Suku Sakai merana sepanjang masa, hutan adat terus dijamah dan pemerintah sepertinya lepas tangan
Pemerintah tidak pernah melihat peta, Karena dahulunya lokasi yang dilalui pembangunan tol di areal 2.200 hektar milik suku pedalaman (Suku Sakai) pada tahun 2011 masih kawasan hutan konversi. Malah tiba-tiba tim terpadu melepaskan kawasan tersebut dari Hutan Produksi Konfersi (HPK) menjadi Hutan Peruntukan Lain (HPL) tanpa pelepasan dari KLHK. Lahan 2200 hektar itu malah keluar Hak Guna Usaha (HGU) nya diperuntukan bagi PT Murini Wood Indah Industry (MWII), ini tidak sesuai dengan prosedural, ujar Ir Ganda Mora MSi, selaku pendamping Suku Sakai membuka perbincangannya dengan riaupagi.com, Rabu (18/3) tadi.
HGU seluas 2.200 Ha yang dimiliki MWII yang sudah ditumbuhi kebun sawit itu diduga tidak prosedural atau tidak melalui pelapasan kawasan hutan dari MenLHK, atas dugaan persekongkolan itu kita akan laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, ungkapnya.
Bagindo Raja Puyan, Kepala Bathin Batuoh anak suku orang pedalaman, Bengkalis, Riau itu memberi gambaran jika sejatinya nasib warganya hingga kini masih terusir dari tanah mereka. Akhirnya anak suku orang pedalaman terus tergusur, kata Bagindo menjelaskan.
Hutan Adat, bagi orang suku pedalaman yang tinggal di kawasan hutan adat itu memang rumah bagi suku tersebut. Mereka hidup berkelompok dengan sesama anggotanya dengan memanfaatkan kekayaan alam. Orang pedalaman hidup dalam keharmonisan tanpa bantuan teknologi.
Sejak Tahun 1946, orang suku pedalaman (Sakai) memang tanah adat telah ditetap berdasarkan peta renkotruksi batas tanah ulayat Batin So Lapan Suku Sakai Botuah berdasarkan piagam perjanjian (Besluit), Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan Gouverlemen Hindia Nederland (Kerajaan Hindia Belanda) 28 Februari 1940 bersamaan hari 15 Muharam 1859, bahwa hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, suku ini meramu, menanam dan berburu. Namun keharmonisan itu terusik ketika peran pemerintah menggunakan sebagian kawasan hutan adat menjadi pembangunan jalan tol yang diperuntukkan program pemerataan penduduk.
Selain itu, pemerintah juga dengan mudah memberikan izin bagi para pengusaha untuk membuka lahan di daerah yang dipercayai merupakan tempat tinggal orang Sakai. Jadi selalu mengizinkan pengusaha, ujar Datuk Puyan.
Datuk Puyan mengaku, berkurangnya lahan untuk tempat tinggal bagi orang pedalaman membuat sebagian anggota dari suku Sakai meninggalkan hutan dan tinggal tidak menetap. Sebagian dari mereka juga bisa ditemui, di sepanjang jalan lintas Bengkalis hingga ke Siak.
Namun sayang, keputusan untuk keluar dari hutan dan berbaur dengan masyarakat pada umunya rupanya juga tidak membuat hidup orang Suku Sakai tenang. Kadang kala ada pertikaian karena kesalahpahaman dengan masyarakat pendatang. Bukan tanpa sebab, pertikaian itu diyakini mereka masih memiliki kepercayaan jika tanah digunakan oleh para pendatang merupakan milik nenek moyang mereka.
Sebagai contoh kasus konflik yang terjadi ialah Suku Sakai dengan PT Murini Wood Indah Industry (MWII) salah satu anak perusahaan Surya Dumai Group (First Resources) itu. Warga pedalaman ini satu persatu mulai 'ambruk' karena merasa tak memiliki lahan untuk perladangan sebagai mencari nafkah. Kejadian seperti ini memang acap kali terjadi, bukan tanpa sebab, pemahaman tanah itu milik leluhur mereka memang menjadi kepercayaan bagi orang Suku Sakai, kata Ganda Mora dari Barisan Relawan Jokowi Presiden (BARA-JP).
Ini semua memang bermuara pada perusahaan MWII. Jauh sebelum orang Suku Sakai mulai resah dengan tempat tinggalnya, mereka hidup harmoni di dalam hutan adat. Namun kini, nasib mereka terlunta-lunta di atas tanah dipercaya milik nenek moyang nya. Bermula sejak 15 tahun lalu ketika MWII membuka lahan. Tahun itu juga menjadi titik awal penebangan hutan adat besar-besaran. Kini ada 10.000 hektar berhasil digarap menjadi kebun sawit, tanpa ada ganti rugi dan tak mengikutkan suku pedalaman sebagai mitra, sebut Ganda.
Tahun 2016 menjadi langkah bagi pemerintah untuk membangun jalan tol Pekanbaru-Dumai dan duri dan lahan perkebunan kelapa sawit yang berdiri di hutan adat ikut imbasnya. Namun ketika ditetapkan menjadi pembangunan jalan tol, pemerintah justru kemudian menetapkan MWII mendapat ganti rugi dibeberapa zona atau 30 bidang tanah, tepatnya di Desa Pamesi untuk pembayaran tahap II (dua).
Hal ini lah kemudian menjadi ihwal konflik orang Suku Sakai. Apalagi zona ditentukan pemerintah itu tidak mewakili keinginan orang Sakai. Tempat orang Suku Pedalaman tinggal dibagi-bagi dengan perusahaan kelapa sawit. Sumber kehidupan, makanan, obat-obatan dan tumbuhan bagi orang Sakai mendadak punah. Akibatnya orang Sakai tidak bisa hidup layak, ungkap Ganda.
Menjadi pukulan telak buat pemerintah, selain mereka saat ini kehilangan mata pencaharian orang Sakai diperkirakan ada 200 jiwa dikhawatirkan busung lapar. Sebanyak 500 Kepala Keluarga (KK) terimbas kemiskinan. Penyebabnya ialah karena lahan hidup bagi suku itu terus berkurang bahkan hilang, kita menghawatirkan terkhusus anak-anak. Mereka (MWII) juga tak mengubris soal Corporate Social Responsibility (CSR), pada hal itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitar, ujar Ganda.
Bantuan sosial, membangun fasilitas umum, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, memberikan beasiswa bagi anak kurang mampu hingga memberikan bantuan dana untuk kesejahteraan masyarakat sekitar tak kelihatan, ungkap Ganda yang menerima pengakuan dari Datuk Puyan.
Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan memang telah mengeluarkan Peraturan Menteri nomor 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat. Dalam penjelasannya pada media, Ferry menegaskan jika perusahaan sawit tidak dapat mengusir sembarangan suku anak dalam. Jika dilanggar, Ferry bakal mencabut izin mereka. Kalau tetap dilakukan, kita akan mencabut tegas izin mereka, ujar Ferry. (rp.sdp/*)
Tags : -,