"Wacana pembentukan Provinsi Sumatera Tengah yang mencaplok sebagian wilayah Provinsi Riau diperdebatkan, sebagiannya mengusulkan lebih baik pemekaran"
acana pemekaran Sumatera Tengah sempat menyita pemikiran Gubernur Riau Syamsuar, bahkan Legislator asal Kuansing juga menolak wacana Provinsi Sumatera Tengah ini.
Begitupun Lembaga Melayu Riau (LMR) juga terang-terangan menolak wacana pembentukan Provinsi Sumatera Tengah ini.
"Orang yang mengusulkan pembentukan Provinsi Sumatera Tengah ini jelas tidak mengetahui sejarah, itu lah sebabnya mengapa masyarakat umumnya menolak pembentukan provinsi baru itu," kata Ketua Umum (Ketum) Lembaga Melayu Riau (LMR) Pusat Jakarta, H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris.
Awalnya dengan adanya lembaran surat usulan pembentukan Provinsi Sumatera Tengah yang beredar media sosial yang membuat heboh.
"Kalau namanya pemekaran ini kan mesti satu daerah provinsi. Nggak mungkin kita dicaplok daerah lain, tidak mungkin," ucap Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar menyikapi hal itu yang mengaku telah mendengar kabar itu dan tegas menolak usulan tersebut pada media, Jumat 16 Februari 2022.
Jagad media sosial diramaikan dengan beredarnya foto lembaran surat usulan pembentukan Provinsi Sumatera Tengah, dimana dalam surat itu tertulis gabungan dari Provinsi Sumbar, Riau dan Jambi.
Dalam surat yang beredar itu, tercatat ada tujuh kabupaten dari Riau, Sumbar dan Jambi yang akan bergabung. Jumlah penduduk dari tujuh daerah itu sekitar 1.847.000 dan luasnya 23.170 Km persegi.
Ketujuh kabupaten yang disebut yakni Kabupaten Kuansing di Riau, Kabupaten Dhamasraya, Sijunjung dan Solok Selatan di Sumbar serta Kabupaten Kerinci, Sungai Penuh dan Bungo di Jambi.
Untuk ibukota Provinsi Sumatera Tengah ini rencananya berada di Sungai Rumbai, Dhamasraya, tak jauh dari Kecamatan Taluk Kuantan, Kabupaten Kuansing, Riau.
Surat itu disebut telah dikirimkan oleh para inisiator ke Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2022 lalu.
Syamsuar menyebut, pemekaran seperti dalam dokumen yang beredar itu tidak dapat dilakukan karena bukan dalam satu provinsi.
Gubri memastikan, inisiator tak bisa mencaplok Kabupaten Kuansing agar masuk Sumatera Tengah. Sebab sampai hari ini belum ada pembicaraan dari para pihak terkait.
"Ya jelaslah kita tidak mendukung. Kita bicarakan sama-sama dulu, mana bisa begitu. Kita aja mana bisa masuk daerah lain. Marahlah daerah lain, tak boleh lah," pungkasnya.
Dikahabrkan wacana pembentukan provinsi baru yang ada tujuh kabupaten yang bergabung yakni Kabupaten Kuansing di Riau, Kabupaten Dhamasraya, Sijunjung dan Solok Selatan di Sumbar serta Kabupaten Kerinci, Sungai Penuh dan Bungo di Jambi.
Provinsi baru ditolak karena mengabaikan sejarah
Tetapi Lembaga Melayu Riau (LMR) Pusat Jakarta, H. Darmawi Wardhana Zalik Aris dengan terang-terangan menolak wacana pembentukan Provinsi Sumatera Tengah karena telah mengabaikan sejarah.
"Orang yang mengusulkan pembentukan Provinsi Sumatera Tengah ini jelas tidak mengetahui sejarah, itu lah sebabnya mengapa masyarakat umumnya menolak pembentukan provinsi baru itu," kata Darmawi menanggapi menyebarnya informasi wacana provinsi baru ini, Selasa (20/12).
Riau merupakan salah satu provinsi terbesar di pulau Sumatera dengan beragam kultur budaya khas melayu yang sangat kuat. Kekuatan sejarah dan akulturasi budaya menjadi ciri khas pembeda dengan provinsi lain.
Provinsi Riau yang lokasinya di tengah pulau Sumatera, kini menjadi salah satu kawasan paling strategis dengan percepatan pembangunan yang sangat baik.
"Awalnya, Riau merupakan kawasan yang berada di Provinsi Sumatera Tengah bersama Sumatera Barat dan Jambi. Sayangnya, pemekaran kawasan tersebut tidak berdampak signifikan bagi pembangunan Riau di berbagai sektor," cerita Darmawi.
"Hingga pada masa itu akhirnya masyarakat Riau berinisiatif mendirikan provinsi baru, dan melepaskan diri dari provinsi Sumatera Barat dan Jambi," sambung Darmawi.
