"Wacana perdagangan bursa karbon dinilai akan menjadi angin segar dalam ekosistem green economy Indonesia, tetapi bagi daerah penghasil masih terjadi perdebatan"
adirnya bursa karbon di Indonesia tentunya akan menjadi angin segar dalam ekosistem green economy di Indonesia.
"Indonesia memiliki hutan tropis yang luas, dan tentunya ini akan menjadi keuntungan dibandingkan negara-negara lain," kata Dr Yoyok Prasetyo, Pengamat Ekonomi dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Nusantara Bandung menanggapi rencana pemerintah tersebut.
"Dengan dilakukannya perdagangan karbon melalui bursa, perdagangan akan transparan karena prinsip dasar perdagangan di bursa karbon adalah penemuan harga dari penjual dan pembeli,” sebutnya didepan media, Kamis (8/6/2023).
Tetapi wacana pemerIntah untuk melakukan perdagangan bursa karbon bagi daerah penghasil seperti Riau masih terjadi perdebatan.
Seperti disebutkan Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar, bahwa Riau bukan daerah deforestasi yang terkait dengan pembangunan ekonomi hijau.
"Saat ini Riau termasuk yang terbaik dalam rangka pembangunan ekonomi hijau dan sekaligus juga rendah karbon. Jadi Riau ini bukan daerah yang deforestasi," kata Gubri (5/6/2023).
Gubri menyebutkan, Riau termasuk yang terbaik dalam rangka pembangunan ekonomi hijau dan sekaligus rendah karbon.
Jadi Gubri klaim bahwa Provinsi Riau bukan daerah deforestasi, tetapi Riau juga (penghasil karbon, emitor), dan karbon (dalam senyawa CO2) dari luasan hutan 28.781 hektare pada tahun 2020-2022.
Menurutnya, deforestasi adalah kegiatan mengubah area hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen, untuk mendukung aktivitas manusia. Sederhananya, deforestasi adalah penggundulan atau penebangan hutan.
Syamsuar mengatakan bahwa upaya sebagai upaya menangkal perubahan iklim serta bagian dari kecintaan terhadap lingkungan dan masyarakat Riau.
Hutan Riau makin tertekan
"Sejak awal masa jabatannya ia telah menyiapkan program Riau Hijau."
"Karena saya cinta kepada rakyat Riau ini, maka Program Riau Hijau kita terapkan di daerah ini. Sebagian besar pendapatan rakyat Riau ini dari sawit, sehingga jika harga sawit hancur, maka perekonomian Riau juga hancur," ujarnya.
Syamsuar mengatakan itu pasca Pemprov Riau berhasil meraih penghargaan khusus bidang Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon.
Penghargaan tersebut diberikan saat acara Musyawarah Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 beberapa waktu lalu.
Pemprov Riau berhasil meraih penghargaan tersebut setelah membuat regulasi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 56 Tahun 2022.
Peraturan ini tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon sebagai bentuk komitmen implementasi ekonomi hijau untuk pembangunan berkelanjutan.
Terkait pemerintah telah menunjukkan keseriusannya dalam mempersiapkan penyelenggaraan perdagangan bursa karbon ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tengah mempersiapkan peraturan dengan target Indonesia bisa memulai perdagangan karbon melalui bursa pada September 2023.
Hingga saat ini pihak OJK juga belum menentukan siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa karbon tersebut.
Aktivis mengkritik soal deforetasi di riau
Klaim Gubri Syamsuar bahwa Pemprov Riau berhasil meraih penghargaan khusus bidang Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon itu bertolak belakang dengan data yang disampaikan banyak organisasi lingkungan hidup salah satunya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau.
"Di Riau deforestasi seluas 28.781 hektare terjadi pada tahun 2020-2022 membuktikan buruknya pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri), dominasi perusahaan di Riau besar, sehingga menyebabkan persoalan lingkungan hidup," kata Manajer Akselerasi Perluasan WKR Walhi Riau, Fandi Rahman pada media, Rabu (7/6/2023).
