LINGKUNGAN - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas dugaan korupsi tata kelola Proyek Pemutihan Sawit dalam Kawasan Hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebelumnya, Kejagung menggeledah kantor KLHK pada Kamis, 3 Oktober 2024.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan dugaan korupsi dalam tata kelola perkebunan sawit itu terjadi tahun 2016-2024.
Perkara ini berkaitan dengan pemutihan sawit dalam kawasan hutan melalui pasal 110 A Undang-Undang Cipta Kerja, katanya.
Walhi, kata Uli, sejak lama sudah menyatakan bahwa pemutihan tersebut menjadi celah besar praktik korupsi.
“Apalagi waktu tenggat penyelesaiannya hingga 2 November 2023, yang sarat akan kepentingan transaksional politik” kata Uli dalam keterangan tertulis pada pers, Jumat (4/10/2024).
Uli menjelaskan, semua bermula ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja pasal 110 A dan 110 B.
Undang-undang ini membuat pemutihan sawit dalam kawasan hutan menjadi tertutup. Sebab dalam pasal 110 B UUCK disebutkan bahwa perusahaan yang tidak memiliki izin diberikan waktu 3 tahun untuk mengurus legalitasnya.
"Tidak diketahui juga basis data yang digunakan KLHK untuk menghitung luasan konsesi, berapa luas hutan yang ditanami sawit, dan berapa luas tutupan hutan sebelum dibuka menjadi perkebunan, itu berasal dari data yang mana dan milik siapa” kata Uli.
Belakangan, kata Uli, KLHK secara tiba-tiba menerbitkan SK Menteri LHK Nomor SK.661 yang merupakan penyederhanaan formula perhitungan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR) yang harusnya dibayarkan perusahaan dalam proses pemutihan.
“Yang dilihat berdasarkan data tutupan tahun 2000, perhitungan melalui SK.661 ini jauh lebih sedikit, dan sangat meringankan perusahaan.” ucapnya.
Hingga Oktober 2023, perkebunan sawit tanpa perizinan di bidang kehutanan totalnya sebesar 1.679.797 hektare.
Dari total itu, sebanyak 1.263 unit kebun terindikasi milik perusahaan atau korporasi dengan luas 1.473.946,08 hektare.
Uli menyebut, setidaknya terdapat sepuluh perusahaan besar yang ikut dalam proses ini.
“Mereka antara lain Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High,” jelas Uli.
Menurut Uli, banyak dampak buruk yang muncul akibat proyek ini.
"Penanaman sawit dalam Kawasan hutan ini, bukan hanya menyebabkan deforestasi, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya fungsi hidrologis yang kemudian menyebabkan banjir dan longsor, pelepasan emisi, kerugian negara dan perekonomian negara,” ujarnya.
“Konflik dan tidak jarang diikuti dengan intimidasi kepada masyarakat”.
Meski pun penggeledahan di kantor KLHK itu terbilang terlambat, kata Uli, namun langkah Kejaksaan perlu diapresiasi.
“Selanjutnya, menjadi penting bagi Kejaksaan juga memeriksa korporasi-korporasi yang terlibat dalam proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan,” katanya.
Tim penyidik Kejaksaan Agung sebelumnya menggeledah kantor KLHK di di Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Oktober 2024.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan penggeledahan tersebut terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit tahun 2016-2024.
Dari pantauan media, Kejagung mengangkut empat boks beserta dua kardus kecil saat keluar dari kantor KLHK.
"Kalau sudah ada infonya kami sampaikan, ya," ujar Harli saat dihubungi media. (*)
Tags : klhk, kejaksaan agung, walhi,