News   2024/05/11 9:6 WIB

Warga Mulai 'Menjerit' Kepanasan, 'karena ada Pergeseran Jangka Panjang di Perubahan Iklim'

Warga Mulai 'Menjerit' Kepanasan, 'karena ada Pergeseran Jangka Panjang di Perubahan Iklim'

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Suhu panas dan gerah yang terjadi di Kota Pekanbaru, Riau beberapa hari terakhir membuat beberapa warganet “menjerit” kepanasan.

Menurut beberapa akun yang terbaca, suhu panas yang terjadi di Kota Pekanbaru sudah seperti di Arab Saudi.

Tak sedikit pula warganet yang mengunggah tangkapan layar temperatur udara ponsel di Pekanbaru pada Jumat berada di kisaran 30-31 derajat Celsius pada siang hari.

“Pekanbaru panas pisan walaupun ingin santai,” kata akun @orelhc.

Lantas, apa yang menyebabkan suhu di Pekanbaru semakin panas?

Penjelasan BMKG Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru, Fitri menyebutkan, beberapa hari belakangan masyarakat Kota Pekanbaru memnag mengeluhkan panasnya suhu pada siang hari.

Suasana pada siang hari di ibukota Riau memang sangat terik.

Awan juga tampak tidak terlalu banyak sehingga sinar matahari langsung dipancarkan ke permukaan bumi.

Forecaster on Duty BMKG Pekanbaru Fitri mengatakan, ada beberapa penyebab suhu panas di Kota Pekanbaru beberapa hari belakangan ini.

"Untuk suhu udara yang cukup tinggi akhir-akhir ini dikarenakan saat ini bulan Maret, matahari berada di ekuator diikuti dengan perubahan pola angin," ujar Fitri, Selasa (29/3).

Selain itu juga Provinsi Riau saat ini tengah memasuki masa peralihan dengan kecenderungan penurunan intensitas curah hujan.

"Untuk siang ini suhu di Kota Pekanbaru mencapai 33.8 hingga 34.0 derajat Celcius," sebutnya.

Disinggung terkait sampai kapan kondisi panas ini terjadi di Kota Pekanbaru, Fitri mengatakan perkiraan di pertengahan April mulai hujan.

"Apabila tidak ada gangguan atmosfer maka pertengahan April hujan akan mulai turun," pungkasnya.

Ia menjelaskan posisi Matahari yang berada tak jauh dari ekuator yang sedang berada di Belahan Bumi Utara (BBU) menyebabkan wilayah di ekuator mendapatkan penyinaran Matahari yang maksimum.

Hal tersebut menyebabkan suhu udara yang terdapat di wilayah Indonesia termasuk Pekanbaru, Riau terasa lebih panas daripada biasanya.

Selain itu, fenomena udara panas belakangan ini jika ditinjau secara karakteristik suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia, disebabkan karena fenomena gerak semu Matahari, yaitu suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun.

“Terlebih potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya,” jelas Fitri.

Peralihan ke musim kemarau Fitri menjelaskan bahwa pada awal Mei atau dasarian I merupakan periode peralihan musim dari hujan ke kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia.

Karena alasan itulah masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem, seperti hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat atau petir dan angin kencang, angin puting beliung, dan fenomena hujan es Rahayu menerangkan, salah satu ciri masa peralihan musim adalah pola hujan yang biasa terjadi pada sore hingga menjelang malam hari dengan didahului udara hangat dan terik pada pagi hingga siang hari.

“Hal ini terjadi karena radiasi Matahari yang diterima pada pagi hingga siang hari cukup besar dan memicu proses konveksi (pengangkatan massa udara) dari permukaan Bumi ke atmosfer sehingga memicu terbentuknya awan,” ujarnya.

Ia menambahkan, karakteristik hujan pada periode peralihan cenderung tidak merata dengan intensitas sedang hingga lebat dalam durasi singkat.

Apabila kondisi atmosfer menjadi labil atau tidak stabil, potensi pembentukan awan konvektif seperti awan Cumulonimbus (CB) akan meningkat.

