Headline Seni Budaya   2024/06/30 8:46 WIB

VoB Ukir Sejarah, Band Indonesia yang Pertama Tampil di Festival Glastonbury

VoB Ukir Sejarah, Band Indonesia yang Pertama Tampil di Festival Glastonbury
Voice of Baceprot ketika tampil di Glastonbury, 28 Juni 2024

SENI BUDAYA - Voice of Baceprot (VoB) mengukir sejarah menjadi band pertama Indonesia yang tampil di Glastonbury Festival, festival musik tahunan terbesar di Inggris yang digelar pada 26-30 Juni 2024.

Band metal yang digawangi tiga perempuan muda asal Garut, Jawa Barat, ini tampil pada Jumat (28/06) waktu setempat.

Kala tiga personelnya, Firdda Marsya Kurnia (vokalis), Euis Siti Aisyah (drummer), dan Widi Rahmawati (bassist), mulai bermain musik metal sebagai kegiatan ekstra kurikuler di madrasah tempat mereka bersekolah 10 tahun lalu, mereka tak pernah menyangka bakal membuat sejarah bagi Indonesia di Festival Glastonbury dan berbagi panggung dengan penampil utama seperti Coldplay dan Dua Lipa.

Oleh karena itu, saat mengetahui bahwa mereka diundang untuk tampil dalam perhelatan yang diklaim sebagai festival musik terbesar di Eropa itu, mereka mengaku “bingung”.

“Karena kami tidak tahu betapa serunya [festival ini]… Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan selanjutnya,” tutur Marsya, vokalis band tersebut pada media.

Tekanan baru muncul kemudian, saat ketiganya sadar akan menjadi band Indonesia pertama yang tampil dalam festival tersebut.

Ketiga perempuan muda ini telah menempuh perjalanan panjang dalam dunia musik cadas sejak duduk di bangku sekolah menengah atas di desa mereka.

Dengan cepat mereka mendapat perhatian di kancah musik lokal sebagai band perempuan berhjiab yang memainkan genre metal.

Mereka mendapat sorotan dan menjadi berita utama internasional, termasuk di Eropa dan Amerika – karena dianggap berani menentang norma gender dan agama.

Namun Glastonbury menjadi panggung terbesar mereka, sejauh ini.

Band perempuan ‘pemberontak’

Tumbuh di Singajaya, Garut, Jawa Barat, Marsya dan Sitti – keduanya berusia 24 tahun – berteman sejak bangku sekolah dasar.

Mereka kemudian berjumpa dengan Widi, 23, di bangku sekolah menegah pertama – di kantor guru pembimbing sekolah.

Ketiganya sering dipanggil guru pembimbing lantaran “perilaku memberontak” mereka.

Di tempat yang tak terduga itulah kecintaan mereka terhadap musik keras berakar.

Mereka menjalin persahabatan dengan guru konseling di sekolah tersebut, Ersa Eka Susila Satia – biasa disapa Abah Ersa.

“Awalnya kita dengerin musik metal itu dari laptopnya Abah," tutur Siti.

Siti kemudian menjelaskan bahwa adrenalinnya langsung terpacu saat mendengarkan musik dari laptop guru konselingnya tersebut.

Akhirnya, ketiganya sepakat untuk meng-cover lagu-lagu itu, termasuk lagu-lagu milik band metal System of a Down dan Rage Against The Machine. 

Ersa mengatakan bahwa dirinya menyadari ketiga anak didiknya bukanlah pemberontak seperti remaja lainnya, yang mungkin menggunakan narkoba atau mendapat masalah.

Sebaliknya, menurut Ersa, ketiganya kerap menyuarakan apa yang mereka rasa tak adil di sekolah.

“Mereka menentang sistem dan sering bentrok dengan guru mereka. Pernyataan mereka kemudian dianggap provokatif,” tutur Ersa.

Pada 2014 silam, Ersa mendorong ketiga remaja ini untuk mengekspresikan emosi mereka lewat musik.

Dia kemudian mengajarkan mereka cara bermain musik. Dia memperkenalkan Marsya pada gitar, Widi pada bass, dan membuatkan Siti drum dari peralatan musik yang tak digunakan lagi oleh marching band sekolah.

“Itu awalnya cuma nyalurin emosi aja sih," kata Marsya.

