Pemerintah menyepakati libur sekolah saat Ramadan 2025.
PENDIDIKAN - Pemerintah menyepakati libur sekolah selama Ramadan 2025 atau bulan puasa. Namun, pengumumannya menunggu surat edaran tiga kementerian, serta kepulangan Menteri Agama, Nasaruddin Umar dari "Tanah Suci".
Sejauh ini Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, mengungkap sejumlah skenario libur sekolah puasa 2025.
Salah satunya, libur sekolah berlangsung satu bulan penuh yang memicu pro dan kontra.
Libur sekolah satu bulan penuh pernah diterapkan era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Libur sekolah selama satu bulan penuh Ramadan juga menjadi materi kampanye Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada pemilu presiden 2019.
Dalam informasi yang berkembang, pemerintah menyodorkan tiga skenario libur sekolah selama Ramadan 2025.
Pertama, sekolah libur satu bulan penuh selama bulan puasa. Kegiatan belajar-mengajar nantinya diisi dengan kegiatan keagamaan.
Kedua, sekolah libur beberapa hari selama bulan puasa. Dan ketiga, tidak ada libur sekolah selama Ramadan.
Bagaimanapun, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, mengeklaim pemerintah sudah satu suara soal libur sekolah bulan puasa 2025.
"Tunggu [pengumuman] sampai surat edarannya keluar, mudah-mudahan dalam waktu singkat," kata Mu'ti kepada wartawan, Rabu (15/01).
Ia menambahkan, pengumuman ini menunggu kepulangan Menteri Agama, Nasaruddin Umar "dari Tanah Suci".
Kesepakatan yang dimuat dalam Surat Edaran (SE) ini melibatkan Kementerian Pendidikan dan Menengah, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri.
Agar tidak membingungkan, kata Menteri Mu'ti, keputusan meliburkan sekolah saat bulan puasa akan dibuat seragam pada sekolah umum dan madrasah.
Wacana libur sekolah satu bulan penuh selama Ramadan 2025 beredar di media sosial di penghujung 2024. Wacana ini kemudian direspons Menteri Agama Nasaruddin Umar.
"Ya, sebetulnya sudah warga Kementerian Agama khususnya di Pondok Pesantren itu libur," katanya seperti dikutip Detik, Senin (30/12).
Saat itu, Nasaruddin mengatakan libur sebulan pada Ramadan sedang diwacanakan pada sekolah selain madrasah dan pesantren.
"Tetapi sekolah-sekolah yang lain juga masih sedang kita wacanakan," katanya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nasir mengatakan akan mendukung segala keputusan pemerintah terkait libur sekolah Ramadan 2025.
"Setuju, setuju. Tapi poin penting bagi Muhammadiyah, Ramadan dijadikan arena untuk mendidik akhlak, mendidik budi pekerti, mendidik karakter," ucapnya.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar menolak sekolah libur selama Ramadan.
"Saya kira tidak perlu ya. Karena libur Ramadan itu belum jelas konsepnya. Tidak perlu (libur), tetap saja jalan, puasa tidak menghentikan semua (kegiatan)," katanya seperti dikutip Antara, Sabtu (11/01).
Muhaimin berpendapat agar puasa tidak menjadi halangan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf meminta libur sekolah sebulan penuh selama Ramadan dipertimbangkan matang dengan memperhatikan nasib anak-anak non-muslim.
"Kami setuju saja asal ada konstruksi yang jelas mengenai anak-anak sekolah ini kemudian diarahkan untuk berkegiatan apa?" katanya seperti dikutip Detik.
"Termasuk anak-anak yang non-muslim. Anak sekolah tidak semuanya muslim. Dan non-muslim juga diliburkan. Lalu disuruh apa? Nah itu yang penting dibahas di situnya itu," imbuhnya.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Darwin Darmawan, juga mendorong pemerintah agar lebih matang menggodok regulasi libur sekolah selama Ramadan.
"Karena kalau nanti tanpa ada kejelasan proses, bisa jadi ya orang enggak bisa mengontrol, kan? Sekolah tidak bisa mengontrol, masyarakat tidak bisa mengontrol bagaimana tiap-tiap keluarga mendidik anaknya," katanya.
Dampak terburuk liburan penuh selama bulan puasa adalah saat anak-anak justru menghabiskan waktunya untuk "main game online atau tidur-tiduran". Dampak ini bisa terjadi pada semua siswa, baik yang menjalankan puasa atau tidak.
"Apalagi kalau mempertimbangkan sekolah itu bukan hanya siswa-siswi Muslim, tapi ada yang Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, Konghucu. Bagaimana ini? Mereka berlibur, panduannya seperti apa?" katanya bertanya-tanya.
"Jangan langsung tiba-tiba satu bulan libur misalnya umat non-Muslimnya bagaimana? Yang Muslimnya sendiri juga benar-benar tercapai apa enggak?"