Melalui gerakan Kongres Pemuda Riau (KPR) I pada tanggal 17 Oktober 1954 di Kota Pekanbaru dimana Kongres pertama menjadi momen awal terbentuknya Badan Kongres Pemuda Riau (BKPR) pada tanggal 27 Desember 1954.
Selanjutnya, perwakilan BKPR berinisiatif menemui Menteri Dalam Negeri untuk mewujudkan otonomi daerah sebagai provinsi mandiri. Langkah besar ini pun sangat didukung oleh segenap masyarakat Riau.
Pada tanggal 25 Februari 1955, sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Bengkalis merumuskan bahan-bahan konferensi Desentralisasi /DPRDS/ DPDS se-Indonesia yang diadakan di Bandung tanggal 10 hingga 14 Maret 1955.
Keputusan konferensi tersebut menyatakan bahwa Riau sah menjadi provinsi mandiri terhitung sejak 7 Agustus 1957.
Perkembangan Provinsi Riau selanjutnya diputuskan pada Kongres Rakyat Riau (KRR) yang diadakan pada tanggal 31 Januari hingga 2 Februari 1956. KKR menjadi wadah bagi Provinsi Riau untuk menyatakan: Keinginan agar Kabupaten Kampar, Bengkalis, Indragiri, dan Kepulauan Riau dijadikan daerah otonomi tingkat satu.
Niat supaya Bangsa Indonesia bersedia tinggal dan mencari nafkah di Riau tanpa memandang perbedaan suku. Implementasi berbagai usaha untuk mewujudkan tujuan Provinsi Riau.
Tuntutan agar pembentukan Provinsi Riau disamakan dengan pembentukan berbagai provinsi di Aceh, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kini jumlah Kota dan Kabupaten di Riau memiliki 12 kota dan kabupaten, yaitu:
Adapun terbentuknya Kota Pekanbaru sebagai Ibu Kota Provinsi Riau, awalnya dilihat dari nama Senapelan yang kemudian populer dengan sebutan Pekanbaru resmi didirikan tanggal 23 Juni 1784 oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah di bawah pemerintahan Sultan Yahya dari Kerajaan Siak Sri Indra Pura.
Hingga saat ini, tanggal tersebut masih diperingati sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Pada tahun 1958, pemerintah pusat menetapkan Kota Pekanbaru sebagai ibu kota Provinsi Riau secara permanen.
Sebelum tahun 1960, luas Pekanbaru hanya seukuran 16 kilometer persegi. Namun, ukuran tersebut terus berkembang hingga pada tahun 1965 mencapai 446,5 kilometer persegi.
Menurut Darmawi lagi, jika masyarakat yang mengetahui sejarah tentu mengecam rencana pembentukan provinsi baru tersebut.
"Mereka menilai pemekaran bukan merupakan solusi mendasar bagi persoalan-persoalan yang ada."
"Ada banyak hal yang membuat masyarakat khawatir dan menentang rencana pembentukkan provinsi baru ini. Bila pemerintah tidak mendengarkan aspirasi mereka, malah masalah yang ada akan terus berlarut-larut," sebutnya.
Mengapa orang Riau mengkritisi atau menolak?
"Pembentukan provinsi baru, kalau saya mencermati terus akan menjadi perdebatan publik, baik perdebatan sejak rencananya maupun perdebatan lama terkait ini," kata Darmawi.
"Saya melihat ada beberapa hal yang dikhawatirkan oleh orang Riau dari agenda provinsi baru jika Pemerintah Pusat mengabulkannya," sebutnya.
Pertama, dominasi penduduk dari luar dan marginalisasi orang asli Riau. Sama seperti program transmigrasi pada masa lalu, pemekaran menjadi kendaraan bagi masuknya pendatang dan memperkuat dominasi masyarakat non-Riau (Melayu) yang sudah ada.
Kajian demografi menunjukkan bahwa setidaknya 12 kabupaten/kota, jumlah penduduk non-Melayu jauh lebih banyak dari penduduk asli dan hal yang sama sedang terjadi di 12 kabupaten ini.
Selain aparat sipil negara dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kepolisian beserta kerabat mereka, provinsi baru akan mendatangkan penjaja barang dan jasa yang kemudian akan mengembangkan jaringan bisnis mereka dan menetap.
Selain itu, ibu kota daerah otonom biasanya dibangun di wilayah yang mayoritas penduduknya non-Riau seperti terjadi di Kabupaten Inhu. Dengan demikian, pembangunan di wilayah pemekaran memperparah marginalisasi orang Riau (Melayu).
Marginalisasi itu juga terjadi dalam ranah politik dan pemerintahan. Kendati otonomi khusus sudah berjalan hampir dua dekade, hanya sedikit orang asli Melayu Riau yang mendapat kesempatan menduduki posisi di birokrasi dan parlemen.
