
"Persoalan lahan tak kunjung usai di negeri ini, tumpang tindih lahan antara ruang hidup warga dan izin perusahaan terus terjadi"
engketa lahan antara warga dengan perusahaan PT Nusa Wana Raya (NWR) di Pelalawan, Riau, sempat mencuat kepermukaan. Minta bantuan ke Presiden (masa dijabat Joko Widodo) penyelesaiannya pun tidak membuahkan hasil.
Tetapi Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) menilai ini lebih disebabkan akibat kurangnya pengawasan.
Warga minta bantuan Presiden (pemerintah pusat) harus turun karena sengketa lahan antara warga dengan warga PT Peputra Supra Jaya (PSJ) dengan PT NWR berada dalam kawasan hutan.
"Saya dengar bahwa, Presiden Jokowi (waktu itu) akan menurunkan tim untuk masalah konflik di Gondai, Pelalawan. Menteri LHK juga harus turun tangan karena lahan yang diperebutkan masuk dalam kasawan hutan. Jadi perlu campur tangan negara," kata Ketua Umum DPN INPEST, Ir Marganda Simamora SH M.Si menyikapinya tadi ini Jumat (6/3/2025).
Dia menilai keterlibatan negara juga didasari keluarnya surat SKGR (Surat Keterangan Ganti Rugi) yang dimiliki warga.
Ia menilai keluarnya SKGR adalah bukti bahwa lahan tersebut diakui negara terkait kepemilikannya.
"Jika ada SKGR, berarti ada alas dasar kepemilikan lahan disana. Terlebih lagi jika ada jual beli misalnya, berartikan ada kerugian yang dimunculkan di sana," kata Ganda Mora (sebutan nama sehari-harinya) itu.
Menurutnya, pemerintah harus mendudukan siapa yang berhak dalam konflik lahan jangan sampai berkepanjangan. Dimana dalam putusan belakangan ini, Mahkamah Agung (MA) menyatakan eksekusi kebun sawit di Pangkalan Gondai tidak sah.
Warga petani lahan plasma di Kabupaten Pelalawan berusaha menghadap petugas yang melakukan eksekusi lahan.
"Meski ada putusan, perebutan lahan masih terus terjadi. Terakhir tiga warga juga sempat ditangkap polisi karena diduga sebagai provokator saat eksekusi."
Sementara luas areal kebun sawit yang akan dieksekusi 3.323 hektar. Sebanyak 2.000 hektar sudah dieksekusi pada tahun 2020. Tetapi warga terus melakukan perlawanan termasuk melakukan jalur hukum.
Lahan yang sudah dieksekusi kini ditanami kayu akasia oleh PT NWR.
Persoalan lahan tak kunjung usai di negeri bumi melayu itu, berupa masih terjadinya tumpang tindih lahan antara ruang hidup warga dan izin perusahaan terus terjadi, salah satu di Rantau Kasih, Kabupaten Kampar, Riau.
'Warga di tipu muslihat'
Para perempuan adat Rantau Kasih, bertahan di tenda untuk menghalang alat berat perusahaan kayu PT Nusa Wana Raya (NWR) merobohkan tanaman mereka pada 16 Agustus lalu.
Terutama perempuan, anak-anak maupun lansia, hampir satu minggu berada di bawah tenda. Mereka bertahan.
Para laki-laki bolak-balik menyediakan konsumsi dan segala kebutuhan. Mereka turut memantau dan berjaga di luar tenda.
Beberapa malam hujan sempat mengguyur tenda dan orang-orang di dalam tidak bisa tidur karena kebasahan.
“Kami bersatu demi memperjuangkan tanah nenek moyang kami. Sebagai penduduk asli di sini, kami ingin hak-hak kami dikembalikan. Demi masa depan anak-anak kami,” kata Safitri, perempuan adat Rantau Kasih saat ditemui di dalam tenda, 20 Agustus lalu.
"Tolong pada pemerintah, pedulilah pada kami masyarakat kecil. Kami tidak ingin kaya. Hanya sekadar untuk pendidikan anak-anak kami," keluh Safitri.
Dia minta pemutihan lahan setelah mengetahui kebun sampai pemukiman berada dalam konsesi NWR. Suami mereka sudah berkali-kali berunding dengan perusahaan.
Alat berat justru masuk dan bekerja membuka lahan. Karena itu, dia dan perempuan lain berinisiatif berhadapan langsung untuk menghindari kontak fisik antara suami mereka dan pekerja NWR di lapangan.
“Kami tidak ingin ada kriminalisasi. Biarlah kami yang berjuang. Berusaha biar tanah kami kembali,” kata Safitri.
