LINGKUNGAN - Sebanyak 11 Orangutan Sumatra (Pongo abelii) korban penyelundupan dipulangkan ke Indonesia pada akhir tahun lalu. Dua satwa hasil repatriasi dari Thailand dikirim ke Jambi. Sedangkan sembilan lainnya dari Malaysia diterbangkan ke Sumatera Utara.
Rombongan ini bukan yang terakhir. Saat ini ada tiga orangutan di luar negeri yang masih menunggu repatriasi. Akan tetapi, ketika pemerintah berupaya memulangkan satwa-satwa korban perdagangan, praktik perburuan dan penyelundupan satwa endemik terancam punah itu masih terus berlangsung. Adanya permintaan dan nilai fantastis yang dijanjikan serta lemahnya pengawasan jadi faktor penyebab. Sebanyak sembilan Orangutan Sumatra yang direpatriasi dari Malaysia akhir tahun lalu, masih menjalani rehabilitasi di Pusat Karantina Orangutan Sumatera, Deliserdang, Sumatera Utara.
Saat ini, tempat itu ditutup rapat-rapat kecuali petugas. Selain akses masuk, berbagai informasi lainnya juga tertutup. Termasuk jumlah total orangutan yang pernah menjalani karantina di tempat itu. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Indra Exploitasia, mengatakan, bahwa bayi-bayi orangutan itu dalam kondisi sehat. "Semua kondisi dalam keadaan baik. Yang berasal dari Malaysia ditempatkan di pusat rehabilitasi Batu Mbelin Sumatera Utara dan yang dari Thailand ditempatkan di pusat rehabilitasi orangutan Jambi," kata Indra.
"Saat ini tim medis akan melakukan evaluasi medis secara keseluruhan, sekaligus mengkaji keliaran orangutan sebelum keputusan dapat dilepasliarkan ke habitat alamnya," sambungnya.
Usia mereka rata-rata masih satu hingga dua tahun. Lima di antaranya berjenis kelamin betina dan empat berjenis kelamin jantan. Masing-masing bernama Unas, Shielda, Yaya, Ying, Mama Zila, Feng, Papa Zola, Payet dan Sai. Bobot mereka bervariasi, mulai dari 11 kilogram sampai 20 kilogram.
Indra Exploitasia mengatakan, masih terdapat tiga orangutan yang menunggu dipulangkan dari Thailand. "Ada tiga di Thailand. Menunggu proses hukum di sana selesai," kata Indra yang dirilis BBC News Indonesia. Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo, mengatakan kegiatan kartel perdagangan satwa internasional menyebabkan sejumlah orangutan asal Indonesia kini berada di luar negeri. "Kartel perdagangan satwa yang memang sudah cukup meresahkan banyak negara terutama Indonesia. Masih ada di Thailand, dan mungkin juga ada beberapa di Saudi Arabia atau Timur Tengah yang memang tidak mudah dilakukan repatriasi," kata Panut.
Diburu demi uang
Praktik perburuan orangutan hingga kini terus terjadi di Indonesia. Utamanya satwa tersebut dijadikan peliharaan atau hewan koleksi orang-orang dari kalangan 'berkantong tebal'. "Sebenarnya dari orang-orang dengan ekonomi yang lebih mapan yang berkeinginan untuk memelihara maupun memperdagangkan orangutan ini. Nilainya cukup fantastis," kata Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo.
Menurutnya, harga yang dipatok oleh para pemburu di tatanan bawah biasanya tidak begitu mahal. Namun nilainya akan melonjak 'fantastis' usai sampai di tangan pedagang. Hal itu diamini Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Eduward Hutapea. "Belum tentu juga yang menikmati nilai ekonominya ini orang-orang yang melakukan perburuan itu. Tapi bisa saja, nilai ekonomi yang lebih tinggi itu di orang-orang perantara. Namun begitu, ini masih butuh pembuktian," kata Eduward.
Eduward mengatakan bahwa nilai yang diperoleh para pemburu orangutan sebenarnya tidak sebanding dengan risiko hukumannya. Sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, siapa saja yang memelihara, memburu, memperjualbelikan dan menyelundupkan orangutan akan dikenakan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. "Mungkin bagi sebagian orang ini menggiurkan nilai transaksinya," kata Eduward.
