"Ratusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hilang di Arab Saudi setelah dihentikan 11 tahun silam"
udah ratusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hilang kembali akan kirim tenaga kerja ke Arab Saudi tanpa terlebih dahulu membenahi alur perekrutan dan pelatihan. Pemerintah Indonesia berencana membuka kembali keran pengiriman TKI informal ke Arab Saudi, setelah dihentikan 11 tahun silam, dengan sistem baru berupa badan hukum atau syarikah yang diklaim bakal melindungi hak-hak pekerja migran.
Ratusan TKI dilaporkan hilang di Arab Saudi, diduga disekap atau kabur di bawah sistem 'perbudakan' kafala. Setidaknya puluhan keluarga di Indonesia melaporkan kehilangan anggota keluarganya yang bekerja menjadi TKI di Arab Saudi. Laporan ini mencuat dari sejumlah grup di Facebook.
Salah satu yang dilaporkan hilang, Sopiah. Sebelas tahun 'hilang', akhirnya ia dipulangkan majikan pada Oktober 2020 karena 'gerakan' di media sosial itu.
Hari itu, dengan suara berapi-api, Sopiah mencetuskan kekesalannya akan eks majikannya di Arab Saudi, "Nggak ada keluarga saya itu, sudah mati semuanya."
Begitu menurut Sopiah, majikannya berusaha menahan perempuan yang sudah satu dekade bekerja di Riyadh itu. Sopiah termasuk beruntung ketika ratusan orang TKI lainnya disebut catatan Kedutaan Besar Indonesia di Riyadh telah habis kontrak tapi tak dipulangkan.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menguatkan fakta itu, dengan menyebut TKI yang hilang kontak dengan keluarga ini karena disekap atau kabur dari majikan di tengah pemberlakuan sistem kafala.
Sistem yang kerap disebut sebagai perbudakan modern, yang membuat TKI terikat dengan majikan, tak bisa pindah kerja atau meninggalkan negara dengan alasan apa pun tanpa izin tertulis dari majikan.
Mulai Maret 2021, pemerintah Arab Saudi mencabut kebijakan sistem kafala, tapi untuk pekerja profesional- tidak termasuk pekerja rumah tangga.
SBMI berkecil hati, kebijakan itu bisa berdampak pada nasib TKI.
Namun lembaga ad hoc bentukan pemerintah untuk perlindungan TKI mengklaim berusaha memulangkan TKI yang hilang kontak dengan ajakan 'persuasif' kepada majikan.
Laporan TKI hilang di Arab Saudi dari sejumlah grup TKI Arab Saudi di Facebook mencuat.
Dalam satu tahun terakhir terdapat unggahan 37 laporan TKI yang hilang di Arab Saudi. Sebagian keluarga dari yang melaporkan itu, dan sejauh ini baru tiga keluarga yang mengatakan sudah mendapat kabar dari anggota keluarganya yang hilang kontak, termasuk Sopiah.
Wajah Sopiah muncul di salah satu grup Facebook kumpulan WNI Indonesia di Arab Saudi, Oktober 2020 lalu. Ia dilaporkan hilang kontak dengan keluarga sejak pergi mengadu nasib ke Riyadh sebelas tahun lalu.
Dua bulan setelah fotonya diunggah di media sosial, ia bisa kembali lagi bersama keluarganya di Sukabumi, Jawa Barat.
Sopiah mengatakan, "Majikanku itu, bikin aku nggak bisa pegang hp," kata Sopiahseperti dirilis BBC News Indonesia, Senin (8/3/2022).
Sopiah selama ini bekerja sebagai pekerja rumah tangga di kota Riyadh. Sopiah bercerita, selama bekerja, majikannya selalu mengatakan "Nggak ada keluarga saya itu, sudah mati semuanya."
"Saya bilang, nggak mungkin keluarga saya mati semuanya, pasti ada salah satu atau anak-anak saya di sana, di Indonesia.
"Kata majikan saya sudah nggak usah pulang, diam di sini di Arab Saudi. Saya bilang, saya mau pulang. Nggak mau di sini, saya sudah capek," tambah Sopiah menirukan rayuan dari majikannya dulu.