Maryati, perempuan lain, mengatakan, sekitar empat hektar kebun karet telah tumbang oleh alat berat perusahaan. Pohon-pohon karet itu sudah belasan tahun dikelola.
Dia yang menebas dan membersihkan lahan dengan manual bersama suami dan anak tertuanya. Mereka mengangkut bibit karet dengan gerobok dari rumah ke lahan.
“Tak ada masalah dengan siapa pun waktu awal-awal kami berkebun,” kenang Maryati yang hampir kehabisan suara gara-gara meneriaki operator alat berat agar ke luar dari lokasi.
Satu-satunya tantangan Maryati dan masyarakat Rantau Kasih lain saat berkebun hanya gajah. Sering dan banyak tanaman mereka rusak kala mamalia dilindungi itu melintas. Namun, katanya, hal itu hal biasa bagi mereka.
Berbeda dengan tantangan saat ini. Pohon-pohon karet tua milik masyarakat hampir habis tergusur perusahaan.
Safitri pun membandingkan pengalaman menghadapi gajah dan perusahaan. Gajah hanya mencomot tanaman, perusahaan selain tak hanya menumbang tanaman masyarakat juga merampas tanah mereka.
Pemukiman warga dari relokasi oleh pemerintah Rantau Kasih, Kabupaten Kampar, Riau.
“Hewan saja masih ingat pada masyarakat. Makan tanaman sekedarnya. Masih mau kita usir. Kalau perusahaan justru mengancam.”
Lahan Safitri belum terkena imbas atas pembukaan areal oleh alat berat NWR. Kebun karet masih jauh di seberang lokasi yang sudah dibersihkan dan ditanami akasia.
Dia merasa ikut terpanggil untuk berjuang bersama-sama masyarakat mempertahakan kebun.
Masa Humas NWR dijabat Cahyo yang kerap berada di lapangan, menepis tuduhan mengenai penggusuran pohon-pohon karet masyarakat.
Dia bilang, mereka hanya membersihkan semak belukar dan pohon-pohon karet di dalamnya yang tidak produktif, atau sudah dirusak gajah dan tidak pernah dideres masyarakat.
Mereka buka areal di situ karena bagian dari RKT NWR. “Kami tak ada menumbang karet yang masih dideres masyarakat,” ucap Cahyo.
Selain membersihkan areal kerja untuk tanaman baru, NWR juga menanam akasia di sela-sela tanaman sawit yang baru berbuah pasir.
Masyarakat melihat, pertumbuhan akasia itu sangat cepat. Satu bulan sejak ditanam tinggi sudah 40 cm.
Mereka perkirakan, delapan bulan ke depan bisa mencapai tiga meter. Perkembangan itu justru mengalahkan tanaman sawit warga. Ada juga satu hamparan sawit mati dini.
Kata Qodri, sekitar 14 batang sawit menghitam diduga karena kena racun. Sayangnya, tak ada satu orang pun yang lihat pelakunya. Sekitar lima sampai enam hektar kebun karet juga sudah tumbang, rata-rata usia lebih 20 tahun.
Saat ini, katanya, belum semua kebun kena imbas atas pembukaan areal kerja baru NWR. Mereka mewanti-wanti, alat berat akan kembali bekerja dan terus merayap ke lahan lain bahkan pemukiman.
Cahyo meyakinkan, alat berat mereka tak bekerja lagi sejak berseteru dengan masyarakat. Perusahaan, katanya, tidak ingin berhadapan apalagi melawan para perempuan.
Perihal akasia yang ditanam di sela-sela tanaman sawit milik masyarakat, katanya, tindakan itu tidak salah. Lahan itu merupakan kawasan hutan dan sesuai peruntukan tanaman pokok NWR, bukan sawit.
Qodri tetap mengungkapkan ketidakpercayaan pada NWR karena terlalu sering berbohong. Dalam pertemuan yang dimediasi Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejateraan Rakyat Setda Kampar, perusahaan pemasok akasia ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), itu sempat berjanji tidak akan mengganggu kebun masyarakat.
Kenyataan di lapangan justru berbeda. Semula alat berat memang membuka belukar, lambat laun merambah ke kebun sawit yang ditanami masyarakat. Sejak itulah ketenangan masyarakat jadi terusik.
Gara-gara itu juga, para perempuan di Rantau Kasih sempat hidup di tenda menjaga agar kebun turun-temurun yang mereka kelola tak kena alat berat perusahaan.
