"Bunyi-bunyi alami dari hutan dan sungai terlihat masih alami di hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh [TNBT] ditambah bagaimana suara flora dan fauna cukup dapat menenangkan kita"
antauan terbaru menunjukkan bunyi-bunyi alami dari hutan, sungai membantu meningkatkan daya tahan tubuh, bahkan sekalipun saat sinaran matahari yang tak begitu terik suara kicauan burung dan suara-suara alami lainnya menunjukkan ketenangan lingkungan sekitarnya.
"Saat itu tahun 2019, disekitar hutan TNBT kami bersama kelompok pencita lingkungan pernah masuk menyusuri keingintahuan hutan yang kaya akan flora dan fauna sementara berbagai macam jenis burung menyahuti dan berkicau indah dari pepohonan di sekitarnya," kata Dahrul Rangkuti dari Aktivis Eka Nusa ini.
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh merupakan kawasan hutan tropis dataran rendah yang ada di Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu. Lokasinya berbatasan dengan Provinsi Jambi. Taman ini memiliki luas 144.223 hektar yang sebagian besar wilayahnya perbukitan yang berjajar rapi di bagian timur Sumatera.
Kementrian Kehutanan RI telah menetapkan kawasan TNBT sebagai taman konservasi bagi flora dan fauna yang beraneka ragam. Selain sebagai taman konservasi flora dan fauna, TNBT juga berfungsi sebagai pengendali hidrologi untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Indragiri dan Batanghari di Provinsi Jambi.
"TNBT terbilang kaya dengan flora dan fauna. Di dalam hutan ini terdapat sedikitnya 660 spesies tumbuhan, 246 di antaranya merupakan spesies obat-obatan yang sering dimanfaatkan oleh warga sekitar," katanya.
Tetapi 550 spesies yang ada di taman ini, menurutnya, merupakan spesies yang sudah langka dan dilindungi, di antaranya jernang (daemonorops draco), pohon nibung (oncosperma tigilarium), getah merah (palaguyum sopi), cendawan muka rimau (rafflessia hasselti), jelutung(dyeracosculata), dan sebagainya.
"Tumbuh nibung berumpun, tegak lurus dengan ketinggiannya mencapai 20 hingga 30 meter. Pohon ini memiliki makna sendiri bagi orang Riau, yakni melambangkan semangat persatuan dan persaudaraan. Maka, pohon ini pun dijadikan salah satu mascot provinsi Riau."
Untuk fauna, kata Dahrul lagi, sedikitnya terdapat 59 spesies mamalia. Di antaranya harimau sumatra (patheratigris sumatraensis), macan dahan (neofelix nebulasa), gajah sumatra (elephus maximus), tapir melayu (tapirus indicus), siamang (hylobates sydactylus), kera jambul (presbytis melalophus), lutung (presbytis cristata), dan sebagainya. Ada pula beberapa jenis burung di antaranya burung rangkong perut (antharacoceros convexus), burung raja udang, burung serindit (loriculus galgolus), elang (spizateus nanus), dan sebagainya.
Burung Rangkong Perut
Jadi mengungjungi kawasan TNBT ini, katanya, tidak hanya untuk menikmati keindahan hutan alami yang hijau terbentang. "Di kawasan itu kita juga bisa menikmati pemandangan air terjun, sungai-sungai pemandian dengan batu-batu dan air yang mengalir," sebutnya.
Udara yang sejuk membuat pengunjung betah berlama-lama menikmati kesegaran suasana. Selain itu, ada juga menara yang digunakan untuk meneropong burung di lokasi hutan.
Sementara rute jalan masuk ke kawasan hutan itu, Dahrul menceritakan mudah ditempuh menggunakan kendaraan roda dua. "Ini yang menjadi salah satu keterbatasan lokasi wisata tersebut".
"Padahal bila akses jalan mendukung, keberadaan TNBT akan sangat membantu perkembangan pariwisata setempat. Bahkan karena kondisi jalan yang sulit tersebut, banyak warga di Indragiri Hulu sendiri yang tidak tau keberadaan lokasi destinasi pariwisata TNBT," terangnya.
Kawasan TNBT juga terdapat suku asli pedalaman Talang Mamak. Saat pertama masuk ke gerbang hutan itu, di kanan kiri jalanan pengunjung bisa melihat rumah-rumah asli suku Talang Mamak dengan pakaian-pakaian mereka yang minim.
Suku Talang Mamak sangat arif dalam menjaga hutan. "Mereka tau kapan dan batas pemakaian sumber daya alam yang ada di dalam hutan. Kebijakan pelestarian hutan diwariskan dari satu generasi ke generasi sehingga kehidupan hutan lebih lestari dan terjaga," kata Dahrul pula.