Persentase orang asli Riau di dalam keseluruhan birokrasi hanya 20%, sisanya adalah warga non-Riau dari berbagai suku nusantara.
Selain itu beban birokrasi biaya tinggi dan korupsi. Sama seperti di daerah lain di Indonesia, beban terbesar pemerintah daerah di Riau adalah operasional.
Jika pembentukan provinsi baru tentunya, pengeluaran terbesar adalah pembangunan kantor, pengadaan fasilitas, biaya gaji dan operasional birokrasi.
Padahal, kebutuhan prioritas saat ini adalah perbaikan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, tentunya infrastruktur.
Ekspansi korporasi dan perampasan tanah adat, hutan dan sumber daya lainnya juga akan terjadi.
"Pembentukan provinsi baru dikhawatirkan akan mempercepat laju ekspansi bisnis di pedalaman, yang berakibat pada penguasaan sumber daya oleh korporasi tanpa jaminan keadilan bagi orang asli Riau," ungkapnya.
"Jadi izin Hak Pengusahaan Hutan, izin perkebunan sawit di seluruh Riau juga mengakibatkan, masyarakat adat harus berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah daerah demi mempertahankan tanah dan sumber daya mereka," sambungnya.
Hal lain militerisme dan represi negara. Kehadiran militer di Riau sangat tinggi. Pembentukan daerah baru memfasilitasi pendirian pusat-pusat militer dan kepolisian baru, baik komando teritorial maupun pos-pos operasi khusus. Di banyak tempat di pedalaman, jumlah personel militer dan polisi jauh melampaui jumlah guru dan dokter.
Menurutnya, pembentukan provinsi baru tentu akan semakin tajam perpecahan dan konflik antar kelompok di Riau. Pemekaran menciptakan konflik horizontal di antara sesama masyarakat Riau.
"Pemekaran dinilai sebagai ambisi elite politik saja; bukan kepentingan rakyat. Selain itu, terjadi ketegangan antara organisasi pejuang kemerdekaan dengan para bupati dan elite politik pendukung pemekaran," katanya.
"Orang Riau melihat pemekaran sebagai strategi penaklukan dan penguasaan."
Justru Darmawi juga mempertanyakan mengapa pemekaran (pembentukan provinsi baru) dipaksakan yang penduduknya hanya 4,3 juta jiwa, sementara Jawa Barat atau Jawa Timur yang jumlah penduduknya 46,4 juta dan 38,8 juta jiwa tidak dimekarkan.
Tetapi tidak tepat kalau disebutkan bahwa masyarakat Riau yang mengkritisi rencana pemekaran versi pembentukan provinsi baru itu menolak perbaikan dan peningkatan pelayanan publik. Sebaliknya, mereka justru mengingatkan pemerintah untuk fokus kepada agenda-agenda mendesak.
"Jadi intinya lebih kepada Pemerintah yang juga belum melaksanakan amanat-amanat kunci dari Undang-Undang Otonomi Khusus, seperti pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta kebijakan afirmatif (pemihakan) penghormatan, perlindungan, serta pemberdayaan penduduk asli. Bahkan kualitas pembangunan di kabupaten-kabupaten baru pun belum mengalami perbaikan," ujarnya.
Respons Bupati soal Kuansing dicaplok masuk provinsi Sumatera Tengah
Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau diusulkan masuk dalam provinsi baru, Sumatera Tengah. Suhardiman Amby mengaku pemekaran tujuh kabupaten di Sumatera Barat, Riau dan Jambi jadi Provinsi Sumatera Tengah hanyalah gagasan. Sehingga ia tak dapat memutuskan sendiri.
"Kalau soal itu saya tak bisa memutuskan secara personal. Suara rakyat Kuansing harus didengar melalui musyawarah besar rakyat Kuansing, baru bisa disuarakan," kata Suhadriman Amby pada media, Sabtu (17/12/2022).
Politisi Partai Gerindra itu mengaku belum ada diskusi dengan para inisiator. Namun jika benar, ia akan berdiskusi lebih dahulu dengan masyarakat Kota Jalur.
"Belum ada (diskusi), itu kan baru gagasan. Semacam gagasan baru itu kan. Jadi kalau memang ada musyawarah besar baru nanti bisa kita apakan (sampaikan sikap)," imbuh mantan anggota DPRD Riau tersebut.
Sebelumnya foto lembaran surat usulan pembentukan Provinsi Sumatera Tengah yang beredar di media sosial ramai dan jadi perbincangan. Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar menolak jika wilayahnya dicaplok.
Dalam surat yang beredar itu, tercatat ada tujuh kabupaten dari Riau, Sumatera Barat, dan Jambi yang akan bergabung. Jumlah penduduk dari tujuh daerah itu sekitar 1.847.000 dan luasnya 23.170 km persegi.