“NWR tak ada sosialisasi. Menyakitkan sekali. Sebaiknya, NWR sosialisasi RKT terlebih dahulu. Ada semacam ganti rugi atau kebijakan lain dari RKT yang dikeluarkan,” kata Qodri, via saluran telepon, 20 Agustus lalu.
Cahyo kembali menyangkal tuduhan itu. Jauh hari, NWR sudah memberitahu masyarakat lewat papan pengumuman maupun spanduk.
Spanduk yang dipasang warga sebagai bentuk protes kepada perusahaan yang mulai membersihkan kebun warga untuk tanam akasis.
Konflik antara PT.NWR dengan warga merupakan dampak yang terjadi akibat dugaan okupasi lahan kelapa sawit milik warga. Okupasi lahan itu dilakukan dengan melakukan stacking alat berat pada lokasi. Selain dugaan okupasi, PT.NWR diduga juga telah melakukan penanaman pohon akasia pada lahan tersebut.
Dia kerap mengingatkan masyarakat, terhadap areal kerja maupun izin perusahaan ketika menemukan masyarakat menggarap lahan di atasnya.
Selain itu, komunikasi formal juga sering dilakukan dengan pemerintahan desa setempat. Semua itu, katanya, hal teknis.
Ada penyelesaian?
Perempuan-perempuan Desa Rantau Kasih, Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kabupaten Kampar, Riau, akhirnya meninggalkan tenda, 21 Agustus lalu. Mereka kembali ke rumah masing-masing.
Hari itu, Kepala Seksi Pengaduan dan Kepala Seksi Penegakan Hukum, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau diutus masa Gubernur Riau dijabat Syamsuar menemui masyarakat.
Pemerintah berjanji menyelesaikan masalah lahan itu.
Sehari setelah peringatan HUT RI ke 76, Pemerintah Kampar telah merundingkan sengketa lahan itu. Hasilnya, pemerintah desa, kecamatan dan perusahaan akan mendata tanah-tanah yang dikuasai dan diolah masyarakat dalam rencana kerja tahunan (RKT) maupun izin NWR.
Teknis pelaksanaan dan tenggat waktu dibahas kemudian di Kantor Camat Kampar Kiri Hilir.
Rapat lanjutan inii diselenggarakan Selasa 24 Agustus. Selain camat, musyawarah ini juga dihadiri KPH Sorek, DLHK Riau, Polsek, perwakilan perusahaan, tokoh masyarakat dan ninik mamak Rantau Kasih.
Al Qodri Syam, Kepala Dusun Sei Belanti menyaksikan langsung, rapat siang itu sudah menunjukkan titik terang penyelesaian masalah.
Ditambah tanggapan pemerintahan provinsi dan tim yang diutus ke lapangan beberapa hari sebelumnya. Mereka menyepakati, terlebih dahulu akan verifikasi dan identifikasi masyarakat Rantau Kasih secara utuh terutama yang memiliki lahan di sana.
Pemerintah desa juga diminta menyiapkan segala administrasi kependudukan. Pendataan ini akan disesuaikan di lapangan.
Tim mengecek langsung ke lokasi. Saat ini, kata Qodri, penduduk di Rantau Kasih sekitar 600 jiwa dari lima dusun. Kemudian akan disesuaikan dengan kebutuhan seperti fasilitas umum, fasilitas sosial, pemukiman atau lain-lain karena semua itu berada dalam konsesi NWR, termasuk lahan-lahan kelola.
Dian Citra Dewi, Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa DLHK Riau, mengatakan, pemerintah akan mencari skema atau mekanisme tepat sesuai Undang-undang agar masyarakat dapat berkebun dan perusahaan terus melanjutkan kegiatan sesuai izin usaha yang dimiliki.
“Bahan mentah untuk verifikasi administrasi sudah diperoleh namun perlu disaring lagi sesuai batasan-batasan kepemilikan lahan. Akhir bulan ini akan pengecekan langsung,” katanya.
Pangkal masalah
Semula, Kampung Rantau Kasih berada di tepian Sungai Kampar Kiri. Karena sering terendam banjir kala sungai meluap, Pemerintah Kampar memindahkan masyarakat ke dataran lebih tinggi.
Berjarak sekitar 700 meter ke atas dari bibir sungai. Kala itu, tahun 2000, bersamaan dengan penetapan Rantau Kasih sebagai desa definitif. Sebelumnya, ia masuk bagian Desa Sungai Pagar.
Pemerintah menyediakan rumah dari kayu. Bentuk dan ukuran mirip tetapi tidak menyediakan lahan garapan seperti program transmigrasi.
Masyarakat Rantau Kasih tetap melanjutkan pengelolaan kebun turun menurun mereka. Kemudian, berangsur-angsur menebang hutan dan membuka lahan baru untuk beladang dan berkebun karet.