Sementara itu, Imas Anita adik Sopiah—yang mengunggah foto kakaknya di Facebook— mengatakan, usaha pencarian ini cukup berhasil setelah mencari di media sosial. Majikan Sopiah kemudian memulangkannya setelah mendapat laporan yang berasal dari komunitas WNI di Arab Saudi.
"Gajinya dikasih pas mau pulang. Dulu kan nggak digaji sama sekali," kata Imas.
Sementara yang lainnya, menyatakan belum mendapat kabar, dan masih berharap anggota keluarganya yang mengadu nasib di Arab Saudi segera pulang.
Seorang di antaranya adalah Rijayang Ismail, 59 tahun, yang mencari putri satu-satunya, Aini Marti.
Aini pergi ke Al Syabhah, Kota Mekah sejak 2006.
Ia telah mengusahakan untuk mencari anaknya melalui orang yang memberangkatkan, sampai ke dinas tenaga kerja di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Tapi "tidak ada tindak lanjutnya," kata Rijayang.
Foto ilustrasi. Sampai sekarang, kata Sekjen SBMI Bobi Anwar, informasi lowongan untuk pekerja migran didominasi oleh calo.
Rijayang bahkan sampai pergi ke dukun untuk mencari anaknya. "Ada di mana dukun ini ampuh, dukun ini masyhur (terkenal), saya pergi ke dukun itu. Dari empat tahun dia di sana, dukun terus-terus… tapi mungkin belum ada nasib kita belum ketemu dengan dia."
Sampai akhirnya, pada 2014. Rijayang mendapat telepon dari Aini di Mekah.
Aini memberi kabar yang saat itu dijawab oleh ayahnya. "Pulanglah dulu, Nak. Nanti kalau ada kesempatan kamu berangkat lagi. Pokoknya jenguk saya dulu di kampung. Ibu sudah tua, saya sudah tua," kata Rijayang menirukan percakapan saat itu.
Sesudah percakapan via telepon itu, Aini tak kunjung pulang hingga kini. Hilang kontak kembali.
Menurut Rijayang, saat mendengar suara anaknya di telepon, "Ada majikannya di dekat dia. Dia ngomong Bahasa Indonesia atau Bahasa daerah, tapi majikannya ada di sampingnya. Kemungkinan anak saya ini termasuk ketat majikannya."
Rijayang mengatakan Aini berangkat ke Arab Saudi dengan sistem sponsor (kafala), seperti Sopiah.
Sistem Kafala 'mengikat' para TKI
Menurut laporan lembaga internasional Migrant Forum in Asia, sistem Kafala membuat para pekerja migran secara hukum terikat pada pemberi kerja atau sponsor individu/majikan (kafeel) untuk periode kontrak mereka.
Karena terikat kontrak, pekerja migran tak bisa memasuki negara, pindah kerja, atau meninggalkan negara dengan alasan apa pun tanpa izin tertulis dari kafeel.
Sistem ini muncul pada era 1950an yang mengatur hubungan antara majikan dan pekerja di banyak negara Asia Barat.
Praktik yang dilakukan negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di antaranya Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, dan juga di negara-negara Arab di Yordania dan Lebanon.
Dalam praktiknya, melalui sistem Kafala, sejumlah majikan memegang penuh kendali atas pekerja rumah tangga. Misalnya, menahan kelengkapan administrasi sampai membatasi penggunaan telepon selular, hal yang terjadi pada TKI Sopiah dan Aini.
Ditahan majikan berpengaruh
Pengurus Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) di Jeddah, Roland Kamal mencatat TKI yang hilang kontak di Arab Saudi disebabkan karena sistem kafala yang masih diterapkan oleh majikan "bertipe bukan orang yang terbuka".
Dalam satu contoh kasus yang sedang ditangani SBMI adalah pemulangan TKI Nur Cahyati yang tinggal di kota Tabuk perbatasan Arab Saudi dengan Yordania. "Majikannya ini adalah aparat polisi di sana. Tidak bisa disentuh oleh dinas tenaga kerja," kata Roland kepada BBC News Indonesia.
Laporan mengenai Nur Cahyati sudah dilakukan sejak 2005 lalu, dan sampai saat ini masih belum bisa dipulangkan.