Fandi mengingatkan tentang kebakaran hutan dan lahan yang terjadi berulang kali dan diperparah oleh hadirnya perusahaan HTI.
"Selain itu, perusahaan HTI merebut ruang hidup masyarakat adat. Salah satunya kasus Bongku yang terjadi pada tahun 2020," ujarnya.
Jika Syamsuar mengatakan bahwa bentuk cintanya pada masyarakat Riau adalah dengan program Riau Hijau dan menjaga lingkungan, Walhi Riau berpendapat lain.
"Kecintaan gubernur terhadap masyarakat Riau belum terlihat. Menurut Walhi Riau ini belum sesuai dengan capaian target (Riau Hijau). Pencapaian pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih minim," paparnya.
Fandi melanjutkan bahwa hal ini seharusnya tidak terjadi karena paling tidak terdapat dua Perda yang dapat digunakan untuk mengakselerasi komitmen Syamsuar tersebut.
Kedua Perda tersebut yaitu Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Kemudian komitmen Riau Hijau masih nir-implementasi untuk melindungi masyarakat adat karena (1) amanat pembentukan Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) tidak dilaksanakan, (2) aturan turunan dan kelembagaan perintah Perda 10/2015 dan Perda 14/2018 belum tersedia, dan (3) akselerasi dan pendampingan Pemprov kepada Pemkab/Pemko untuk pengakuan masyarakat adat tidak terdengar," tegas Fandi.
Apa itu yang sebenarnya perdagangan karbon?
Dalam konteks perdagangan tentu ada penjual, pembeli dan barang dagangan itu sendiri, yang diperankan secara berturut turut adalah negara-negara pemilik hutan (penyerap karbon, carbon sink), negara-negara industri (penghasil karbon, emitor), dan karbon (dalam senyawa CO2).
"Jual-beli karbon ini akan dilakukan melalui suatu bentuk skim yang disepakati bersama secara standar internasional dan sebagai konsekwensinya negara penjual wajib mempertahankan dan menjaga kondisi hutannya," kata Ir. Ganda Mora M.Si, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba (Salamba) saat ditanya, Jumat (9/6).
Menurutnya, perdagangan ini akan sangat menguntungkan negara-negara yang masih memiliki hutan terutama hutan tropis seperti Indonesia.
"Perdagangan karbon setidaknya secara finansial akan menguntungkan kita. Ada tidaknya perdagangan karbon toh kita wajib menjaga dan melestarikan hutan yang ada," sebutnya.
Ganda justru balik mempertanyakan seberapa besar emisi yang dihasilkan saat ini yang berasal dari industri, transportasi, kebakaran hutan dan lahan, degradasi lahan gambut, dll, "saya justru mengamatinya ini hanya sekedar wacana," imbuhnya.
Tetapi Ia kembali menjelaskan, di skim perdagangan ini masih terus menimbulkan silang pendapat dan perdebatan.
Secara ekologis dapat dijabarkan dengan gamblang bahwa melalui skim perdagangan ini setidaknya memang relatif mampu menahan laju deforestasi hutan dan degradasi lingkungan, kata dia.
Tetapi seperti kembali disebutkan Pengamat Ekonomi Dr Yoyok Prasetyo, dalam kaitan wacana perdagangan bursa karbon yang akan menggairah perekonomian Indonesia itu, perlu mendapat perhatian adalah siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa karbon ini.
"Karakteristik objek yang akan diperdagangkan di bursa tersebut seperti diketahui, Indonesia saat ini ada 2 jenis bursa, yaitu bursa efek dan bursa komoditas yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda."
“Terkait bursa karbon, bursa ini akan memiliki kemiripan karakteristik dengan bursa komoditas. Ini tentunya menjadi kesempatan bagi bursa komoditas untuk menjadi penyelenggara bursa karbon ini," ungkap Yoyok Prasetyo.
"Intinya adalah adanya kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha untuk menjadi penyelenggara bursa karbon," sambung Yoyok.
