Pekanbaru   26-06-2025 16:50 WIB

Warga Masih ada Tolak Bayar Iuran Sampah ke LPS, DPRD Pekanbaru: Pungutan Tanpa Dasar Hukum Berpotensi Pidana

 Warga Masih ada Tolak Bayar Iuran Sampah ke LPS, DPRD Pekanbaru: Pungutan Tanpa Dasar Hukum Berpotensi Pidana
Pemko minta masyarakat dan LPS sepakati iuran sampah 

PEKANBARU - Anggota DPRD Kota Pekanbaru, Zulkardi, menyoroti keras tentang pungutan iuran sampah oleh Lembaga Pengelola Sampah (LPS) di Kota Pekanbaru memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

"Iuran sampah tanpa dasar hukum berpotensi pidana."

"Penyimpangan termasuk tindakan yang melanggar hukum, tidak sesuai dengan kewajiban atau merugikan masyarakat dalam konteks pelayanan publik, itu bisa dipidana," kata Zulkardi kepada wartawan, Rabu (25/6).

Pungutan iuran sampah yang tidak transparan oleh petugas LPS di Kelurahan Palas, Kecamatan Rumbai. 

Menurut Zulkardi, penetapan tarif iuran sampah tanpa dasar yang jelas merupakan maladministrasi dan berpotensi pidana.

Zulkardi menjelaskan bahwa warga mengeluhkan pemungutan iuran sampah sebesar Rp50.000. Setelah diprotes, tarif tersebut diturunkan menjadi Rp25.000. 

Ia menambahkan bahwa dalam konteks regulasi, iuran sampah seharusnya memiliki dasar hukum yang jelas.

Menurutnya, pedoman pelayanan persampahan mengenal istilah retribusi layanan persampahan. 

Jika mengacu pada Perda Nomor 1 Tahun 2024, tarif retribusi sampah sudah ditentukan berdasarkan tipe rumah.

"Misalnya, untuk rumah tipe 36, tarifnya adalah Rp8.000. Mari kita tunggu kedatangan warga yang komplain terkait permintaan Rp50 ribu ini untuk kita bahas dalam hearing lebih lanjut," ungkapnya.

Zulkardi menegaskan bahwa iuran seharusnya dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan RT, RW, dan seluruh lapisan masyarakat setempat untuk menentukan tarif yang disepakati bersama. 

"Tidak dibenarkan jika tiba-tiba datang meminta iuran dengan tarif yang sudah ditentukan tanpa musyawarah sebelumnya, bermodalkan kertas atau imbauan RT," kata tegas Zulkardi.

"Kalau iuran harus musyawarah setelah dapat hasil kesepakatan baru ditentukan. Jangan memaksa masyarakat apalagi menindas masyarakat dengan membebani iuran yang tidak ada landasan hukumnya," sambungnya.

Mengingat mayoritas masyarakat Kelurahan Palas berasal dari kalangan menengah ke bawah, Zulkardi dengan tegas meminta tidak ada pihak yang "bermain" dalam masalah pungutan sampah ini, apalagi melakukan intimidasi kepada masyarakat. 

"Jika ada intimidasi dari pihak-pihak tertentu segera lapor ke kita, maka akan kita tindak," pungkas Zulkardi.

Sebelumnya, warga Kelurahan Palas, Kecamatan Rumbai, menyatakan keberatan dengan besaran iuran sampah yang dipungut oleh LPS yang mencapai Rp50.000. 

Menurut keterangan salah seorang warga RT 002 RW 006 Kelurahan Palas, penetapan besaran iuran tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat dalam musyawarah, sehingga warga merasa kaget dengan nominal yang disampaikan petugas LPS yang didampingi pihak RT.

Penerapan iuran pungutan sampah oleh LPS di Kota Pekanbaru masih memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Sejumlah warga mempertanyakan dasar penetapan iuran, sementara sebagian lainnya menilai kebijakan ini sebagai langkah positif untuk menjaga kebersihan lingkungan secara berkelanjutan.

"Terkait iuran sampah untuk di LPS, iuran itu dibenarkan di dalam aturan, tetapi iuran itu tidak bisa ditetapkan begitu saja," sebut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Pekanbaru, Reza Aulia Putra.

"Iuran itu hasil kesepakatan antara masyarakat dengan LPS-nya. Dan ingat, yang membayar retribusi ke pemerintah itu adalah LPS, bukan masyarakat," ujarReza Aulia Putra, Kamis (26/6).

Reza Aulia Putra menjelaskan bahwa iuran LPS sejatinya dibenarkan dalam aturan. Namun, penetapannya tidak bisa sepihak dan harus melalui musyawarah antara LPS dengan masyarakat melalui RT/RW serta tokoh masyarakat setempat.

Ia mencontohkan, jika sebuah lingkungan menyepakati besaran iuran Rp10 ribu, Rp15 ribu, hingga Rp50 ribu, maka nominal tersebut merupakan hasil negosiasi antara masyarakat dan LPS.

Masyarakat berhak memilih sesuai kemampuannya dan tidak boleh dipaksa membayar di luar kesepakatan tersebut.

"Iuran itu harus disepakati bersama. Tidak bisa semena-mena LPS yang menentukan besarannya. Tapi masyarakat juga harus sadar bahwa LPS ini bekerja dan butuh operasional. Selama iuran masih dalam batas kewajaran dan disepakati, itu sah-sah saja," jelas Reza.

Ia menekankan, iuran tersebut digunakan untuk mendukung operasional LPS, mulai dari biaya transportasi, bahan bakar, hingga honor kru pengangkut sampah. Sementara retribusi resmi yang disetorkan ke pemerintah tetap dibayarkan oleh pihak LPS.

Reza juga menyampaikan bahwa sistem ini merupakan pola baru yang diterapkan di Kota Pekanbaru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Pemko terus melakukan evaluasi dan terbuka terhadap pengaduan masyarakat terkait kinerja LPS.

"Kami selalu memperbaiki sistem, membuka pengaduan melalui media sosial dan chat. Kalau ada keluhan terhadap LPS, silakan laporkan ke DLHK. Nomor pengaduan juga kami cantumkan, dan setiap laporan akan kami evaluasi," imbuhnya.

Menjawab pertanyaan terkait warga yang menolak iuran, Reza menegaskan bahwa iuran tersebut tidak bersifat memaksa. Namun demikian, ia mengingatkan agar masyarakat tidak menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk membuang sampah sembarangan.

"Kalau tidak sepakat, ya boleh tidak dibayar, tidak bisa dipaksa. Tapi jangan sampai karena itu masyarakat jadi buang sampah sembarangan. Ini demi kenyamanan bersama. Kami berharap masyarakat tetap mau membayar iuran sampah agar sampah tidak lagi menumpuk seperti sebelumnya," pungkasnya. (*)

Tags : iuran sampah, pungutan sampah, pekanbaru, lembaga pengelola sampah, lps, lps pungut iuran sampah, pungutan tanpa dasar hukum bisa pidana,