Selain faktor ekonomi, praktik perburuan dan penyelundupan satwa langka endemik Pulau Sumatra tak lepas dari fakta bahwa jumlah sumber daya manusia yang dimiliki pemerintah untuk menjaga hutan terbilang minim. Padahal, hutan yang mesti dijaga cukup luas. Surat Keputusan Nomor 8088/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018. Keputusan itu menetapkan total kawasan hutan seluas 3.009.212,24 hektare. Sedangkan hutan lindung ditetapkan seluas 1.199.236,17 hektare serta kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam seluas 421.150,85 hektare. "Ini menjadi catatan saja bahwa penting untuk memberi perhatian khusus terhadap perdagangan satwa ilegal ini oleh aparat dan pemangku kebijakan. Jadi kita minta pemangku kebijakan lebih memperhatikan spesies kunci, dan jangan sampai justru terlibat dalam distribusi satwa ilegal ini," ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Doni Latuparissa.
Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Eduward Hutapea, mengatakan ketiadaan alat bukti yang cukup menyebabkan petugas sulit membongkar jaringan perdagangan orangutan hingga ke para pemodal maupun kolektor. Menurut Eduward, terdapat perbedaan pola antara perdagangan orangutan dengan satwa-satwa dilindungi lainnya seperti harimau. Biasanya, orangutan diperdagangkan secara bebas tanpa diawali dengan transaksi uang muka.
Hal itu pulalah yang menyebabkan aparat kesulitan untuk mengungkap hingga ke jaringannya. "Kalau sudah ada DP [down payment], transfer, itu bisa. Tapi kalau orangutan tidak ada, biasanya mereka jual lepas. Di Aceh, di Riau, itu jual lepas," kata Eduward.
"Kalau memang transaksinya belum ada, kemudian pasal apa yang kita pakai untuk menjeratnya? Kan tidak ada. Tidak ada formilnya ke dia," sambungnya.
Eduward tak menampik perlunya pembenahan tata kelola dalam upaya menghentikan praktik perdagangan orangutan. "Jadi saya bukan mengelak, tapi yang terpenting sebenarnya itu bukan petugas di lapangan dalam melakukan penindakan. Tapi petugas di lapangan dalam hal tata kelola itu menjadi sangat penting," kata Eduward.
Eduward mengatakan, Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera kini memiliki sekitar 270 orang karyawan. Dari jumlah itu, lebih 170 orang di antaranya merupakan polisi hutan. "Tata kelola dibenahi, itu termasuk menghentikan simpul-simpul peredarannya melalui mekanisme penjagaan yang lebih ketat misalnya oleh Pelabuhan, Bea Cukai, dan lainnya. Dan kita harus menambah Polhut di penindakan. Kalau itu sudah terkunci semua, otomatis transaksi itu dengan sendirinya minimal terhalang. Kalau kita harapannya hilang, tidak ada lagi," jelas Eduward.
Pendiri dan Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo, mengatakan pada 2020 lalu OIC telah menyelamatkan 24 orangutan yang berada di Sumatera Utara maupun Aceh. Dua provinsi ini memang dikenal sebagai kantung populasi orangutan. Dari puluhan individu yang diselamatkan, delapan di antara mereka merupakan korban perdagangan dan koleksi ilegal. Sedangkan selebihnya diselamatkan karena kondisi tertentu, seperti menghindari konflik dengan manusia. "Yang pasti orangutan yang diselundupkan masih terjadi. Perburuan orangutan masih terjadi. Dan ada beberapa pihak yang masih memelihara orangutan secara ilegal. Ini masih terjadi di Indonesia sehingga perlu tindakan yang nyata," ujarnya.
Berdasarkan data 2016, Orangutan Sumatra di alam liar tersisa hanya sekitar 14.470 individu. Jumlah tersebut sudah termasuk Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang jenisnya baru dinyatakan berbeda dari Orangutan Sumatra pada 2017 lalu. Kini, Orangutan Tapanuli diperkirakan hanya berjumlah tak lebih dari 800 individu. Panut menambahkan, terdapat beberapa upaya yang bisa ditempuh untuk menghentikan laju perburuan dan penyelundupan orangutan, semisal meningkatkan penjagaan dan pengawasan. Solusi lainnya yakni menjaga habitat orangutan dari kerusakan.
Namun, kata Panut, semua itu hanya bisa diwujudkan dengan adanya komitmen semua pihak. "Bagaimana kita bisa melindungi habitatnya, melindungi populasinya dari perburuan, tentu ini merupakan kondisi dimana kita mesti komitmen. Ini butuh kerja sama dengan banyak pihak, seperti masyarakat, pemerintah dan sektor usaha juga karena ada keterkaitannya. Jadi tugas bersama," kata Panut. (*)
Tags : Orangutan Korban Penyeludupan, Orangutan Sumatra, Perburuan Orangutan,