Akses menuju ke lokasi TNBT bisa ditempuh melalui jalan darat. Dari pusat Kota Pekanbaru, jika mengendarai kendaraan pribadi menuju ke Kecamatan Batang Gansal, Indragiri Hulu. Atau bisa juga menggunakan travel dengan rute Pekanbaru-Rengat.
Gerbang masuk TNBT terletak sebelum kawasan kantor Bupati Indragiri Hulu, atau sebelum simpang empat tugu patin Pematang Rebah. Bila dari arah Kota Pekanbaru, gerbang tersebut berada di tepi jalan lintas Timur Pekanbaru-Jambi, tepatnya di sebelah kanan. Lama waktu perjalanan normal dari Kota Pekanbaru menuju ke gerbang TNBT yang berada di tepi jalan raya ini sekitar 5 jam.
Setelah sampai di gerbang TNBT, kita bisa menyewa sepeda motor milik warga. Biasanya sewa motor sekitar 100ribu rupiah per 2 jam. Kendaraan ini lebih memungkinkan dinaiki dengan leluasa di area jalan yang agak sulit, terutama jika musim hujan.
Di dalam kawasan hutan terdapat akomodasi seadanya seperti toilet, mushala, parkir dan kantin. Di luar gerbang hutan sekitar simpang empat tugu patin terdapat penginapan sekelas hotel melati. Tiket masuk untuk wisatawan lokal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2014 Tanggal 14 Februari 2014 sekitar 5 hingga 10 ribu rupiah di luar parkir dan aktivitas tambahan lain seperti kemah, berfoto dan sebagainya. Sementara untuk WNA tarifnya mulai dari 150ribu per orang.
Suara alami bermanfaat untuk kesehatan
Dahrul menilai perlunya sesekali meninjau hamparan hutan yang masih alami. "Tinjauan kami menunjukkan bahwa suara alami saja dapat memberikan manfaat kesehatan," sebutnya.
"Lingkungan akustik alami di TNBT itu memberikan indikasi keselamatan atau dunia yang tertata tanpa bahaya, memungkinkan kontrol atas keadaan pikiran, mengurangi stres, dan memulihkan kesehatan mental."
Suara alami di hutan TNBT
Pada awal tahun lalu, kata Dahrul di mana keberadaan hutan TNBT itu masih menunjukkan suara-suara lingkungan hutan yang masih alami. "Pikiran dramatis saya segera membayangkan seperti apa rasanya bagi seseorang tidak lagi mendengarkan rekaman suara alam yang telah benar-benar lenyap," tanya Dahrul.
"Hal itu menambah kesehatan kita datang di bumi itu, seperti apa suara itu yang tidak memiliki kerangka acuan untuk kicau burung, pepohonan di angin maupun gelombang sungai."
"Tetapi yang menakutkan bagi saya adalah bahwa saya benar-benar dapat membayangkan sebuah pemandangan yang unik di mana orang-orang penduduk setempat [Talang Mamak] dapat mempertahankan suara nyanyian burung disekitar hutan."
"Saya merasa suara kicauan burung sekarang, semakin mirip seperti suara dunia yang berada di bawah ancaman," timpalnya.
"Saat krisis iklim terus berlanjut, melodi ini, terdengar seperti perayaan alam yang kurang menyenangkan sebagian orang, bahkan lagu lagu yang alami itu seakan diartikan sebagai untuk orang mati."
Pada hal suara suara kicauan beragam flora dan fauna di hutan TNBT itu, menurutnya, sangat efisien yang bukan suara yang misterius dari suara hutan hujan tropis. "Efeknya juga tampak membuka sesuatu yang asli menyejukan dan bukan meresahkan dalam diri; mereka juga memiliki kekuatan kenangan kehidupan nyata yang dibesarkan di hutan asli."
Dia bahkan melihat warga menyelamatkan Tumbuhan Jernang
Penjaga Hutan TNBT terlihat membudidayakan tanaman Jernang yang bisa dinilai memiliki harga lebih tinggi dari sawit. Kalau selama ini warga setempat yang masih bergantung kehidupan ekonominya dengan aktivitas penebangan liar (illegal logging) di kawasan TNBT bahkan nyaris pohon-pohon diameter di atas 50 sentimeter menjadi sasaran empuk untuk ditebang dan diolah, kemudian dijual secara bebas ke penadah.
