Artikel   2025/11/07 17:53 WIB

Waspada Fenomena Gen Z Dikit-Dikit Chatting dengan AI

Waspada Fenomena Gen Z Dikit-Dikit Chatting dengan AI

GENERASI Z menempati urutan teratas dalam memanfaatkan artificial intelligence (Al).

Kecerdasan buatan atau (Al) kian lekat dimanfaatkan oleh generasi Z dalam membantu mengerjakan tugas kuliah, mencari ide kreatif, hingga sekadar mengobrol.

Hasil survei yang dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2025 mengungkap generasi Z menempati urutan teratas dalam memanfaatkan Al yaitu sebesar 43,7 persen, disusul dengan milenial sebesar 22,3 persen.

Angka tersebut menunjukkan Al telah menjadi bagian tersendiri bagi generasi muda di Indonesia. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan Al, ada kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan Al yang kian masif.

Guru Besar UGM dan pakar rekayasa perangkat lunak, Prof Ridi Ferdiana, menilai meningkatnya penggunaan Al di kalangan anak muda merupakan suatu keniscayaan bagi generasi yang tumbuh di lingkungan digital tersebut.

Menurutnya, salah satu bentuk disrupsi terbesar bukan hanya kemunculan Al secara umum, tetapi hadirnya generative Al yang mengubah cara berpikir generasi muda.

"Generasi Z itu lahir sebagai digital native, sudah dimanjakan teknologi sejak kecil. Generative Al sekarang menjadi bentuk disrupsi terbesar yang mengubah cara berpikir dan hidup mereka," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Jumat (7/11/2025).

Prof Ridi memperkirakan, ke depannya pengguna Al di kalangan anak muda terus meningkat, terlebih kombinasi antara generasi milenial dan generasi Z yang disebut masuk ke dalam 77 persen pengguna aktif Al. la memberi contoh, di lingkungan UGM, dari total 60 ribu mahasiswa, sebanyak 45 ribu diantaranya telah menggunakan Al dalam aktivitas keseharian maupun dalam aktivitas akademik.

"Misal katakanlah UGM, dari 60 ribu mahasiswa, kira-kira 45 ribu sudah memakai teknologi ini. Saya perkirakan pada 2030, adopsinya bisa mencapai 100 persen," kata dia.

Prof Ridi menilai, penggunaan Al dari sisi positif dapat memberi perubahan bagi cara belajar dan mengembangkan kreativitas generasi muda.

Terlebih adanya teknologi generative Al yang dapat menjadi teman belajar dalam memahami konsep, bukan sekadar memberi jawaban instan.

"Contohnya pada Gemini Al yang memiliki fitur guided learning yang akan mengajari kita dan melakukan deep research, sehingga membantu kita menganalisis jawaban lebih dalam. Tidak sebatas menerima jawaban mentah-mentah," kata dia.

Namun demikian, penggunaan Al secara berlebih tanpa adanya verifikasi dalam menerima informasi dapat memberikan ketergantungan, ia menyebut fenomena ini sebagai DDA atau "dikit-dikit Al".

Banyak anak muda sekarang yang menggunakan Al di segala aktivitasnya, sehingga berdampak pada fenomena underload yang membuat berkurangnya kemampuan otak dalam berpikir.

Hal ini dapat berisiko pada penurunan kemampuan berpikir kritis, daya ingat, serta terjadi efek brain rot karena otak jarang diasah.

"Jadi critical thinking dan aspek memorize menurun, makanya yang paling gawat terjadi efek brain rot terjadi karena malas mikir dan dikit-dikit jadi tanya ke Al," kata dia.

Menurutnya, setiap generasi memiliki pola adaptasi yang berbeda dalam menghadapi teknologi, khususnya pada perkembangan Al saat ini.

la menyebut, generasi X dan baby boomers sebagai digital immigrant yang belum memiliki kapasitas menyeluruh dalam mengadaptasi Al serta cenderung memandang Al hanya sebatas pada alat bantu kerja.

Sementara itu, bagi generasi Z memandang Al sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari.

Di sisi lain, generasi milenial berada di posisi tengah yang hampir mirip dengan generasi Z, tetapi seperempat hidupnya dijalankan menggunakan bantuan teknologi.

"Generasi X dan baby boomers saat ini bukan ada di tahap produktif lagi, melainkan ada di tahap lebih banyak bersosialisasi dan berempati. Sehingga penggunaan Al hanya sebatas tools saja seperti halnya Microsoft Word atau Excel, namun bagi generasi Z dan milenial, hal ini sudah menjadi disruption yang mengubah kehidupan," kata Prof Ridi.

la menyebut, perkembangan teknologi Al telah menyebabkan adanya pergeseran perilaku antargenerasi.

Saat ini generasi muda sudah tidak lagi mengandalkan search engine untuk menemukan jawaban, melainkan banyak yang beralih pada Al.

Hal ini tídak hanya sebatas pada adanya pergeseran teknologi, tapi sudah mengalami pergeseran budaya yang mengubah cara generasi muda dalam menjalankan aktivitasnya.

Prof Ridi menekankan generasi muda perlu bijak dalam menggunakan Al agar tidak sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi.

la memperkenalkan konsep ERA, singkatan dari Esensial, Rating dan Applicable yang merupakan tiga prinsip penting sebagai pedoman etika dan literasi digital generasi muda.

Tiga konsep ERA ini mencakup Esensial yang menekankan dalam mencari pengetahuan dasar harus tetap menggunakan buku sebagai sumber acuan ilmiah, bukan langsung menggunakan Al. Selanjutnya ada

Rating yaitu perlunya berpikir secara kritis dalam mempertimbangkan keputusan, baru memanfaatkan Al untuk bertanya tentang opini dari keputusan tersebut. Hal ini diperlukan demi menjaga kemampuan analisis dan memilah keputusan dari diri sendiri.

Lalu terakhir Applicable yang memanfaatkan Al sebagai alat bantu dalam memperbaiki dan menyelesaikan tugas, namun dengan catatan bahwa tahapan Esensial dan Rating sudah dipahami dengan baik.

Dengan memanfaatkan ketiga pendekatan ini, Ridi berharap Al dapat digunakan secara bijak, sehingga generasi muda dapat tetap menjaga kemampuan berpikir kritis di era gempuran teknologi digital saat ini.

"Dari situ kíta menjadikan generative Al sebatas partner kita, bukan menggantikan peran kita untuk menyelesaikan permasalahan secara penuh. Itulah mengapa pentingnya penerapan konsep ERA ini di dunia digital seperti saat ini," kata Prof Ridi. (*)

Tags : Kecerdasan Buatan, Generasi Z, Penggunaan AI, Teknologi Generative AI, Dampak AI, Digital Native Kreativitas, Mahasiswa, Pembelajaran dengan AI, Survei Pengguna AI, Disrupsi Teknologi,