Memang secara aturan UU PPSK disebutkan bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang mendapat ijin usaha OJK. Namun tidak dijelaskan siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa tersebut.
Hadirnya Bursa Karbon di Indonesia sendiri, menurutnya, bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui jual beli karbon.
Pembentukan bursa karbon ini selaras dengan target pemerintah Indonesia yang telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri, atau hingga 41% dengan dukungan eksternal di tahun 2030.
Satu juta hektare hutan Riau sudah disulap jadi kebun sawit
Apa itu perdagangan karbon?
Dalam konteks perdagangan tentu ada penjual, pembeli dan barang dagangan itu sendiri, yang diperankan secara berturut turut adalah negara-negara pemilik hutan (penyerap karbon, carbon sink), negara-negara industri (penghasil karbon, emitor), dan karbon (dalam senyawa CO2).
Menurut Ganda Mora, jual-beli karbon akan dilakukan melalui suatu bentuk skim yang disepakati bersama secara standar internasional dan sebagai konsekwensinya negara penjual wajib mempertahankan dan menjaga kondisi hutannya.
Mengapa karbon diperdagangkan?
Pada awalnya timbul rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan oleh negara-negara yang masih memiliki hutan dan umumnya miskin dan berkembang yang merasa selalu ditekan untuk tetap menjaga hutannya demi kepentingan internasional tanpa memperoleh kompensasi apapun.
Di satu sisi negara-negara ini dipaksa untuk mempertahankan kondisi hutannya agar tetap berfungsi menyerap karbon di udara sekaligus menjaga karbon yang ada di dalam tanah agar tidak lepas ke udara, tapi di sisi lain negara-negara industri kaya terus saja melepas CO2 melalui kegiatan industri mereka.
"Konon sekitar 85% emisi karbon yang ada di atmosfir berasal dari negara-negara ini. Sudah sepantasnya mereka inilah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan pemanasan global," kata Ganda.
"Nah, agar kita tidak hanya bertugas menjaga hutan saja maka disusunlah mekanisme perdagangan karbon yang dimaksudkan sebagai kompensasi tugas jaga," sambungnya.
Menurutnya, dana kompensasi yang diberikan (sangat menggiurkan) tentunya menuntut konsekwensi-konsekwensi yang harus dicermati baik-baik.
Tetapi pihak-pihak yang berkepentingan dapat memaknainya secara lain sehingga timbul pro kontra dalam memandang mekanisme bentuk perdagangan baru ini.
Perdagangan ini akan sangat menguntungkan negara-negara yang masih memiliki hutan terutama hutan tropis seperti Indonesia. Hutan yang memenuhi syarat akan diberi kompensasi.
Namun terlepas dari nilai nominal yang ditawarkan, masih ada pihak-pihak yang curiga dan tidak setuju terhadap mekanisme ini. Mekanisme perdagangan karbon dinilai hanya melanggengkan jalan bagi kecurangan negara-negara industri maju.
Ada yang menuduh bahwa negara-negara industri maju rela mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon ini di negara berkembang dengan imbalan mereka akan mendapatkan semacam surat ijin untuk tetap mencemari udara tanpa harus menurunkan emisi karbonnya.
Jadi terlepas dari silang pendapat ini, perdagangan karbon setidaknya secara finansial akan menguntungkan.
"Ada tidaknya perdagangan karbon toh kita wajib menjaga dan melestarikan hutan yang ada," sebut Ganda.
Tetapi fakta menunjukkan bahwa hanya dalam jangka waktu 50 tahun lalu Indonesia memang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa karena kekayaan alamnya harus rela melepas gelar tersebut dicopot akibat laju deforestasi dan degradasi yang sangat cepat. (*)
Tags : bursa karbon, wacana perdagangan bursa karbon, hutan riau, perdagangan bursa karbon bangkitkan ekonomi, bursa karbon dalam ekosistem green economy, sorotan,