Namun kemudian lingkungan tampaknya sudah berubah justru ditegakan pohon yang tinggi-tinggi hidup sejenis rotan warga Desa Air Buluh mengenalnya dengan nama jernang. Seperti disebutkan Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Bukik Ijau, Hendriyanto, "mereka sejak 2016, menanam jernang di atas lahan seluas 50 Hektare," kata Dahrul menceritakan.
Oleh KTH, sejak jernang ditanam di hutan, warga selalu menjaga pertumbuhannya dengan mendatangi hutan di TNBT. Lahan yang ditanami jernang selain dimaksudkan menjaga alam dari degradasi hutan, juga memberi efek positif dari sisi ekonomi kepada masyarakat.
Tumbuhan Jernang
"Dengan menanam pohon jernang (di dalam hutan) kita sekalian menjaga rimba (hutan) tetap lestari. Masyarakat desa disini juga terbantu diisi ekonomi kami,” kata Dahrul mengulang pernyataan Hendriyanto.
Tetapi Dahrul kembali menjelaskan, budidaya jernang tak lepas dari terjadinya deforestasi disebabkan para pembalak liar yang menebang pohon serta merambah hutan.
"Warga setempat melihat hutan tempat mereka mencari nafkah semakin rusak, maka itu timbul pemikiran untuk memanfaatkan lahan untuk mencari rezeki sembari menjaga hutan," terangnya.
Yayasan Hutan Riau juga melancarkan aksi untuk melindungi hutan, masyarakat diajak ikut menjaga hutan namun tetap hidup dengan nilai keekonomian.
Seperti duo Melki Rumania dan Widya menceritakan, sejak 2016, setiap tahunnya petani tergabung dalam 29 kelompok tani sudah menghijaukan kembali dan mencegah deforestasi kawasan TNBT seluas 8.700 Ha. Pada 2017, tanaman jernang secara khusus ditanam pada 25 Ha kawasan hutan lindung terdegradasi.
Jumlah penanaman khusus jernang kemudian meningkat setahun kemudian, 2018 seluas 30 Ha. Tahun 2019, jelasnya, setelah mendengarkan permintaan warga, tak lagi jernang ditanam secara khusus.
"Warga kemudian meminta jangan lagi menanam jernang secara khusus. Kasihlah kami bibit petai, jengkol, gaharu, coklat, kopi serta tanaman-tanaman umur pendek dan panjang yang menghasilkan, ekonomi," jelas Melki.
Menurut Dahrul yang memantau perkembangan TNBT ini, hasilnya, perambah hutan dari warga setempat turun drastis. Semenjak dikembangkan tanaman jernang, warga dan petani mulai mempertahankan kebunnya. "Mereka tak lagi memprioritaskan sawit semata, melainkan juga karet yang tumbuh berdampingan," ujarnya.
Penanaman tanaman jernang ini, selain menjaga hutan dan kawasan dari deforestasi, juga mendatangkan nilai ekonomis tertinggi. Lebih tinggi dibandingkan harga kelapa sawit selama ini menjadi komoditas utama di Riau.
"Satu Ha bisa ditanam 200-700 batang jernang. Estimasi kasar hitungan per tahun, 1 Ha jernang sebanding dengan hasil dari 15 Ha sawit," jelas Dahrul memperkirakan.
Dahrul pun memperhitungkan soal tanaman itu, jika satu batang jernang sudah berbuah normal, tandan buahnya bisa 13-17 tandan. Setiap tandan beratnya 500-1.500 gram. Dari berbentuk jantung hingga buah maksimal untuk dipanen berkisar 11-13 bulan. "Anggaplah harganya sekarang Rp 2 juta saja. Artinya satu batang jernang bisa menghasilkan uang Rp 1,6 juta," ungkapnya.
Bahkan menurut Dahrul, hitungan itu justru secara minimal, dalam kondisi realnya justru hasilnya lebih tinggi lagi. "Untuk jernang itu hitungannya sudah sangat minimal sekali, kita belum menghitung jernang jantung yang tumbuh berumpun. Satu batang ditanam, bisa belasan batang naik ke atas," terangnya.
Sekilo Jernang Rp 2 Juta
Tetapi kembali disebutkan Hendriyanto, seorang petani pengelola Jernang, dalam pemaparannya soal jernang tumbuhan berwarna merah [si darah naga] itu sebagai bahan membuat kosmetik hingga obat Jernang juga bisa digunakan sebagai pewarna biola karena warnanya yang khas.
Untuk mendapatkan pewarna alami ini, pengolah jernang harus memukul-mukul kumpulan buah jernang yang ditempatkan dalam sebuah keranjang kecil. Dalam bahasa lokal disebut "pangisai" atau "pangguncang jonang."
