JAKARTA - Diliputi rasa rindu dengan rumah dan keluarga di Indonesia, David dan Joy mengaku frustasi menanti kabar kepulangan mereka setelah menjadi korban perdagangan orang di Myanmar.
Hampir sembilan bulan lalu, pasangan suami istri ini berhasil melepaskan diri dari perusahaan yang mempekerjakan mereka di Myanmar sebagai operator penipuan daring dengan modus asmara.
Tetapi sejak saat itu pula, keduanya tertahan di tempat penampungan khusus di Chiang Rai, Thailand.
"Kami pernah nanya, 'Kami harus menunggu berapa tahun lagi untuk pulang? Satu atau dua tahun lagi?' Tapi selalu dijawab 'Oh nggak selama itu, paling satu bulan lagi'. Tapi ucapan itu diulang selama berbulan-bulan sampai kami sudah capek," kata David, Kamis (13/7).
Yang membuat David merasa diperlakukan "tidak adil" adalah ketika dia mengetahui bahwa korban-korban tindak pidana perdagangan orang lainnya bisa dipulangkan ke Indonesia hanya dalam kurun dua minggu sejak dibebaskan.
Menurutnya, respons cepat itu muncul setelah kasus 20 korban WNI yang dipekerjakan di Myanmar viral di media sosial pada pertengahan April lalu.
Ke-20 WNI itu kemudian dibebaskan oleh pemerintah Indonesia dari wilayah konflik Myawaddy di Myanmar.
Kasus itu menjadi awal evakuasi dan penyelamatan WNI korban TPPO lainnya yang dia sebut "berjalan cepat" melalui Mekanisme Rujukan Nasional (NRM), yakni mekanisme koordinasi otoritas antar-negara untuk mengidentifikasi, merujuk, dan membantu korban perdagangan orang.
Di tempat berbeda pada Kamis (13/07), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa ada 1.943 korban TPPO yang telah diselamatkan pemerintah dalam kurun 5 Juni - 5 Juli 2023.
Tetapi respons cepat itu tak berlaku bagi David dan Joy.
“Rasanya nggak fair gitu lho. Kenapa yang lain bisa diberlakukan langkah itu, tapi kami tidak? Kami sudah cukup bersabar, sudah mau masuk sembilan bulan menunggu, sementara yang lain bisa pulang dalam waktu dua minggu,” kata David.
Ada satu alasan signifikan yang membuat David tak bisa pulang hingga saat ini, yang oleh KBRI Bangkok disebut sebagai "kasus berbeda". David masih berstatus sebagai buron oleh Kejaksaan Agung Thailand.
David awalnya bekerja di perusahaan di wilayah Tachileik, Myanmar. Namun karena "ada cekcok antara bos", dia hendak dijual ke perusahaan lain di KK Park yang berlokasi di Myawaddy Myanmar.
Untuk pindah, mereka harus melintasi perbatasan Thailand. Saat itulah mereka tertangkap oleh petugas imigrasi dan dipenjara selama 12 hari. Kasus penangkapan inilah yang masih mengganjal David dan Joy hingga kini.
Mereka telah berulang kali menanyakan kelanjutan proses pencabutan kasus ini kepada KBRI, namun David mengaku belum ada hasil.
“Prosesnya itu bertele-tele. Estimasi waktu enggak pernah dikasih. Selalu dijawabnya, ‘Kami tidak tahu, semua tergantung dari kebijakan pemerintah Thailand, kami tidak bisa ikut campur' dan bahwa itu di luar yuridiksi KBRI,” kata David.
“Mereka selalu bilang, 'yang sudah pulang itu berbeda dengan kasus kalian’. Kami selalu dibedakan karena ada kasus dengan keimigrasian dan polisi. Padahal kasus itu terjadi juga karena kami diculik ke situ, bukan kami yang mau. Kami sudah jadi korban kenapa prosesnya nggak bisa cepat?” sambungnya.
Bagi David, situasi ini melambangkan lambatnya otoritas di negara-negara ASEAN dalam menangani korban perdagangan orang.
Dia mengaku pernah melapor ke KBRI untuk meminta dievakuasi ketika masih terjebak di Myawaddy. Namun, menurutnya, KBRI mengatakan tak bisa menjemput mereka karena “berada di zona konflik Myanmar”.
“Tapi kenapa korban-korban yang lain bisa? Padahal waktu kami ngomong ke KBRI mereka bilang, ‘Presiden pun enggak bisa jemput kalian’. Begitu viral yang kasus lain, kami kaget kok bisa dijemput?” kata David.
“Kami ini bukti nyata telatnya respons mereka. Begitu ada kasus yang viral, baru responsnya cepat banget. Sementara kasus kami ini kan nggak viral,” tutur David.
Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Mei lalu sempat menyatakan bahwa kasus perdagangan manusia untuk penipuan online yang ditangani Indonesia pada tiga tahun terakhir.
Negara lain di kawasan ASEAN juga menghadapi situasi serupa. Filipina, pada Mei, menyelamatkan lebih dari 1.000 korban perdagangan orang dari 10 negara, termasuk 143 orang Indonesia.
Situasi itu lalu direspons dengan mendeklarasikan “perang terhadap perdagangan orang akibat penyalahgunaan teknologi” pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Labuan Bajo yang digelar pada 11 Mei 2023.
