Lingkungan   2020/02/13 10:10 WIB

Keganasan Industri Sawit Ilegal Jadi Sorotan

Keganasan Industri Sawit Ilegal Jadi Sorotan

LINGKUNGAN - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak menampik kondisi hutan di Riau terus terusik. Seperti Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kawasan itu sudah sekitar 82 ribu hektare kini 80 persen di antaranya menjadi kebun sawit ilegal.

Kira-kira yang terimbas ada 80 persen lah, jadi kebun sawit. Kemudian kita coba cluster, kita petakan. Nanti akan kita petakan masyarakat yang benar-benar untuk hidup, cluster untuk yang cukong-cukong, kata Direktur Gakkum KLHK Sustyo Iriyono usai Rapat Evaluasi Penanganan Konflik Berlatar Belakang Lahan dan Kehutanan di Riau, di Hotel Pangeran, Pekanbaru belum lama ini.

Untuk masyarakat, nanti akan ada skema sosial yang rencananya akan dikeluarkan dari kawasan taman nasional. Untuk cukong-cukong yang merambah kawasan taman, nanti dilakukan penegakan hukum. Didukung oleh banyak pihak koordinasi ke Menkopolhukam sudang konkret dalam rencana operasi. Operasi ini yang terutama yang untuk pendekatan hukum, begitu juga pendekatan sosial sudah ada kelembagaannya yang mengurusi yaitu di KLHK juga, yakni Dirjen PSKL dan Dirjen Panalogi, kata Sustyo.

Sustyo menjelaskan, pelaksaan operasi dengan skema pendekatan sosial dan hukum bisa singkron dalam pelaksanaannya di lapangan. Karena penegakan hukum terjadi, kalau dibiarkan lama juga akan percuma, katanya.

Operasi yang akan dilakukan, katanya, ada beberapa skema penyelesaian. Ada pendekatan kesejahteraan tanpa menghilangkan status taman nasional. Misalnya nih ya, untuk satu daur (usia pohon sawit) ada kewajiban untuk menanami tanaman hutan, suapa muncul hutannya itu. Tapi skema realnya kayak apa, sedangkan digodok, terutama yang di dalam kawasan, Sustyo.

Menurutnya, persoalan ini tidak hanya dikornya taman nasional, ada daerah-daerah penyanggahnya yang kondisinya juga sudah rusak. Jadi pendekatan hukumnya bisa di dalam kawasan bisa di luar juga. Karenakan terus itukan masih status kawasan hutan negara, perambahan-perambahan di luar juga dilakukan penegakan hukum. Pendekatan rakyat dengan cukung jelas berbeda, ujarnya.

Sementara Tim Pansus Monitoring Lahan DPRD Riau, berhasil menemukan lahan seluas 1,4 juta hektare yang dikelola oleh perusahaan besar diduga secara ilegal. Lahan itu menyebar di seluruh kabupaten kota di Provinsi Riau. Tim Pansus Monitoring Lahan dan Hutan meninjau lokasi lahan di sejumlah tempat di 12 kabupaten/kota. Hasilnya mengejutkan, lahan seluas 1,4 juta hektare dikelola dengan ilegal, kata Wakil Ketua DPRD Riau Asri Auzar, didepan Wartawan, Rabu (12/2).

Katanya, lahan itu sawit, banyak ditemukan merata di seluruh kabupaten se-Riau. Luasnya 1,4 juta hektare dikelola perusahaan (korporasi,red) secara ilegal. Dirinya besama tim Pansus telah meninjau lokasi selama kurang lebih 6 bulan. Hasil temuan di lapangan jauh berbeda dari yang diharapkan. Selain itu, efek dari perbuatan perusahaan tersebut, warga digandeng sebagai tameng di depan hukum untuk kepentingan pribadi perusahaan. Temuan yang kami dapatkan di lokasi lahan ilegal ini, atas banyaknya laporan dari warga yang masuk ke sini (DPRD,red). Karena warga yang dijadikan korban akibat perbuatan korporasi ini. Makanya kami tinjau lokasi, ujar Asri.

Menurutnya, penyebab maraknya perusahaan yang dengan berani menggarap lahan yang masuk dalam kawasan hutan tanpa izin resmi pihak terkait, Asri menilai kurangnya pengawasan penegak hukum dalam hal ini. Kami menilai kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh KLH, mereka yang berikan izin tapi tidak lantas terjun ke lapangan terkait perizinan ini. Miris sekali, yang menjadi korbannya adalah warga, kata Asri.

Setiap tahunnya pasti ada konflik lahan di Riau. Asri menegaskan, sebagai contoh yang nyata saat ini, kejadian di Desa Gondai Kabupaten Pelalawan, baru-baru ini. Terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), ya ini juga penyebabnya, tegas Asri.

Selain itu, temuan DPRD Riau telah dimonitoring ke tim khusus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan dalam pantaun Lembaga Anti Rasuah itu, kata Asri juga menemukan lahan yang dikelola secara ilegal dengan luasan 1,2 juta hektare. Antara kami (DPRD Riau,red) dengan KPK hampir sama menenukan lahan yang bermasalah. Ini lah yang terjadi di Riau antara perusahaan dengan perusahaan, dan dengan masyarakat, tutur Asri.

Asri menyebut pihaknya tidak bisa berbuat lebih jauh. Terlepas saat ini sebagai lembaga dewan, Asri mengatakan hanya dapat memberikan rekomendasi pada pihak yang berkompenten, yakni Tim Terpadu dalam hal ini Pemerintah Provinsi (Pempro) Riau.

Kerugian Negara

Adanya kebun sawit ilegal ini negara kehilangan nilai pajak Rp 34 triliun, kata Suhardiman Ambi, masa itu menjabat Ketua Pansus Monitoring Perizinan DPRD Riau. Menurutnya, luas perkebunan sawit di Riau mencapai 4,2 juta ha. Dari luas itu, 1,8 juta ha ilegal.

Dari luasan 1,8 juta, kita kehilangan pajak yang lumayan banyak, nilainya Rp 34 triliun. Kondisi perkebunan sawit ilegal ini dibiarkan terus-menerus tanpa ada tindakan apa pun dari pemerintah. Padahal perkebunan itu berdiri di atas lahan hutan negara yang dirampas, sebutnya.

Suhardiman menjabarkan, angka Rp 34 T tersebut dihitung dari PPN dan PPH. Padahal semestinya dana sebesar itu bisa dipungut negara setiap tahun. Ini belum hitungan pajak, PBB, PBHTB. Perkebunan ilegal ini bebas dari segala pajak yang mestinya mereka bayar ke negara, kata Suhardiman.

Menurut Ketua Pansus Monitoring Perizinan, perkebunan sawit ilegal tersebut berdiri di atas lahan milik negara. Perkebunan tersebut ada yang berada di kawasan taman nasional, hutan lindung, hutan suaka margasatwa, dan sejumlah lahan negara lainnya. Keberadaan perkebunan sawit ilegal ini sebagian sudah ada yang masuk masa replanting (penanaman ulang). Kalau sudah pernah replanting, itu artinya sudah berdiri 30 tahun perkebunan sawit tersebut, kata Suhardiman.

Dari tahun ke tahun, katanya, luas perkebunan ilegal tersebut terus bertambah. Padahal data sekitar 4 tahun sebelumnya, luas perkebunan sawit ilegal di Riau baru 1,3 juta ha. Jika pemerintah tidak serius menanggapi hasil temuan kami, maka hal ini akan terus menjadi preseden buruk ke depan. Pemilik pemodal akan terus merambah kawasan milik negara, tutup Suhardiman. (*)

Tags : -,