implementasi PPKM yang berbeda di lapangan.
Menurut dia, ada ketidaksinkronan antara kebijakan di atas kertas yang "tidak ditindaklanjuti dengan penegakan peraturan" dan kebijakan operasional yang koheren.
"Salah satu contoh misalnya di Yogyakarta. Beberapa waktu lalu Gubernur sudah membuat naskah agar PAUD-TK itu sebaiknya diliburkan lagi, tapi dari sisi dinas pendidikannya tidak menindaklanjuti dengan mengatakan bahwa mereka harus libur," kata Riris.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO regional Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga Aditama mengatakan sebab lainnya adalah pernyataan yang telanjur dipercaya masyarakat bahwa Omicron bersifat ringan.
"Sebaiknya memang tidak dikatakan itu ringan, lebih baik dikatakan itu tidak seberat Delta karena kalau dikatakan ringan kemungkinan orang cenderung abai," kata Tjandra.
Padahal, kata dia, Omicron pun bisa memicu gejala sedang, berat, sampai menyebabkan meninggal dunia.
Apa itu pandemi dan endemi?
Pandemi dan endemi merupakan tingkatan yang terjadi dalam penyebaran suatu penyakit.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pandemi adalah kondisi di mana suatu penyakit menyebar ke beberapa negara dan mempengaruhi banyak orang. Sementara endemi mengacu pada kehadiran konstan dan/atau prevalensi penyakit atau agen infeksi dalam suatu populasi di suatu wilayah geografis.
Tjandra Yoga mengatakan status pandemi Covid-19 yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), akan diakhiri pula oleh WHO.
"Karena pan itu artinya banyak atau semua. Jadi pandemi itu artinya keadaan wabah yang terjadi pada banyak negara atau bahkan pada semua negara," kata Tjandra.
Namun, kata dia, setiap negara boleh menyatakan sudah bisa mengendalikan infeksi Covid-19 atau menyatakan bahwa Covid-19 sudah masuk dalam fase endemi, "itu sah-sah saja", tapi bukan berarti status pandemi sudah selesai.
"Kalau ada 2, 3, 10 negara bilang bisa mengatasi, maka masih ada sekian banyak negara lagi yang belum mengatasi, maka belum bisa dinyatakan pandemi selesai," ujar Tjandra.
Dia menambahkan, meski beberapa negara sudah bisa mengatasi penyebaran Covid-19, penularan masih bisa terjadi dari negara-negara yang masih berkutat dengan Covid-19 ketika masih ada mobilitas dari satu negara ke negara lainnya.
Pemimpin Teknis untuk Program Keadaan Darurat Kesehatan WHO Maria van Kerkhove pernah mengatakan pada Desember 2021 lalu bahwa "kita masih berada di tengah pandemi dan kita tidak bisa masuk ke situasi endemi jika masih ada bagian dunia yang berada dalam situasi pandemi.
"Jadi, menurut saya akan ada transisi panjang untuk sampai di akhir pandemi dan melihat SARS-CoV-2 ke depannya," kata Maria.
Pada Oktober tahun lalu, WHO regional Pasifik Barat mengungkap salah satu skenario pandemi Covid-19 di wilayahnya adalah bertransisi dari pandemi menjadi endemi. Hal itu bisa dilakukan jika tingkat penularan rendah dan stabil. Negara-negara pun diizinkan mengembangkan rencana transisi menuju endemi. Itupun jika virus tidak menghasilkan varian baru yang lebih menular dan memiliki tingkat keparahan dan dampak yang lebih besar.
Sementara itu, Riris Andono melihat transisi dari pandemi ke endemi yang dilakukan sebuah negara itu secara berbeda. Kata dia, hal itu bisa diartikan sebagai cara suatu negara merespons kondisi yang ada dan disesuaikan dengan pilihan kebijakan pemerintah.
"Sekarang isunya lebih bagaimana kita merespons pengendalian penyakit tersebut. Apakah kita masih merespons seperti kemarin di situasi pandemi, yang modelnya kayak respons bencana, atau kalau endemi itu responsnya seperti yang sudah ada dalam program-program pengendalian penyakit," kata Riris.
Dia menganalogikan penanganannya seperti respons pengendalian DBD yang sering mewabah di populasi ketika musimnya tiba, ada infeksi yang tidak bergejala sampai yang bergejala dan harus dilarikan ke rumah sakit atau bahkan sampai menyebabkan kematian.
"Pendekatan-pendekatan seperti itu yang saya rasa akan menyebabkan penyakit Vovid-19 ini bsa dikelola seperti kita mengelola pengendalian demam berdarah," ujar Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM itu.
Berapa lama lagi Indonesia mencapai fase endemi?
Saat ini, Indonesia masih berada dalam gelombang ketiga pandemi Covid-19. Dalam sepekan terakhir, terjadi tren penurunan jumlah konfirmasi kasus positif setiap harinya. Per 1 Maret, kasus harian berjumlah 24.728 kasus dengan positivity rate masih berada di angka 13,99% dan 325 kematian.
Siti Nadia menyampaikan terjadi tren penurunan kasus harian dan positivity rate di DKI Jakarta, Bali, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah.
"Meski kita pantau masih ada beberapa provinsi di Jawa maupun di luar Jawa yang meningkat, tetapi secara agregat kita bisa melihat penanganan pandemi secara nasional terus membaik karena provinsi dengan kota-kota besar yang padat penduduknya sudah melewati puncaknya dalam waktu yang cukup konsisten," kata dia.
Tjandra mengatakan untuk bisa bertransisi menuju endemi, situasi Covid-19 harus terkendali . Hal itu ditandai dengan positivity rate di bawah 5%.
"Selain positivity rate juga ada yang namanya angka reproduksi efektif, yang harusnya di bawah satu karena kalau masih lebih dari satu maka artinya satu orang masih menulari lebih dari satu orang. Jadi, penyakit masih akan terus berputar," kata Tjandra.
Dia juga menambahkan jumlah kematian harus "ditekan serendah mungkin dan akses pelayanan kesehatan harus siap kalau-kalau ada peningkatan kasus".
Siti Nadia mengatakan sebenarnya Indonesia pernah mengalami laju penularan atau reproduction rate kurang dari satu, yang artinya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia terkendali.
"Tentunya untuk mencapai di fase endemi, dibutuhkan waktu yang lebih panjang dalam kategori apakah kita sudah menuju ke arah endemi," ujar Nadia.
Dia menjelaskan saat ini pemerintah sedang berupaya mengendalikan pandemi Covid-19 untuk menekan laju penularan sampai kurang dari satu, menurunkan jumlah kasus kematian hingga kurang dari 3%, dan membuat kabupaten/kota serta provinsi berada pada level PPKM 1.
Pada Minggu (27/2) Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan sudah mendapat arahan dari presiden mengenai strategi untuk bertransisi dari pandemi menjadi endemi. Transisi itu harus dilakukan dengan melihat pertimbangan secara saintifik dan kesehatan yang diimbangi dengan sosial dan budaya.
Tags : Virus Corona, Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia,