Warga klaim setuju pembangunan perkebunan sawit, namun investor yang ingin menanamkan investasinya masih terganjal
dara selalu sejuk dan lembab. Daun-daun yang tumbuh disepanjang sisi jalan di Desa Kerandin, Kecamatan Lingga Timur itu pun selalu tampak basah disebabkan hawa pegunungan di Kabupaten Daik Lingga termuda.
Saat menyusuri kawasan perbukitan daerah ini terkenal akan potensi sumber daya alamnya. Di daerah ini juga, terdapat dan banyak ditanami kebun Sahang. Warga disini punya tanah luas dan sudah lama mendengar adanya wacana perusahaan swasta ingin membangun kebun sawit. Di sini, warga peluangnya cuma nelayan dan sedikit sekali berkebun, kalau pun ada hanya kebun buah-buahan dan sahang (marica) yang bisa dijual keluar, tukas Mahadi (60), lelaki asal Jawa Tengah yang telah lama ikut program transmigrasi ditempatkan di Kabupaten Daik Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Keluarga Mahdi punya beberapa kapling lahan sejak ikut program transmigrasi. Namun sekarang program pemerintah tak lagi berjalan, dia tetap merawat lahannya yang ditanami pohon Sahang. Kalau ada waktu luang, saya dan keluarga menanam dan merawat pohon Sahang (Marica) serta menjala ikan di pesisir pantai, sebutnya.
Dia tipe lelaki pekerja, sebagaimana kebanyakan lelaki lain di daerah yang mayoritas berpenduduk Melayu itu. Dalam bincang-bincangnya di kediaman, Mahdi mengaku di Lingga umur dibawah 30 tahun, lelakinya kebanyakan bekerja di perusahaan tambang atau nelayan, yang wanitanya jadi pelayan toko atau warung kopi di Daik Lingga juga di Kota Dabo Singkep yang tak jauh dari Kota Lingga. Sebagian kecilnya sekolah di Kota Tanjung Pinang dan kuliah. Perempuannya, rata-rata menikah setelah menamatkan sekolah menengah atas.
Terpisah seperti disebutkan Mahdi, hal yang sama dirasakan para nelayan di daerah Lingga. Sepanjang jalan menuju ke arah desa, banyak ditemui kebun-kebun Sahang. Dari penampakannya, besar kemungkinan itu banyak lahan pribadi. Terlihat dari pohonnya yang sudah banyak yang tua, dikelilingi semak-belukar di batangnya. Ini memang punya masyarakat. Dijual ke penampung. Terlihat kurus karena yang kerja keluarga. Mungkin tak mampu menyemprot rumput di bawahnya, ujar Firdaus, sebutan ayah yang punya anak tiga ini.
Bagi para petani disni, konsep pemelihaaran kebun yang baik memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tak mereka punyai. Mereka hanya mengandalkan pekerja keluarga. Jangankan memupuk, membersihkan rumput dan ilalang juga tak maksimal. Apalagi membersihkan gulma di area piringan pohon Sahang. Piringan yang dimaksud ialah lingkaran bebas gulma berdiameter kurang lebih setengah meter keliling pohon, ungkapnya.
Melihat perekonomian dan sulitnya peredaran uang di Kabupaten termuda yang memiliki APBD dibawah 1 triliun itu, pemerintah daerah bersama warga sejak tahun 2015 lalu terus berupaya mendorong perusahaan kelapa sawit menerapkan metode kebun sawit berkelanjutan. Wacana yang sempat mengemuka adalah pemerintah bekerja sama dengan salah satu perusahaan swasta PT Citra Sugi Aditya (CSA) mendorong untuk membangun percontohan kemitraan sawit berkelanjutan di Kabupaten Daik Lingga.
Untuk menindaklanjuti itu, sejumlah tokoh masyarakat dan perwakilan desa di Kabupaten Lingga juga menginginkan agar proyek perkebunan kelapa sawit di Lingga bisa dimulai. Seperti disebutkan Koordinator studi banding masyarakat Lingga Zuhardi dan Aziz Martindas semakin optmis perkebunan kelapa sawit akan dapat mengangkat perekonomian masyarakat Kabupaten Lingga, terutama Kecamatan Lingga Utara dan Lingga Timur, setelah melakukan kunjungannya ke kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT Surya Dumai di Kampar, Riau pada Kamis, 10 Januari 2019 lalu.