"Yang jadi permasalahan, orang Saudi itu memiliki imunitas lokal. Jadi pihak polisi tidak bisa datang ke rumahnya, walaupun di rumah tersebut ada orang kita. Kecuali pengadilan. Untuk masuk ke pengadilan kan sulitnya minta ampun," tambah Roland.
Namun, persoalan TKI yang hilang kontak dengan keluarga juga ditemukan SBMI lantaran kabur dari majikan, kemudian memilih berumah tangga dengan TKI lainnya.
"Orang kabur dari majikan, kemudian menikah di sini. Cinta lokasi. Di rumah (kampung) punya suami, punya anak. Di sini juga lahiran punya anak, di sini punya suami, akhirnya malu berkirim kabar ke Indonesia," kata Roland.
Apa kata pemerintah?
Direktur Sistem dan Strategi Penempatan dan Pelindungan (BP2MI), Haposan Saragih mengatakan salah satu persoalan TKI yang hilang kontak di Arab Saudi yakni karena majikan memang tak ingin memulangkan pekerja rumah tangganya.
Hal ini makin menguat setelah terjadi penangguhan pengiriman TKI ke Arab Saudi untuk menjadi pekerja domestik pada 2015 silam.
"Dengan adanya moratorium ini, orang Arab itu nggak mau memulangkan orang Indonesia. Karena tidak bisa masuk lagi. Jadi ditahan di sana," kata Haposan kepada BBC News Indonesia.
Selain itu, kesulitan untuk mencari TKI yang hilang di Arab Saudi juga disebabkan keberangkatan mereka secara tidak prosedural yaitu menggunakan visa umroh/ziarah.
"Karena pemberangkatannya tidak resmi, mereka pasti tanya ke kantor kita, daerah, atau dinas tenaga kerja karena tidak tercatat. Jadi susah dilacak," kata Haposan.
Pada 2020 lalu, BP2MI menerima laporan sebanyak 18 kasus TKI putus komunikasi atau hilang kontak di Arab Saudi dengan keluarga di Indonesia.
Haposan mengatakan, upaya lembaganya adalah melakukan pendekatan secara persuasif dengan pihak majikan, agar TKI tersebut bisa berkomunikasi lagi dengan keluarga.
Seperti memberi pengertian, jika majikan menahan TKI tersebut maka akan terjadi kekacauan di keluarganya; anak TKI bisa terlantar, orang tuanya terlantar, atau suaminya akan mabuk-mabukan karena putus asa isterinya tidak pulang-pulang.
"Biasanya majikan akan tersentuh hatinya dan melunak untuk memulangkan PMI (Pekerja Migran Indonesia)," kata Haposan.
Sementara Kedutaan Besar Indonesia di Riyadh melaporkan ragam persoalan mengenai TKI di Arab Saudi yang sulit kembali ke Indonesia atau hilang kontak dengan keluarga.
"Ada yang habis kontrak namun tidak dipulangkan oleh majikan (205 kasus), datang ke Arab Saudi dengan visa ziarah/kunjungan lantas dipekerjakan dan terjadi perselisihan dengan majikannya (131 kasus), PMI [pekerja migran] hilang dan tidak ada kabar berita (110 kasus), tidak betah bekerja (100 kasus), habis kontrak namun sisa gaji tidak dibayarkan (97 kasus), maupun PMI kabur dari majikan (594 kasus)," tulis laporan dari KBRI di Riyadh.
Sistem kafala dilonggarkan
Pemerintah Arab Saudi mengumumkan melonggarkan sistem Kafala bulan ini, namun hanya berlaku bagi pekerja formal.
Berdasarkan keterangan yang dirilis Kedubes Indonesia di Arab Saudi, mulai 14 Maret 2021, pemerintah Arab Saudi menghapus sistem kafala/sponsor untuk tenaga profesional.
Dengan demikian, buruh migran atau TKI yang bekerja di perusahaan swasta bisa berpindah pekerjaan tanpa persetujuan majikan. TKI juga bisa pindah kerja hanya dengan memberitahu secara elektronik, dan berhak meninggalkan Arab Saudi tanpa persetujuan dari majikan.
Namun, aturan baru ini tidak berlaku bagi pekerja domestik seperti sopir pribadi, penjaga rumah tangga, pekerja rumah tangga, pengembala dan tukang kebun.