Ketujuh kabupaten yang disebut yakni Kabupaten Kuantan Singingi di Riau, Kabupaten Dhamasraya, Sijunjung, dan Solok Selatan di Sumatera Barat serta Kabupaten Kerinci, Sungai Penuh, dan Bungo di Jambi.
Gubernur Riau Syamsuar mengaku telah mendengar kabar tersebut. Dia menolak usulan tersebut. Syamsuar mengatakan pemekaran seperti dalam dokumen yang beredar itu tidak dapat dilakukan karena bukan dalam satu provinsi.
"Kalau namanya pemekaran ini kan mesti satu daerah provinsi. Nggak mungkin kita dicaplok daerah lain, tidak mungkin," kata Syamsuar di Gedung Daerah Balai Serindit kemarin.
Dewan juga menolak tapi beri solusi pemekaran
Sementara Anggota DPRD Riau asal Kabupaten Kuansing, Mardianto Manan juga menanggapi isu pembentukan Provinsi Sumatera Tengah yang ramai belakangan ini menunjukkan ketidaksetujuannya.
Wacana Provinsi Sumatera Tengah yang disebut menjadi provinsi ke-38 mencakup tujuh kabupaten dari tiga provinsi, yakni Sumatera Barat (Sumbar), Riau dan Jambi.
Mardianto menegaskan, dirinya menolak wacana pembentukan provinsi yang wilayahnya disebut bakal mencaplok Kabupaten Kuansing di Riau tersebut.
"Saya kurang setuju lah. Kita sebagai warga asli. Kita dimasukkan orang lain yang bukan dari jati diri kampung kita sendiri," kata anggota DPRD Riau Dapil Inhu-Kuansing ini.
Dia juga mengungkapkan, secara historis Kuansing tak memiliki ikatan sejarah bersama dengan daerah-daerah di dua provinsi tetangga tersebut. Apalagi, usulan tersebut dibuat tanpa musyawarah dengan pihak masyarakat Kuansing.
"Kesatuan sosiologis pun tidak, kok tiba-tiba dibawa-bawa tanpa konvensi lokal secara bersama. Misalnya ada mubes dan bersepakat untuk bersama-sama. Ini tak pernah ada," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, dalam surat yang beredar itu, tercatat ada tujuh kabupaten dari Riau, Sumbar dan Jambi yang akan bergabung. Jumlah penduduk dari tujuh daerah itu sekitar 1.847.000 dan luasnya 23.170 Km persegi.
Mardianto Manan menyatakan tidak sepakat dengan isu pemekaran Provinsi Sumatera Tengah yang mencakup tiga wilayah provinsi.
"Kabupaten kuantan terdiri dari tujuh kecamatan, yakni cerenti, inuman, kuantan hilir, kuantan hilir seberang, pangean dan logas tanah darat," bebernya.
Salah satunya Kabupaten Kuansing, Provinsi Riau yang dicaplok menjadi salah satu bagian wilayah Provinsi Sumatera Tengah yang disebut ibukotanya di Dharmasraya, Sumbar.
"Daripada dibentuk provinsi baru dengan wilayah provinsi lain, lebih baik pemekaran Provinsi Riau yang mencakup kawasan Indragiri lama," kata Mardianto Manan berpendapat.
Menurutnya, Kuansing bisa dimekarkan jadi dua kabupaten. Wacana ini sudah pernah mencuat dalam musyawarah besar 7 tahun lalu di Baserah, Kuansing.
Selanjutnya Inhil bisa dimekarkan jadi tiga kabupaten serta Inhu.
"Buat provinsi indragiri terdiri dari kabupaten, Inhil, Inhil selatan, Inhu, Kuansing dan kuantan," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, dalam surat yang beredar itu, tercatat ada tujuh kabupaten dari Riau, Sumbar dan Jambi yang akan bergabung. Jumlah penduduk dari tujuh daerah itu sekitar 1.847.000 dan luasnya 23.170 Km persegi.
Ketujuh kabupaten yang disebut yakni Kabupaten Kuansing di Riau, Kabupaten Dhamasraya, Sijunjung dan Solok Selatan di Sumbar serta Kabupaten Kerinci, Sungai Penuh dan Bungo di Jambi.
Untuk ibukota Provinsi Sumatera Tengah ini rencananya berada di Sungai Rumbai, Dhamasraya, tak jauh dari Kecamatan Teluk Kuantan, Kabupaten Kuansing, Riau. Surat itu disebut telah dikirimkan para inisiator ke Presiden Jokowi pada 27 Oktober 2022 lalu. (*)
Tags : sumatera tengah, provinsi baru, Wacana Pembentukan Provinsi Sumatera Tengah, Pembentukan Provinsi Diperdebatkan,