Aziz Martindas juga menambahkan, untuk di Lingga juga sudah terbentuk Koperasi Lingga Sugi Lestari (KLSL), Koperasi Batu Putih Lestari (KBPL), Koperasi Tunas Utama Lestari (KTUL) dan Koperasi Tunas Unggul Lestri (KTUL). Beberapa koperasi itu berada dalam kawasan kebun plasma setiap desa yang sudah mendapat pembuatan, pembukaan lahan kebun yang dilakukan oleh CSA, jelasnya pada waktu itu didepan pengurus Koperasi KOPTI Tama Luku Intan saat melakukan studi banding ke Desa Danau Lancang Indah Kampar, Riau.
Menurut Aziz, justru rencana pembukaan dan membangun kebun sawit di Lingga setelah melihat keberhasilan warga Desa Danau Lancang Indah Kampar, tak perlu ditunda lagi. Dia yakin jika kebun sawit dibuka di Lingga akan mengurangi kemiskinan.
Lantas Zuhardi yang juga sebagai Ketua Melayu Raya dan Ormas Gema Lingga bersama Aziz Martindas yang Politisi Partai Golkar ini pun membantah soal perkebunan kelapa sawit rakus terhadap persediaan air. Saya sudah melakukan studi banding ke kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT Surya Dumai di Kampar, Riau, sebutnya pada media.
Menurutnya, dari studi banding yang dilakukan bersama dengan sejumlah tokoh masyarakat dan perwakilan desa di Kampar tahun lalu itu tidak terbukti bahwa kelapa sawit itu rakus air. Saya melihat sendiri, ada sungai yang airnya mengalir dalam kebun sawit, ujarnya.
Sedangkan Aziz Martindas menambahkan kekhawatiran ketersediaan air bagi masyarakat Lingga adalah pemikiran yang tidak mendasar. Sumber air bersih di Lingga bukan berada di wilayah perkebunan kelapa sawit yang terletak di timur Pulau Lingga, akan tetapi lokasinya jauh dari lokasi perkebunan, yaitu di wilayah Barat Pulau Lingga di daerah pengunungan Daik Lingga.
Aziz mengaku memiliki data hasil penelitian dan fakta ilmiah berdasarkan kajian yang dilakukan oleh dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Devisi Konservasi Tanah dan air Fakultas Pertanian, IPB Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro MSc Agr terungkap bahwa logikanya untuk melihat apakah tanaman rakus air atau tidak, tentu dengan melihat seberapa banyak air dibutuhkan oleh suatu tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara normal yang disebut kebutuhan air konsumptif tanaman.
Kebutuhan air konsumptif tanaman biasanya dilihat dari nilai evapotranspirasi yang mencerminkan jumlah air yang diserap tanaman untuk diluapkan melalui evaporasi dan transpirasi. Apakah tanaman kelapa sawit merupakan golongan tanaman dengan nilai evapotranspirasi tinggi.
Selain itu ada juga hasil penelitian Pasaribu selama 3 tahun di PPKS sub unit Kalianta Kabun Riau yang tertuang dalam Jurnal Ilmu Lingkungan (ISSN 1978-5283) berjudul, Neraca air di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub Unit Kaliantas Kabun Riau.
Dalam penelitian tersebut terbukti bahwa evapotranspirasi di perkebunan kelapa sawit rata-rata 1.104,5 mm/tahun. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi tanaman kelapa sawit berkisar antara 1100 1700 mm/tahun, ujar Aziz Martindas.
Aziz Martindas juga menambahkan, penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, S.D tahun 2011 lalu dan diterbitkan di Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Volume 13. No 1 berjudul, Neraca Air Lahan Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Dari penelitian tersebut juga terungkap bahwa nilai evapotranspirasi kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut di Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah selama 3 bulan (Juli-September) adalah sekitar 386 mm.
Kemudian ada juga penelitian yang dilakukan oleh Taufik dan Siswoyo, tahun 2013 lalu, yang menyatakan bahwa evapotranspirasi yang terjadi di perkebunan Kelapa Sawit Sub DAS Landak Kapuas sebesar 4.39 mm/hari atau setara dengan 1580 mm/tahun.
Dirinya juga membeberkan penelitian yang dilakukan oleh Harahap dan Darmosarkoro tahun 1999 lalu yang menyatakan bahwa kelapa sawit memerlukan air 1.500-1.700 mm per tahun untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksinya.
Nilai evapotranspirasi tersebut sebanding dengan nilai evapotranspirasi pada berbagai tanaman perkebunan yang dikembangkan pada daerah beriklim relative kering seperti tebu (1.0001.500 mm per tahun dan pisang 7001.700 mm per tahun dan lebih kecil dari nilai evapotranspirasi tanaman kelapa yang dilaporkan oleh Foale dan Harries (2011) yaitu sebesar 1980 mm/tahun.
Bahkan jika dibandingkan dengan evapotranspirasi dari tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai berkisar 1.200 2.850 mm per tahun jika ditanam selama 3 musim tanam (setara 1 tahun).
Tanaman kehutanan yang berdaun kecil seperti lamtoro, akasia, dan sengon, bahkan mempunyai laju evapotranspirasi tahunan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit, dengan nilai evapotranspirasi berturut-turut sekitar 3.000 mm/tahun, 2.400 mm/tahun, dan 2.300 mm/tahun (Coster, 1938).
Jadi menurutnya berdasarkan fakta-fakta ilmiah tersebut, terbukti bahwa kelapa sawit merupakan tanaman yang tidak rakus air, dibandingkan dengan tanaman lain lebih nyata. Jika tolak ukur yang digunakan adalah efisiensi penggunaan air. Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman yang sangat efisien dalam pemanfaatan air.
Argumentasinya adalah, untuk menghasilkan 1 giga joule bioenergi, tanaman kelapa sawit hanya membutuhkan sekitar 75 meter kubik air, jauh lebih rendah dari tanaman rapeseed (bahan baku minyak nabati paling dominan di Eropa) sebesar 184 meter kubik, kelapa 126 meter kubik , ubikayu 118 meter kubik, jagung 105 meter kubik, dan kedelai 100 meter kubik air.
Menurut Aziz Martindaz Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution telah menerima hasil studi dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) perihal kelapa sawit. Hasil penelitian IUCN tersebut di serahkan Kepala Satgas Kelapa Sawit IUCN Erik Meijaard, Senin 4 Februari 2019 lalu.
Saat itu, Darmin Nasution mengatakan, di tengah berbagai tantangan yang dihadapi oleh industri kelapa sawit, utamanya di Indonesia, fakta berbasis ilmiah seperti ini sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada publik, terkait pengembangan kelapa sawit di Indonesia.
Aziz Martindas sependapat dengan Zuhardi seperti disebutkan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Boestami mengungkapkan data, bahwa industri minyak sawit berkontribusi besar terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Sejak tahun 2000, industri sawit mendorong setidaknya 10 juta orang keluar dari garis kemiskinan, 1,3 juta di antaranya hidup di pedesaan. Dan kontribusi ekspor sawit bagi ekonomi RI tahun 2017 mencapai Rp 243 triliun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan minyak dan gas serta pariwisata.
Sementara, mantan Wakil Ketua Pansus Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ranperda RZWP3K) DPRD Kepri, Ing Iskandarsyah. Menurutnya, Ranperda RZWP3K sebaiknya dibahas kembali oleh pansus untuk memberi kepastian hukum agar pengusaha tidak terhambat dalam berinvestasi.
DPRD Kepri sendiri harus segera membentuk pansus, karena sebagian anggota pansus pada periode sebelumnya tidak lagi menjabat sebagai anggota legislatif. Untuk jangka pendek, Pemprov Kepri harus mencari solusi terbaik untuk mempermudah pengusaha berinvestasi, kata Iskandar, yang masa itu juga Ketua Komisi II DPRD Kepri.
Saat ini Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau terpaksa menunda seluruh perijinan pengelolaan kawasan untuk investasi karena Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ranperda RZWP3K) belum disahkan. Pemprov harus memikirkan langkah-langkah ke depan, katanya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPRD Kepri itu juga mendorong Pelaksana Tugas Gubernur Kepri Isdianto mencari solusi terbaik agar pelayanan investasi tetap berjalan normal. Pemerintah harus memikirkan agar pemberian ijin sesuai dengan ketentuan, sehingga tidak boleh ada kekosongan hukum. Apakah bisa memakai Perda RTRW dulu atau ada solusi yang lain. Kondisi ini jangan dibiarkan berlarut-larut, karena mengganggu pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, tuturnya.
Iskandar mengulang seperti disebutkan Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa perizinan untuk investasi jangan dipersulit. Presiden juga meminta aparat seperti polisi dan jaksa mendukung rencana itu, jangan bertindak cepat untuk memeriksa persoalan perijinan investasi. Perizinan ini, menurut presiden bagian administrasi publik sehingga jangan masuk ke pidana. Kami apresiasi pemikiran dan ketegasan presiden dalam menyelesaikan hambatan-hambatan dalam perijinan investasi, katanya. (surya dharma)
Tags : -,