Amelia (31), pemeluk agama Islam, menyatakan tidak setuju dengan wacana libur sekolah satu bulan penuh selama Ramadan. Kata dia, liburan panjang ini mungkin bisa memperburuk mental anaknya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar.
"Ya, takutnya ke depannya nanti dari kecilnya sudah ditangkap untuk libur lebaran dengan istilah lainnya itu, berleyeh-leyeh mungkin dapat libur selama lebaran itu. Ketika anak sudah mulai dewasa itu akan menjadi habit [kebiasaan] yang kurang baik," kata Amelia.
Warga Jakarta ini mengaku bakal kelimpungan menyiapkan kegiatan anak di rumah selama liburan.
"Ibu-ibunya juga pusing, anak-anaknya juga pusing. Satu bulan nggak ada kegiatan apa-apa. Entar malah [anaknya] jadi merengek... mereka malah jadi merasa, 'aduh lama banget sih puasa'," katanya.
Lydia Magdalena, warga Jakarta lainnya berharap pemerintah memberi libur sekolah beberapa hari selama bulan puasa dibandingkan sebulan penuh.
"Kalau bisa tetap berjalan sekolah. Tapi jam sekolahnya saja yang dikurangi. Jadi mereka [siswa Muslim] bisa lebih saving energy [menghemat energi] tanpa harus kehilangan waktu untuk tetap belajar," kata ibu dua anak.
Pada libur sekolah bulan puasa tahun-tahun sebelumnya, Lidya yang non-Muslim mengisi waktu libur anaknya dengan kegiatan yang ditawarkan dari sekolah atau aktivitas luar lainnya.
Ia khawatir wacana libur sebulan penuh nanti bisa menambah pengeluarannya. "Yang dibutuhkan ya, butuh uang banyak lah intinya kita pasti bawa anak-anak pergi [liburan]," katanya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, juga punya kekhawatiran yang sama. Libur sebulan penuh, "pasti merepotkan orang tua. Dan juga secara waktu kita punya satu bulan penuh itu akan sia-sia," tuturnya.
Sebaliknya, masuk sekolah secara penuh selama puasa juga tidak membuat kegiatan belajar-mengajar berjalan efektif.
"Mereka nggak makan dari subuh begitu kan. Sampai jam empat (sore) itu sangat lelah sekali tuh. Belum lagi gurunya yang harus mengandalkan suara, harus ngomong," katanya.
Ia menyarankan kebijakan yang dikeluarkan membuat sekolah mengubah format pembelajaran selama bulan puasa. Misalnya, mengurangi jam pelajaran dan membuat program kerohanian seperti pesantren kilat yang topiknya lebih umum seperti pendidikan karakter.
"Artinya ini bisa diterapkan di mana saja. Di daerah-daerah yang mayoritas non-Muslim misalnya," tambah Ubaid.
Libur sekolah satu bulan penuh selama puasa pernah menjadi materi kampanye pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pemilu Presiden 2019. Bukan hanya di sekolah, tapi libur ini dijanjikan untuk kampus.
Menurut Sandiaga, libur puasa dapat dimanfaatkan siswa untuk kegiatan pesantren kilat. Siswa bisa lebih dekat dengan keluarga untuk mengimbangi pengaruh teknologi informasi.
"Tentunya ini merupakan satu terobosan agar satu bulan ini bisa digunakan para siswa untuk mungkin mengikuti pesantren kilat, menggunakan kesempatan ini juga, menghabiskan waktu bersama keluarga, membangun kedekatan keluarga dalam era informasi teknologi yang begitu intensitasnya tinggi," ujarnya seperti dikutip Detik.
Jauh sebelum itu, pesantren kilat pada Ramadan sudah dikenalkan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid. Pada 1999, pria yang akrab disapa Gus Dur membuat keputusan libur Ramadan selama satu bulan dengan mengimbau sekolah membuat pesantren kilat.
Tujuannya, momentum Ramadan menjadi kesempatan peserta didik belajar agama Islam.
Di era Orde Baru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meniadakan libur puasa bagi anak sekolah.
Menurut Menteri Pendidikan saa itu, Daoed Joesoef, meliburkan siswa selama sebulan penuh seperti pemerintah kolonial hanya merupakan kebijakan pembodohan.
Era Orde Lama, Presiden Soekarno sejumlah kegiatan resmi dan non-resmi dijadwal ulang atau dihentikan sementara guna memberi kesempatan Muslim menjalankan ibadah puasa.
Jauh ke belakang, saat Indonesia masih dijajah Belanda, pemerintah Hindia Belanda meliburkan sekolah binaan mereka dari tingkat dasar sampai menengah ke atas satu bulan penuh selama puasa. (*)
Tags : wacana libur sekolah, pendidikan, anak-anak, libur satu bulan di ramadan 2025, libur ramadhan memicu pro dan kontra,