Deklarasi itu mencakup kesepakatan untuk memperkuat kerja sama pemberantasan perdagangan manusia.
Pada pertemuan Menlu ASEAN ke-56 yang berlangsung di Jakarta dari 11 Juli hingga 14 Juli 2023, banyak pihak mengingatkan agar ASEAN tidak boleh melupakan agenda tersebut.
Bagi korban seperti David, ASEAN diharapkan mendorong langkah konkret yang efektif untuk menangani korban sekaligus mencegah lebih banyak orang menjadi korban.
“Jangan cuma di atas kertas doang, tapi nggak ada pergerakannya. Cegah juga orang lain jangan sampai tergiur dan menjadi korban seperti kami,” kata David.
Terkait upaya mengatasi isu ini, Menkopolhukam Mahfud MD menyerukan agar negara-negara ASEAN harus bersatu.
“Indonesia akan terus mengajak negara-negara ASEAN untuk memperkuat pemberantasan TPPO melalui kerja sama aparat penegak hukum,” kata Mahfud pada media, Kamis (13/7).
Banyak korban mulanya tergiur dengan iming-iming gaji besar untuk bekerja di “perusahaan teknologi” atau “perusahaan investasi” lewat iklan-iklan yang dipasarkan di media sosial dan situs daring.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, terpuruknya ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan konflik di Myanmar turut memengaruhi eskalasi kasus perdagangan orang di ASEAN.
Pandemi, kata dia, mengakumulasi pekerja migran yang gagal berangkat akibat pembatasan aktivitas yang ketat.
Mereka kemudian terjebak dalam jaringan sindikat perdagangan orang ke tujuan konvensional seperti Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah, maupun ke titik-titik rawan untuk kejahatan digital seperti di wilayah Myanmar dan perbatasan Indo-China.
Kondisi ekonomi yang buruk saat pandemi juga menyebabkan tingginya angka pengangguran.
“Ini membuka ruang dan peluang bagi sindikat perdagangan orang untuk merekrut orang-orang untuk pekerjaan yang eksploitatif dan tidak layak, inilah yang menyebabkan eskalasi kasus perdagangan orang pada masa pandemi hingga saat ini,” jelas Wahyu.
Migrant Care juga menilai krisis Myanmar turut memengaruhi dinamika pergerakan pekerja migran.
“Beberapa wilayah di Myanmar itu menjadi tujuan perdagangan orang untuk dieksploitasi dan dipaksa bekerja sebagai operator scamming online atau judi online,” paparnya.
Bahkan rezim militer di Myanmar, mengacu pada pemaparan dalam sebuah forum, disebut “memiliki kontribusi kuat untuk berlangsungnya transaksi ekonomi ilegal”.
Migrant Care meminta Indonesia, yang sedang memegang keketuaan ASEAN pada 2023, untuk “proaktif” membahas agenda perlindungan pekerja migran.
Tren perdagangan orang untuk tujuan penipuan daring, menurut Wahyu, tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan konvensional seperti penjagaan perbatasan.
Selama ini, dia menyebut ASEAN sebetulnya sudah memiliki sejumlah modal terkait isu pekerja migran dan perdagangan orang. Antara lain lewat deklarasi Cebu tentang pekerja migran serta ASEAN Convention Againts Trafficking Person.
Namun konsensus itu disebut Wahyu “tidak dimanfaatkan secara maksimal”.
“Sekarang ini ASEAN lebih banyak seperti macan kertas, banyak dokumen dan komitmen tapi nggak jalan,” kata dia.
Dihubungi terpisah, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN, Yuyun Wahyuningrum, mengatakan konsensus yang ada sebelumnya belum mencakup tren baru soal perdagangan orang untuk tujuan penipuan daring.
Oleh sebab itu, dia mengingatkan deklarasi di Labuan Bajo harus ditindaklanjuti dengan rencana aksi yang konkret.
Misalnya melalui pembagian informasi antarnegara, kerja sama yang lebih intens antarpara penegak hukum, peningkatan kapasitas aparat, hingga membuat unit khusus untuk menangani kejahatan daring.
Persoalannya, kata Yuyun, modus kejahatan perdagangan orang berbasis teknologi ini berkembang sangat cepat tanpa terhalang perbatasan geografis.
Itu berbanding terbalik dengan otoritas negara yang harus menembus batas-batas itu lewat kerja sama yang sering kali juga tak mudah.
“Perlu juga untuk kerja sama dengan perusahaan-perusahaan media sosial misalnya karena ini kan tersebar melalui internet. Mereka bisa berpotensi membantu pemerintah melindungi calon korban tanpa terhalang border.
“Jadi penting melibatkan perusahaan-perusahaan ini dengan kekuatan yang mereka miliki, juga dengan membuat jejaring dengan masyarakat agar kalau ada hal-hal yang mencurigakan, bisa melapor,” kata Yuyun.
Bahkan kerja sama itu juga perlu melibatkan Beijing, mengingat banyak operator perusahaan-perusahaan itu berasal dari China.
“Indonesia harus bisa mengumpulkan negara-negara anggota untuk mulai mendiskusikan rencana aksinya sebelum terlambat,” pungkas Yuyun. (*)
Tags : pekerja migran, perdagangan orang, wni korban perdagangan orang, perdagangan manusia, kejahatan, asia tenggara,