Riau   16-06-2025 13:29 WIB

Walhi Desak Gubernur Abdul Wahid Evaluasi Perizinan Tambang di Riau, 'yang Sudah Picu Kerusakan Ekologis dan Konflik Agraria'

Walhi Desak Gubernur Abdul Wahid Evaluasi Perizinan Tambang di Riau, 'yang Sudah Picu Kerusakan Ekologis dan Konflik Agraria'

PEKANBARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mendesak Gubernur Abdul Wahid untuk segera mengevaluasi perizinan tambang yang telah ada dan akan beroperasi di Provinsi Riau.

"Perizinan tambang di Riau perlu di evaluasi."

“Kehadiran tambang yang kerap dibungkus narasi pertumbuhan ekonomi  tak bisa dibenarkan jika justru melanggengkan perampasan ruang masyarakat adat, merenggut ruang penghidupan kelompok perempuan, dan memperparah krisis ekologis," kata Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, Ahlul Fadli, Jumat (30/5). 

Desakan ini disuarakan bertepatan dengan peringatan Hari Anti Tambang yang jatuh pada Kamis 29 Mei 2025 dengan tema "Melawan Ekstraktivisme, Merawat Hidup, Menyatukan Perlawanan”

Ahlul Fadli menyatakan, wilayah Riau saat ini terus dibebani oleh perluasan izin tambang, terutama di kawasan pesisir dan gambut.

Kehadiran industri tambang merupakan kombinasi yang akan meningkatkan laju kerusakan ekologis, memperluas konflik agraria, dan akan semakin meminggirkan hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya alamnya.

Berdasarkan analisis spasial Walhi Riau, sejumlah kabupaten berada dalam kepungan tambang.

Di Kabupaten Indragiri Hulu terdapat tujuh IUP dan satu WIUP di sektor pertambangan dengan luas total 31.752,24 hektare (ha).

Di Kabupaten Indragiri Hilir, ada sembilan perusahaan tambang yang memegang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan total luas 4.646,14 ha.

Kemudian di Kabupaten Kampar, seluas 4 ha telah digarap untuk aktivitas tambang mineral galian golongan C dan Batubara.

Di Kabupaten Bengkalis, meskipun Izin Usaha Pertambangan Pasir Laut telah dicabut, faktanya wilayah perairan Bengkalis masih terancam oleh adanya tiga perusahaan tambang pasir laut yang sedang dalam tahap pencadangan per Januari 2025.

Di Kabupaten Rokan Hulu, terdapat tujuh pemegang izin WIUP dengan luas 726,67 ha. 

Ahlul Fadli menilai, data tersebut merupakan fakta nyata bahwa Provinsi Riau telah menjadi ladang eksploitasi dan kehadiran industri tambang yang tidak dapat dilihat sebagai persoalan tunggal.

Menurut Ahlul Fadli,  kehadiran tambang di beberapa kabupaten tidak ada yang benar-benar bersih.

Kehadirannya selalu memicu persoalan yang kompleks dari hulu ke hilir. 

Di Pulau Rupat misalnya, meskipun akivitas penambangan pasir laut oleh PT Logomas Utama hanya dilakukan beberapa bulan, namun nelayan tradisional perlu waktu lama untuk memulihkan ekosistem laut yang rusak.

"Lalu, di Desa Batu Ampar Indragiri Hulu, ledakan tambang oleh PT Bara Prima Pratama menimbulkan kerusakan pada bangunan yang masyarakat tinggali, aktivitas ini juga mencemari air yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, sehingga izin perusahaan tersebut perlu dievaluasi," jelas Ahlul Fadli. 

Ahlul Fadli menyatakan, Gubernur Provinsi Riau memiliki tugas dan kewenangan untuk mengevaluasi seluruh izin tambang yang telah ada dan akan beroperasi di Provinsi Riau.

Hal tersebut berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 sebagai turunan Pasal 35 ayat (4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020.

Menurutnya, Pasal 6 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021, juga secara jelas memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam urusan perizinan, pengawasan, serta pembinaan dan penjatuhan sanksi administratif terhadap kegiatan pertambangan mineral dan batubara.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (3), (5), (9) Perpres Nomor 55 Tahun 2022, Gubernur mempunyai kewenangan untuk:

  1. Memberikan izin terhadap komoditi mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang berada dalam 1 (satu) daerah provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut
  2. Melakukan pengawasan
  3. Melakukan pembinaan atau pemberian sanksi administratif. 

Ahlul Fadli juga menambahkan, selain melakukan penertiban terhadap perusahaan yang berada di bawah kewenangannya, Gubernur Abdul Wahid juga harus berperan aktif mengawasi perusahaan tambang yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.

Di tengah krisis ekologis yang terus memburuk di Riau di mana industri ekstraktif menjadi salah satu penyebab utama, tidak ada alasan bagi Gubernur Riau untuk abai.

"Kewenangan yang diamanatkan Perpres Nomor 55 Tahun 2022 harus digunakan secara maksimal untuk menghentikan kerusakan, memulihkan lingkungan hidup, dan menjamin hak masyarakat atas ruang hidup yang aman dan berkelanjutan," tegasnya. 

"Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Riau mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan perlindungan hak-hak rakyat sebagai fondasi utama dalam setiap arah kebijakan pembangunan,” tutup Ahlul. (*)

Tags : tambang, riau, industri tambang, evaluasi perizinan tambang, tambang picu kerusakan ekologis dan konflik agraria,