Berbekal bantuan bibit karet bagi masyarakat miskin dari Pemkab Kampar, berkebun jadi tantangan masyarakat karena harus berhadapan dengan gajah—yang memang daerah jelajahnya. Tanaman mereka, terutama karet, tak pernah dapat dinikmati sepenuhnya karena kerap diserang gajah.
Menurut Qadri, ketidakberdayaan masyarakat ketika menghadapi gajah juga karena kurang kompak saat memulai tanam. Jadi, gajah harus ditanggulangi sendiri-sendiri pemilik kebun.
Para perempuan dan anak-anak Rantau Kasih, berjuang di tenda untuk menjaga lahan mereka.
Solusinya, masyarakat terus menerus menyisip bibit-bibit karet baru pada bekas tanaman yang dirusak gajah. Hanya beberapa batang karet tersisa yang dapat dideres hingga saat ini.
Sampai akhirnya, masyarakat kompak dan berangsur-angsur beralih ke sawit.
Pertimbangannya, harga karet makin merosot, sawit diyakini lebih menjanjikan. Umur sawit saat ini rata-rata empat tahun dan sudah menuai hasil.
Selain berkebun, masyarakat Rantau Kasih juga masih menjalankan kearifan lokal dalam mencari ikan di sungai. Mereka mengenal sistem lelang suak atau danau-danau kecil di sekitaran Sungai Kampar Kiri.
Ikan-ikan di dalamnya hanya boleh diambil oleh satu orang pemenang lelang pada tahun itu. Pemenang wajib membayar uang lelang ke desa.
Model itu jadi penyumbang pendapatan asli desa (PAD) yang masih tetap berlangsung hingga saat ini, selain ponton sebagai alat penyeberangan sungai.
Agustus ini, mestinya lelang suak sudah diumumkan oleh tokoh masyarakat dan ninik mamak Rantau Kasih.
Gara-gara kekisruhan masalah lahan, agenda tahunan ini sedikit terganggu. Pasalnya, mereka sudah 20 tahun lebih bermukim dan mengelola kebun di sana, ternyata lahan itu sudah berizin.
Sebagai masyarakat yang tinggal di kampung tertua di Kampar Kiri dan pernah jadi bagian dari Kerajaan Gunung Sahilan, mereka tak pernah bayangkan, pemukiman hasil kebijakan relokasi pemerintah ternyata sudah pemerintah berikan izin kepada NWR.
NWR punya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHKHT) berdasarkan SK.241/Menhut-II/2007 seluas 26.880 hektar.
Hamparannya, terletak di Blok Pelalawan dan Blok Kampar. Berdasarkan RKT saat ini, luas areal kerja NWR sekitar 4.000 hektar untuk kedua blok. Perkampungan dan pemukiman Rantau Kasih masuk dalam RKT.
Cahyo bilang, di blok Pelalawan sudah dibersihkan semua untuk persiapan tanam akasia baru. Blok Kampar hanya dapat dibuka dan dibersihkan sekitar 150 hektar, gara-gara masalah tumpang tindih RKT dengan pemukiman masyarakat yang berujung keributan.
“Cuman, kami memang tidak akan mengerjakan di perumahan-perumahan masyarakat itu.”
Kebijakan pemerintah daerah dan pusat ini menjadi dilema tersendiri bagi Qodri. Menurut dia, satu sisi Pemerintah Kampar menunjukkan perhatian terhadap masyarakat yang kerap tedampak banjir. Sisi lain, pemerintah pusat menetapkan areal yang mereka tempati dan olah sebagai areal kerja perusahaan.
Qodri hanya meminta pada pemerintah, supaya memikirkan kesejahteraan masyarakat yang secara ekonomi jauh dari sejahtera. Tambah susah lagi, ketika berkebun tergusur.
“Pemerintah mesti tinjau ulang kebijakannya. Kalau ada pemukiman harus dipikirkan perkembangan ekonominya, termasuk wilayah pertanian dan perkebunan sebagai sumber mata pencarian.”
Tangkas Marisi H, Kasubbag Administrasi Kewilayahan Kampar, mengakui pemukiman masyarakat berada dalam kawasan hutan termasuk konsesi NWR.
Saat pemindahan, pemerintah daerah merujuk pada peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) juga belum ada paduserasi hingga belum teridentifikasi sebagai konsesi NWR.
Pemerintah Kampar tengah menyelesaikan persoalan masa lampau ini, mengikuti skema penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan atau PPTKH.