"Karena kami tahu kalau kita marah-marah, kita protes, pasti udah jadi masalah. Dituduh radikal. Kalau di kampung kan perempuan-perempuan yang lantang udah pasti disebut gila," ujarnya kemudian. 

Saat itu, bermain musik juga menjadi motivasi mereka untuk bersekolah, tambah Marsya.

“Kita cuma disuruh dapat nilai bagus, bagaimana pun caranya. Disuruh menghapal, disuruh mencatat, menyalin dari buku paket. Rutinitas itu diulang selama 12 tahun, jadi bosan. Lalu ada musik. Itu jadi sesuatu yang baru."

"Jadi ada motivasi hidup."

Tak sedikit orang gelisah dengan keberadaan band ini.

Beberapa orang di kampung halaman mereka, yang didominasi oleh umat Islam konservatif, tak memberikan respons positif ketika mereka terjun ke blantika musik keras.

Marsya mengaku pernah dilempar batu yang diberi catatan yang isinya menyuruh mereka “berhenti memainkan musik setan”.

Sekitar 87% penduduk Indonesia beragama Islam. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan sebagian besar penduduk menganut Islam yang lebih konservatif. Salah satu wujudnya: melarang musik dan nyanyian.

Beberapa orang menganggap kombinasi perempuan berhijab dan musik heavy metal sangat provokatif.

“Beberapa bahkan mengatakan saya harus melepas jilbab saya [karena musik kami] tidak mencerminkan seorang Muslim sejati.”

“Tapi ini hal yang berbeda. Metal hanyalah sebuah genre musik. Saya berhijab karena itu identitas saya sebagai seorang Muslim… Bukan karena saya ingin tampil sensasional,” kata Marsya kepada BBC Indonesia dalam wawancara sebelumnya pada tahun 2018.

Marsya, Sitti dan Widi telah mendapatkan dukungan keluarga selama bertahun-tahun, meskipun bukan tanpa penolakan – kakak perempuan Widi telah memperingatkannya bahwa bermain musik metal akan “merusak masa depannya”.

Sementara keluarga Siti menggambarkan karier musiknya sebagai profesi yang “tidak serius”.

Bahkan, madrasah tempat mereka bersekolah mengkritik musik mereka. Pada tahun 2021, mereka merilis single "God, Allow Me (Please) to Play Music", untuk membalas kritik tersebut.

Band menggubah lagunya, sedangkan Ersa menulis liriknya. Bagian refrainnya berbunyi, “I'm not the criminal, I'm not the enemy, I just wanna sing a song to show my soul… God, allow me, please, to play music.”

Band ini juga menulis tentang rasa frustrasi mereka terhadap patriarki dan pandangan laki-laki – sebuah tantangan yang masih mereka hadapi sebagai musisi perempuan – ke dalam lagu “(Not) Public Property”.

Lagu tersebut berbunyi, “Our body is not public property, we have no place for the dirty mind. Our body is not public property, we have no place for the sexist mind.”

“Sangat mengecewakan ketika yang diperhatikan orang bukanlah musik kami dan usaha yang kami lakukan untuk itu. Sungguh menjengkelkan,” kata Marsya.

Meski begitu, band ini menyadari bahwa undangan untuk bermain di Glastonbury adalah sebuah pengakuan atas pencapaian mereka.

Namun diakui Marsya, hal ini juga sangat menegangkan.

“Kami pikir kami siap untuk melakukannya sampai semua orang mulai memuji festival ini… Kami bisa lebih menikmati tampil di atas panggung ketika orang-orang tidak mengharapkan apa pun dari kami,” kata Marsya.

Siti melontarkan nada lebih optimistis.

“Saya belum siap, tapi apalah, saya akan berpura-pura menjadi bintang di atas panggung. Anda akan melihat bahwa saya sering menutup mata saat manggung karena saya membayangkan saya hanya nge-jam di studio dengan band saya.”

Siti mengatakan bagian dari persiapan mental grup ini adalah upaya “untuk tidak terlalu memikirkan berapa banyak orang yang akan menonton penampilan kami”.

“Kalau saya tahu jumlah massanya, saya rasa saya tidak akan mampu mengatasinya,” katanya.

“Kami bangga, tapi di sisi lain ini merupakan tanggung jawab besar bagi kami, karena penontonnya bukan hanya melihat VoB saja, tapi Indonesia,” kata Marsya. (*)

Tags : Muslim, Asia, Indonesia, Musik, Seni, Perempuan, Seni budaya,