BBC News Indonesia berupaya mendapatkan informasi lebih detil mengenai dampak pelonggaran sistem Kafala pada TKI kepada Dubes RI di Arab, Agus Maftuh Abegebriel. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum mendapatkan respon.
Sementara Wakil Menteri Abdullah bin Nasser Abuthunain kepada media dalam prakarsa perubahan sistem kafala mengatakan, "Melalui prakarsa ini, kami bertujuan untuk membangun sebuah pasar tenaga kerja yang menarik, dan meningkatkan lingkungan kerja."
Bagaimana pun, menurut pengurus SBMI di Jeddah, karakteristik sistem kafala bagi tenaga kerja domestik sudah membudaya di Arab Saudi sehingga sulit dihapuskan. "Kalau sistem kafala yang kerja di rumahan, terus diubah bebas kerja di luar, itu nggak bakalan. Karena orang di sini itu tetap masih mengikuti imunitas kearifan lokal sini," kata Roland Kamal.
Cara kafala yang dipertahankan bagi pekerja domestik di mana majikan punya kuasa penuh atas pekerjanya disebut sejumlah aktivis HAM sebagai sistem perbudakan modern.
Ratusan TKI masih hilang
Saat ini ratusan TKI di Arab Saudi masuk dalam daftar pencarian keluarganya di Indonesia. Mereka yang tercatat melalui laporan di media sosial di antaranya Dewi binti Musa asal Karawang, Jawa Barat, yang hilang sejak pergi ke Arab Saudi pada 2007.
Kemudian, Usmawati perempuan asal Dumai, Riau yang pergi mengadu nasib ke Thaif, Arab Saudi sejak 2004. Hingga kini nasibnya belum diketahui, sementara orang yang memberangkatkannya sudah meninggal dunia di kampung.
Tasmiah asal Karawang, Jawa Barat juga dilaporkan keluarga tak ada kabar sejak 15 tahun silam setelah pergi ke Hail, Arab Saudi. Dari sentra penghasil padi ini juga, Siti Rokayah binti Haji Soleh belum ada kabarnya sejak 26 tahun lalu.
Bukan hanya itu, sejumlah TKI yang bekerja di Timur Tengah yang masih menggunakan sistem kafala bagi buruh migran juga dilaporkan hilang. Suadah binti Suryadi asal Serang, Banten, hilang jejaknya sejak 10 tahun lalu saat bekerja di Yordania.
Lalu, Tarpiah binti Wakid Darpan asal Cirebon, Jawa Barat, hilang 20 tahun lalu setelah berangkat ke Kuwait.
Oti alias Mimin asal Purwakarta yang berangkat ke Bahrain sejak 2017, semula ada kabar lalu hilang kontak di kemudian hari.
Sama seperti yang lainnya, Rijayang Ismail berharap anggota keluarganya, anaknya semata wayang, bisa segera berkomunikasi, dan berkumpul kembali dengan keluarga khususnya menjelang Ramadhan tahun ini. "Kalau bulan puasa itu yang kita ingat sama anak kita, makanya kalau saya ngomong selalu ingat," katanya.
Pengamat minta ditunda
Tapi organisasi peduli buruh migran meminta pemerintah menunda kebijakan itu sampai alur perekrutan dibenahi demi menghindari terulangnya kasus kekerasan yang dialami banyak pekerja migran pada tahun 2011 silam.
Pembenahan itu mulai dari informasi lowongan pekerjaan yang masih didominasi calo hingga pelatihan keterampilan kerja oleh pemerintah pusat maupun pemda.
Direktur Bina Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kementerian Ketenagakerjaan, Rendra Setiawan, mengatakan keputusan pemerintah mengirim lagi asisten rumah tangga ke Arab Saudi dilandasi karena "masih banyaknya peminat yang ingin kerja ke Arab Saudi".
OTI alias Mimin dilaporkan tak lagi berkomunikasi dengan keluarga setelah pergi mengadu nasib ke Bahrain.
Dari situ Kemnaker, kata dia, berupaya mencari "jalan keluar baru" yang bisa memastikan terjaminnya hak-hak pekerja migran serta mencegah terulangnya tindak kekerasan.
Untuk diketahui, pengiriman pekerja asisten rumah tangga ke Arab Saudi sesungguhnya sudah dimoratorium pada tahun 2011 silam dan diperkuat secara hukum empat tahun kemudian, lantaran banyaknya kasus kekerasan yang dialami oleh TKI di negara itu.
Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi dalam Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI mencatat ada 31.676 TKI yang mengalami kekerasan di tahun 2010.
Salah satu kasus paling menggemparkan kala itu menimpa Ruyati binti Satubi. Pekerja migran asal Bekasi ini dieksekusi hukum pancung gara-gara dituduh membunuh majikannya.
Kepada keluarganya, Ruyati pernah mengeluh kalau keluarga majikannya suka berlaku kasar seperti ditimpuk sandal, jarang diberi makan, bahkan tujuh bulan gajinya tidak dibayar.
Rendra berkata, jalan keluar yang ditempuh Kemnaker adalah dengan menggunakan sistem syarikah --artinya pengguna kerja harus berbadan hukum yang ditunjuk dan bertanggungawab kepada pemerintah Arab Saudi.
Bukan lagi memakai sistem kafala atau perorangan seperti dulu.
Mekanisme kerjasama antara Arab Saudi dengan Indonesia ini disebut sebagai Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau disebut mega company.
Pasalnya di SPSK terdapat 49 perusahaan perekrut dari Indonesia dan 30an perusahaan penyalur di Arab Saudi.
"Istilahnya mereka yang punya lowongan, kita yang suplai," ujar Rendra Setiawan, Selasa (13/12/2022).
"Sistem SPSK ini disepakati kedua negara secara legal untuk memproses penempatan pekerja migran ke Arab Saudi pada sektor pengguna perseorangan. Tidak ada jalur lain," sambungnya.
Dengan "pintu baru" ini ada sejumlah hal yang disepakati bersama. Misalnya, tidak boleh lagi memberikan lebih dari satu jenis pekerjaan atau multitasking.
"Sudah disepakati pekerja migran ini bekerja dengan posisi tertentu. Kalau house keeping tidak boleh merawat bayi atau lansia."
Soal jam kerja juga dibatasi 8 hingga 9 jam. Kemudian upah minimum ditentukan sebesar 1.500 SAR atau setara 5,9 juta per bulan (kurs Rp3.976 per SAR).
Lalu akses komunikasi dijamin, termasuk dokumen-dokumen pribadi harus dipegang oleh pekerja migran.
"Wilayah bekerja juga dibatasi di tempat yang punya peradaban baik seperti Mekah, Jeddah, Riyadh, Madinah, Dammam, Dhahran, dan Khobar," tegasnya.
Yang tidak kalah penting, kata Rendra, Indonesia dan Arab Saudi sepakat untuk membentuk satuan tugas khusus untuk mengawasi ada atau tidaknya pelanggaran perjanjian kerja.
'Benahi dulu alur perekrutan dan pelatihan'
Akan tetapi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai kebijakan ini masih cacat terutama dalam hal informasi lowongan kerja dan pelatihan.
Sampai sekarang, kata Sekjen SBMI Bobi Anwar, informasi lowongan untuk pekerja migran didominasi oleh calo. Situasi ini membuat calon pekerja migran kerap mendapat informasi palsu dan merugikan mereka.
"Sudah jadi rahasia umum calo menginfokan ke calon pekerja bahwa kerja enak, proses cepat, gaji besar. Ini tidak benar, sementara kebutuhan pekerja di Arab Saudi harus terampil," ujar Bobi Anwar.
"Dengan adanya praktik percaloan banyak informasi dimanipulasi dengan melakukan perekrutan asal-asalan. Akibatnya banyak terjadi kekerasan."
"Bahkan saking tidak tahu bahasa setempat dan enggak terampil, mereka harus nurut kerja dengan jam kerja panjang."
Menurutnya, sebelum kebijakan itu terlaksana pemerintah harus terlebih dahulu menyediakan aplikasi yang bisa diakses langsung oleh calon pekerja migran untuk mendaftar, demi menghindari calo.
Persoalan berikutnya adalah pelatihan keterampilan kerja.
Sesuai mandat Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tahun 2017, pemerintah pusat dan pemda harus membiayai dan menyediakan pelatihan. Tapi sampai saat ini, tidak terlaksana.
Poin ini, kata dia, krusial sebab tanpa itu pekerja migran rawan dieksploitasi oleh majikan dan tak bisa membela diri.