Hal ini dilakukan agar getah atau resin jernang yang menempel di buahnya dapat luruh. Proses ini biasanya dilakukan sebanyak 2 kali, agar seluruh getah jernang yang menempel di kulit buahnya dapat diambil. "Jadi harus kita pukul-pukul supaya bisa diambil getahnya," jelasnya.
Setelah seluruh resinnya diperoleh, pengolah jernang akan membiarkannya selama satu hari penuh, hingga seluruh resin jernang mengkristal. Atau jika ingin mendapatkan warna lebih merah pekat, dapat juga diendapkan bersama air panas. Tidak sampai disitu aja, buah jernang yang sudah diambil getahnya, masih dapat diolah kembali.
"Para pengolah jernang akan menumbuk buah jernang hingga menjadi bubuk. Para pengolah jernang menyebut sebagai 'tepung jonang.
Harga resin jonang dan tepung jonang tidak jauh berbeda. Kini harga jernang di pasaran berkisar Rp 2 juta per kg, kata Melki menceritakan.
Hasil pendamping petani selama ini membuahkan hasil. Melalui eksperimen dilakukan petani, akhirnya selama tujuh hari pembibitan Jernang sudah tumbuh kecambah. "Di masyarakat sendiri, Alhamdulillah sudah mulai bagus. Awalnya masyarakat itu membibitkan pecah kecambah dari biji keluar kecambah itu delapan bulan. Setelah berbagai perlakuan, tiga bulan, satu bulan terakhir satu minggu sudah bisa keluar kecambah," ungkap Melki.
Selaku pendamping, selalu mendorong dan mengarahkan petani jernang agar hasil pembibitan bisa optimal dengan pertumbuhan baik dan cepat. "Jadi, kita mencoba mendorong masyarakat untuk bereksperimen, riset secara partisipatif dan mandiri, serta mendokumentasikan, perlakuannya, hasil gimana, ini gimana. Akhirnya dapatlah perlakuan optimal," jelasnya.
Namun menurut Dahrul Rangkuti lagi, sebutan Jernang memiliki berbagai macam jenis-jenis yang ada di daerah perbatasan dengan Riau. "Kalau di Riau ada juga dijumpa tumbuh alami untuk di Kuansing itu ada dua jenis, pertama jernang jantung dan kedua kalau di sana (Kuansing) bilangnya jernang beruk," jelasnya.
Tetapi di daerah Indragiri Hulu (Inhu) ada jernang kelukup, orang Jambi selain bilang jernang kelukup disebut juga jernang burung. "Jadi jernang kelulup, burung, atau jernang beruk itu sama. Nah, untuk jernang jantung sebarannya kalau di Riau hanya ada di sebagian Kuansing dan Inhu terutama dearah yang berbatasan dengan Sumatera Barat (Sumbar) dan Jambi hanya spesifik disana," ungkapnya.
Sementara itu, untuk jernang beruk hanya ada di kawasan hutan. "Jernang beruk burung mulai dari Inhu sampai ke Kuansing Kampar, Rohul yang sebagian masih berada dikawasan hutan," ujarnya.
Pemprov Riau kembangkan jernang
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau, Maamun Murod, mengatakan akan tetap melakukan upaya agar petani jernang bisa berkembang.
Menurutnya, petani jernang juga harus bisa tata kelola dalam berniaga untuk kesejahteraan hidup para petani. Ia menegaskan akan merencanakan penampungan jernang yang berkonsep berkeadilan.
"Jadi, saya inginnya itu, nanti ada pengepul jernang ini berkeadilan. Artinya, ia tidak hanya mengambil keuntungan sendiri saja," tegas Murod.
KLHK, tuturnya, juga ingin agar masyarakat yang menjadi petani jernang terus dapat berkembang. "Bagaimana supaya masyarakat itu bisa hidup, terus jernang bisa berkembang. Nah, dari tata niaga juga bisa berjalan dengan baik," ujarnya
Murod menuturkan dengan nada semangat, bahkan sudah menghubungi rekan kerjanya di Dirjen Perdagangan untuk berdiskusi lebih lanjut perihal jernang ini. "Makanya kemarin saya menelepon salah satu Dirjen Perdagangan, kemungkinan dalam waktu dekat akan melakukan zoom meeting," pungkasnya. (*)
Tags : Taman Nasional Bukit Tigapulu, Hutan TNBT Inhu, Sorotan, Warga Gantungkan Kehidupan Ekonomidi Hutan TNBT, HUtan TNBT Masih Alami ,