Awan CB, lanjutnya, erat kaitannya dengan potensi kilat atau petir, angin kencang, puting beliung, bahkan hujan es.

Aktivitas manusia telah menyebabkan peningkatan suhu bumi. Konseksuensinya adalah kejadian gelombang panas yang lebih intens, dan naiknya permukaan air laut.

Keadaan ini akan terus semakin buruk dalam beberapa dekade mendatang, tapi para ilmuwan berpendapat dampak terburuk dari perubahan iklim bisa diminimalisir dengan mengambil tindakan sesegera mungkin.

Apa itu perubahan iklim?

Perubahan iklim adalah pergeseran jangka panjang pada suhu rata-rata bumi dan kondisi cuaca.

Dalam puluhan tahun terakhir, suhu bumi rata-rata lebih hangat sekitar 1,2C dibandingkan pada akhir abad ke-19.

Sekarang telah dikonfirmasi bahwa pemanasan global telah melebihi 1,5C selama periode 12 bulan antara Februari 2023 hingga Januari 2024. Hal ini menyebabkan tahun 2023 dinyatakan sebagai tahun terpanas dalam catatan sejarah.

Bagaimana manusia bisa menyebabkan perubahan iklim?

Iklim telah berubah sepanjang sejarah Bumi. Faktor alam seperti El Nino, dapat memengaruhi cuaca dalam jangka waktu yang lebih pendek, seperti yang terjadi pada tahun 2023.

Namun, badan iklim PBB, IPCC mengatakan pemanasan bumi yang sangat cepat dalam kurun waktu satu abad ini bukan dikarenakan sesuatu yang alamiah.

Menurut IPCC, perubahan iklim jangka panjang ini disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama karena meluasnya penggunaan bahan bakar fosil – batu bara, minyak, dan gas – di rumah-rumah, pabrik-pabrik, dan transportasi.

Ketika bahan bakar fosil terbakar, mereka melepaskan gas rumah kaca – sebagian besar karbon dioksida (CO2).

Zat asam arang yang terbang ke langit ini menjadi perangkap energi ekstra di atmosfer bagian terdekat permukaan bumi, menyebabkan planet ini panas.

Sejak dimulainya Revolusi Industri – ketika manusia mulai membakar bahan bakar fosil dalam jumlah besar – jumlah CO2 di atmosfer telah meningkat sekitar 50%.

CO2 yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar fosil memiliki jejak kimiawi yang khas – sesuai dengan jenis yang semakin banyak ditemukan di atmosfer.

Apa kerugian yang ditimbulkan dari perubahan iklim?

Peningkatan suhu rata-rata global sebesar 1,2C yang terlihat dalam dekade terakhir mungkin tidak banyak terdengar.

Bagaimanapun, hal ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan, termasuk:

  • Cuaca ekstrem yang lebih sering dan intens, seperti gelombang panas dan curah hujan yang tinggi.
  • Mencairnya gletser dan lapisan es dengan cepat, yang berkontribusi pada kenaikan permukaan laut.
  • Bongkahan es laut Arktik yang semakin turun.
  • Pemanasan laut
  • Kehidupan masyarakat juga berubah.

Sebagai contoh, beberapa bagian Afrika Timur mengalami kekeringan terburuk dalam 40 tahun terakhir, yang menyebabkan lebih dari 20 juta orang berisiko mengalami kelaparan parah.

Pada tahun 2022, gelombang panas di Eropa yang intens menyebabkan peningkatan kematian yang tidak normal.

Mengapa ambang batas 1,5C penting?

Semakin tinggi kenaikan suhu rata-rata bumi, semakin buruk dampak perubahan iklim.

Membatasi kenaikan suhu rata-rata jangka panjang hingga 1,5C sangat penting, menurut IPCC.

Ilmu pengetahuan belum sepenuhnya pasti, tetapi konsekuensi dari pemanasan global sudah pasti.