"Pekerja migran yang sudah bekerja lama dan terlatih, tidak tereksploitasi. Dia cenderung bisa membela dirinya. Jadi peningkatan SDM lewat pelatihan harus serius betul."
Pengalaman mantan TKI di Arab Saudi: 'Jam kerja tidak normal'
Aktivis LSM Migrant Care, Siti Badriyah, juga sependapat. Baginya membuka kembali keran pengiriman TKI informal tanpa pembenahan tata kelola menjadi percuma dan yang harus ditekankan dalam kerjasama Indonesia dengan Arab Saudi adalah pertanggungjawaban negara setempat jika terjadi pelanggaran.
"SPSK itu harus menjamin majikan adalah orang yang baik dan mampu membayar," imbuh Siti Badriyah.
Migrant Care juga menemukan meskipun pengiriman TKI ke Arab Saudi masih ditutup, nyatanya penempatan ilegal masih terus terjadi.
Salah satu kasusnya dialami Susi --bukan nama sebenarnya-- asal Jawa Tengah.
Susi terbang ke Arab Saudi pada April 2022 lewat agen tidak resmi atau calo. Kala itu, ia dijanjikan bekerja sebagai seorang cleaning service. Tapi nyatanya perempuan 21 tahun ini dipekerjakan sebagai Asisten Rumah Tangga (ART).
Tak ada pelatihan selama di penampungan, meskipun ia tahu bakal menjadi pembantu.
Sesampainya di sana, dia bercerita bekerja selama 19 jam.
"Saya kerja dari pagi jam 8 sampai pukul 2 pagi. Pekerjannya mulai dari menyapu, mengepel, sampai membersihkan tembok karena di sana banyak pasir dan debu. Pokoknya di sana kerjaan di Indonesia yang tidak terpikirkan, dikerjain," kenang Susi.
"Ngepel rumah tiga lantai sendirian rasanya capek banget. Halaman rumah dari kemarik juga harus dipel."
"Kalau Jumat sampai Minggu, saudara-saudara majikan datang, saya harus momong bayi juga. Kerja sudah kayak di hajatan. Empat hari kerja biasa, tiga harinya kerja kuli."
Sebulan bekerja, ia digaji 1.000 SAR, tapi dengan beban kerja yang begitu banyak dianggap tidak setimpal.
Sebulan kemudian, Susi memutuskan kabur dari rumah majikannya. Ia pergi ke kantor kedutaan dan dipulangkan ke Indonesia pada September 2022.
"Saya enggak akan lagi kerja ke luar negeri jadi ART. Jam kerjanya enggak normal, kayak zaman penjajahan. Itu yang bikin trauma."
Apa kata Kemnaker?
Direktur Bina Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kementerian Ketenagakerjaan, Rendra Setiawan, mengakui "sangat sulit" membasmi calo lantaran mayoritas calon pekerja migran lebih percaya pada mereka ketimbang pemerintah daerah.
"Tantangannya bagaimana meyakinkan pekerja migran untuk langsung daftar ke dinas kabupaten/kota," ujar Rendra Setiawan.
Untuk itulah Kemnaker sedang membangun aplikasi yang bisa diakses langsung oleh TKI.
Sedangkan soal pelatihan, dia berkata calon pekerja migran bisa mengambil kursus di lembaga manapun tanpa harus bergantung pada pemerintah.
Kata Rendra, kebijakan pengiriman TKI ke Arab Saudi ini masih dalam tahap percobaan selama enam bulan. Jika hasilnya baik, maka tidak menutup kemungkinan diteruskan dan perusahaan perekrut di Indonesia akan ditambah.
"Pengiriman lewat jalur perseorangan atau kafala itu tetap akan kita larang, mungkin enggak akan kita buka selamanya. Jadi tetap dengan syarikah nantinya."
"Sebab kalau perseorangan akan kembali ke zaman dulu itu yang banyak masalah."
Rendra memperkirakan, proses penempatan TKI informal ini akan mulai berjalan Januari 2023, sembari menyempurnakan sistem SPSK. (*)
Tags : Tenaga Kerja Indonesia, Ratusan TKI Hilang, Pemerintah Kembali Kirim TKI ke Arab Saudi, Pekerja migran, Arab Saudi,