Masyarakat melalui pemerintah desa diminta mengusulkan. Sekarang, pemerintah kabupaten dalam tahap pemetaan sebagai satu syarat diajukan ke Tim PPTKH provinsi.
Sejauh ini Muller Tampubolon yang dihubungi lewat sarana elektronik Whats App (WA) nya, pada Jumat 6 Maret 2025 ini belum bisa menjelaskan duduk perkara itu. Ia hanya berujar hubungi Humas NWR yang sekarang dijabat Abdul Hadi.
'Izin kehutanan sangat minim'
Konflik berkepanjangan antara PT Peputra Supra Jaya (PSJ) dan PT Nusa Wana Raya (NWR) terkait lahan sawit yang berada di Desa Pangkalan Gondai, Langgam, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau dinilai INPEST Ganda Mora akibat kurangnya pengawasan dari pemerintah setempat.
"Dalam kasus lahan di Gondai izin kehutanan yang dikeluarkan pemerintah masih kurang dan sangat minim aspek sosial yuridis. Baik itu berupa HPH, HTI, bahkan juga HGU," kata dia.
"Kelalaian pihak pemegang konsesi kenapa setelah umur sawit puluhan tahun baru ada permasalahan, seharusnya dari awal, dan kami juga menilai pihak bapak angkat koperasi sengaja membangun kebun peruntukan masyarakat justru di bangun di atas hutan produksi NWR yang belakangan menggugat direktur perusahaan Peputra Supra Jaya dan eksekusi lahan masyarakat dan sebagian lagi masih tahap eksekusi berikutnya. Artinya kesalahan tersebut melibatkan semua pihak, seperti kepala desa, bapak angkat dan NWR sebagai pemegang izin konsesi, sehingga masalahnya harus diselesaikan melibatkan pemerintah pusat. Sebab pihak bapak angkat membangun kebun sawit di areal konsesi Hutan milik NWR," terangnya.
Selain itu, kata Aktivis Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) itu lagi, ada dua hal yang cukup krusial dalam pembangunan usaha hutan.
Bibit akasis mulai tanam di sekitar sawit
Di antaranya adalah kurangnya pengawasan visi kehutanan termasuk perencanaan hutan. Kemudian, benturan dengan masyarakat adat yang sudah bermukim di lahan yang diberi izin.
"Dua hal itulah yang menjadi faktor utama konflik agraria di Indonesia. Seperti halnya di Desa Gondai itu," kata Ganda Mora yang akrab selalu mondar mandir melaporkan perihal beberapa kasus korupsi dan perambahan lahan hutan di Riau ke Kejaksaan Agung dan KPK ini.
Menurut dia, kepala persukuan atau ninik mamak adat dapat menyatakan keberatan atas izin konsesi. Dengan alasan lahan yang hendak dibuka itu difungsikan sebagai keperluan umum, seperti pemakaman umum, padang ternak, pekarangan masjid dan sekolah atau bahkan artefak budaya dan hutan larangan.
"Ada 'win win solution' dari kedua belah pihak. Untuk anak kemenakan Batin Palubi dan Batin Sungai Serdang diberi areal pecadangan seluas 4.000 hektare. Dan batin pesukuan lainnya 1.000 hektare sesuai kesepakatan di Lembaga Adat Petalangan tahun 1998. Kemudian apakah ini disetujui pemerintah? Bagaimana kelanjutannya? Kok sekarang timbul konflik sehingga kebun sawit warga hendak dieksekusi?," katanya.
Dengan begitu, kata Ganda lagi, bahwa itu akibat dari lemahnya pengawasan pihak terkait.
Ia mengaku telah berkoordinasi dengan Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono terkait permasalahan ini.
"Kata Sekjen KLHK penyelesaian sawit rakyat dalam izin konsesi diatur dalam UU Cipta Kerja. Jadi tak bisa dieksekusi begitu saja. Saya juga sudah berkoordinasi dengan Deputi II Kantor Staf Presiden Bung Abetnego Tarigan. Intinya KSP minta penyelesaian konkret setelah penundaan eksekusi," demikian Ganda.
Jadi menurut Ganda Mora, terkait kasus ini warga sudah melakukan berbagai tindakan, baik melakukan laporan hingga demonstrasi terhadap perusahaan. Bahkan masyarakat mendesak penyelesaiannya sesuai komitmen baik dari perusahaan. Dimana tuntutan warga yakni meminta pengembalian lahan hingga saat ini belum ada kelanjutan mengenai kasus itu. (*)
Tags : konflik agraria, konflik lahan, kasus tanah perhutanan sosial, sengketa lahan, riau, pt nusa wana raya, konflik lahan warga dengan pt nusa wana raya,