JAKARTA - Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Walhi Nasional, Uli Artha Siagian membeberkan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan berisiko pada penegakan hukum, bencana ekologi hingga konflik sosial ekonomi di masyarakat.
Toleransi dan kesempatan yang diberikan pemerintah untuk keberlanjutan usaha perkebunan sawit di lahan hutan menunjukkan lemahnya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap aktivitas ilegal di kawasan hutan. Menurutnya, sanksi denda administratif tidak cukup untuk membenahi kebun sawit di kawasan hutan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah mengejar tenggat waktu penyelesaian izin kebun sawit dalam kawasan hutan hingga 2 November 2023. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Adapun penyelesaian sawit dalam kawasan hutan terbagi dalam dua tipologi yang diatur dalam pasal 110 A dan Pasal 110 B dengan target luasan mencapai 3,37 juta hektare.
Pasal 110 A mengatur kebun kelapa sawit yang telah beroperasi dan mempunyai izinnusaha perkebunan (IUP) dan sesuai tatar ruang pada izin diterbitkan, namun statusnya berada dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi. Sedangkan pasal 110 B mengatur penyelesaian kebun kelapa sawit yang telah beroperasi dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan alias ilegal.
"Sebenarnya sawit ilegal dalam kawasan hutan itu harusnya diberikan tindakan hukum baik secara administrasi ataupun secara pidana," ujar Uli saat dihubungi, Rabu (1/11/2023).
Penegakan hukum yang tegas diklaim dapat menekan keberadaan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Di sisi lain, risiko bencana ekologis seperti banjir, kebakaran lahan dan longsor menjadi rawan terjadi saat pelapasan status kawasan hutan makin masif dilakukan untuk perkebunan sawit.
Apalagi, menurut Uli, hasil penelusuran Walhi Indonesia di lapangan menemukan adanya sejumlah titik api berasal dari lahan-lahan perusahaan sawit yang mengikuti program pelepasan status kawasan hutan tersebut.
Temuan tersebut tentu manjadi kontradiktif dengan klaim pemerintah bahwa pembenahan status kawasan hutan untuk kebun sawit sebagai upaya menanggulangi perubahan iklim melalui denda administratif.
"Pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan ini dilakukan dengan luasan mencapai 3,37 juta hektare maka itu akan membuat kualitas hutan, dan kualitas lingkungan akan menurun," ucapnya.
Dia menambahkan, risiko konflik sosial ekonomi di masyarakat lokal menjadi tinggi. Musababnya, tidak sedikit perkebunan sawit ilegal berada di wilayah adat masyarakat lokal.
"Ketika ini kemudian diberikan pemutihan maka ini akan memancing situasi konflik di bawah," tutur Uli.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono menegaskan kebun sawit di kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi (HK) harus dikembalikan kepada negara.
Toleransi pelepasan status kawasan hutan hanya bisa diberikan kepada kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan produksi dan area penggunaan lain (APL), tapi tidak untuk sawit di hutan lindung dan hutan konservasi.
Dia menyebut saat ini ada sekitar 200.000 hektare lahan sawit ilegal yang berada dalam kawasan HL dan HK. Menurutnya, pelaku usaha yang menjalankan bisnis perkebunan sawit di atas kawasan HL dan HK itu harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan hutan kepada negara. Setelah itu, lahan dikembalikan kepada negara karena status hutan lindung dan konservasi.
"Hitungannya yang HLHK itu udah sekitar 200.000-an hektare di 110 B [pasal dalam UU No.1/2020] dan itulah berpeluang kembali lagi kepada negara. Jadi mohon izin, mohon maaf sawit tidak boleh di area perlindungan dan konsevasi," ujar Bambang saat ditemui di Kantor Ombudsman, Selasa (31/10/2023).
Bambang pun mengklaim, pengembalian lahan sawit di kawasan HLHK kepada negara untuk dipulihkan kembali menjadi HLHK sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengendalikan dampak perubahan iklim, seperti yang dilansir dari bisnis. (*)
Tags : wahana lingkungan hidup, walhi beberkan pemutihan sawit, kebun sawit di kawasan hutan, pemutihan sawit beresiko, bencana ekologi hingga konflik sosial ekonomi,