Berikut adalah perbandingan kenaikan suhu rata-rata bumi jika tidak dibatasi 1,5C atau angkanya menyentuh 2C:

  • Jika tembus 2C, maka suhu di wilayah garis lintang tengah rata-rata lebih hangat 4C (wilayah di luar kutub dan daerah tropis). Jika suhu global berada di angka 1,5C, maka suhu lebih hangat rata-rata 3C.
  • Kenaikan permukaan laut akan lebih tinggi 0,1 meter dibandingkan dengan 1,5C, yang akan menyebabkan 10 juta orang lebih rentan terhadap berbagai kejadian, termasuk banjir yang lebih sering terjadi.
  • Jika suhu global tembus 2C, maka lebih dari 99% terumbu karang akan hilang, dibandingkan dengan 70-90% pada suhu 1,5C.
  • Dua kali lipat jumlah tanaman dan vertebrata (hewan bertulang belakang) akan terpapar pada kondisi iklim yang tidak sesuai di lebih dari separuh wilayah geografis tempat mereka ditemukan.
  • Beberapa ratus juta orang akan terpapar risiko terkait iklim dan rentan terhadap kemiskinan pada tahun 2050 dibandingkan dengan kondisi 1,5C.
  • Seruan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5C sebagian dirancang untuk menghindari apa yang disebut sebagai "titik kritis".

Setelah ambang batas ini terlewati, perubahan dapat semakin cepat dan tidak dapat dipulihkan, seperti runtuhnya lapisan es di Greenland. Namun, tidak jelas di mana tepatnya titik ambang batas ini berada.

Sekitar 3,3 hingga 3,6 miliar orang sangat rentan terhadap perubahan iklim, menurut IPCC.

Orang-orang yang tinggal di negara-negara miskin diperkirakan akan paling menderita karena mereka memiliki lebih sedikit sumber daya untuk beradaptasi.

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan, karena negara-negara ini biasanya hanya bertanggung jawab atas sebagian kecil emisi gas rumah kaca.

Namun, dampaknya dapat dirasakan di wilayah yang lebih luas. Sebagai contoh, kegagalan panen akibat cuaca ekstrem dapat meningkatkan harga pangan global.

Apa yang dilakukan pemerintah negara-negara terhadap perubahan iklim?

Dalam perjanjian penting yang ditandatangani di Paris pada 2015, hampir 200 negara berjanji untuk menjaga pemanasan global di tingkat 1,5C.

Untuk meraih target ini, "bebas" emisi CO2 harus dicapai pada tahun 2050.

Bebas emisi karbon berarti mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak mungkin, dan menghilangkan emisi yang tersisa dari atmosfer.

Sebagian besar negara telah, atau sedang mempertimbangkan, target bebas emisi karbon. Namun, tingkat gas rumah kaca masih meningkat dengan cepat, dan dunia "kemungkinan besar" akan memanas melebihi 1,5C, kata IPCC.

Namun, ada kemajuan di beberapa bidang seperti pertumbuhan energi terbarukan dan kendaraan listrik.

Para pemimpin dunia bertemu setiap tahun untuk membahas komitmen iklim mereka.

KTT perubahan iklim PBB yang terbaru, COP28, diadakan di Uni Emirat Arab. Untuk pertama kalinya, negara-negara setuju untuk "berkontribusi" dalam "transisi dari bahan bakar fosil", meskipun tidak ada paksaan bagi mereka untuk mengambil tindakan.

Konferensi berikutnya, COP29, akan diselenggarakan di Azerbaijan pada bulan November 2024.

Apa yang dapat dilakukan saat menghadapi perubahan iklim?

Langkah perubahan besar perlu dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan, tetapi setiap orang juga dapat berkontribusi terhadap kenaikan suhu global:

  • Kurangi perjalanan dengan penerbangan
  • Hemat energi listrik
  • Lebih banyak beraktivitas di rumah demi efisiensi energi
  • Beralih ke kendaraan listrik atau hidup tanpa mobil
  • Mengganti pemanas sentral gas dengan sistem listrik seperti pompa panas
  • Makan lebih sedikit daging merah

(*)

Tags : Perubahan iklim, Kesehatan, Lingkungan, Alam, Sains ,