SEPERTINYA Riau perlu diterapkan Sertifikat bebas korona. Buktinya, Serangan korona membuat masyarakatnya tergagap. Sertifikat korona memang terdengar guyonan belaka tidak perlu jadi santapan portal berita. Tapi saya lihat jauh hari WHO sudah mengingatkan agar pemerintah mengantisipasi penyebaran virus korona setelah diketahui merebak di Wuhan, Januari 2020.
Sebelumnya terungkap, para elite mungkin berharap korona tak masuk Indonesia. Seperti diperingatkan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Negara yang berasumsi tidak akan terpapar kasus bisa jadi kesalahan fatal. Virus korona tak menghormati perbatasan.
Kini, di Riau sendiri terbukti virus korona menginfeksi sudah 7 warga. Pengumumannya disampaikan sendiri oleh Gubernur Riau Syamsuar. Kepanikan terjadi. Nama pasien yang seharusnya rahasia diumbar walau memakai inisial. Rumah pasien dipasangi garis polisi. Pejabat daerah menggelar jumpa pers. Polri menggerebek gudang yang katanya menimbun masker. Padahal, masker belum dikategorikan sebagai bahan pokok.
Ketika kepanikan terjadi, beredar kutipan Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dirjen berkebangsaan Etiopia dan pernah menjadi Menteri Kesehatan Etiopia ini mengatakan, Musuh terbesar kita bukan virus itu sendiri, tetapi ketakutan, rumor, dan stigma. Kekuatan terbesar kita adalah fakta, penjelasan (ilmiah), dan solidaritas.
Pernyataan Ghebreyesus diedarkan untuk meredam kepanikan. Sebagian kata Ghebreyesus dipakai Presiden Jokowi ketika berbicara kepada pers untuk meredam kepanikan. Ada tambahan kata gotong royong setelah solidaritas. Bangsa ini memang tergagap ketika korona datang.
Kembali pada guyonan perlunya sertifikat bebas korona. Meski terlambat, empat protokol soal komunikasi, soal kesehatan, imigrasi, dan pendidikan itu diperlukan untuk memandu pejabat dalam berkomunikasi dengan masyarakat mengenai apa yang harus dilakukan. Perbaikan dari sisi komunikasi dilakukan. Jumpa pers digelar teratur. Itu perkembangan positif.
Soal gotong-royong untuk mencegah corona Covid 19 yang kini telah menjadi pandemi menimpa seluruh daerah di Riau, masker, pencuci tangan (hand sanitizer), bilik disinfektan, alat pelindung diri, alkohol, dan sarung tangan adalah kata benda yang sering berseliweran akhir-akhir ini sepertinya sangat diperlukan.
Anehnya, barang-barang tersebut kian langka di pasaran. Warga masyarakat memburunya untuk melindungi diri dari wabah Corona. Kesadaran masyarakat akan bahaya Corona kian meningkat. Mereka kian menyadari bahwa Covid 19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang sangat cepat menyebar. Penyakit ini dapat menginfeksi dengan rentang yang amat lebar, dari yang tidak bergejala sampai berat dan meninggal dunia. Karena itulah, masyarakat turut memburu perlengkapan kesehatan dalam menghadapi wabah Corona. Kelangkaan pun tak terelakkan.
Kelangkaan itu tentu saja menyulitkan petugas medis, misalnya, kekurangan stok APD (Alat Pelindung Diri). APD merupakan pakaian dan perlengkapan untuk melindungi tenaga medis yang melakukan perawatan terhadap orang yang berisiko terjangkit virus Corona. Akhirnya, APD menjadi permasalahan tersendiri bagi rumah sakit atau pun klinik, tidak terkecuali yang sebenarnya tak menangani Covid-19.
Melihat situasi semacam itu, masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan oleh pemerintah dalam upaya mengatasi wabah ini. Namun, mengkritik kekurangan pemerintah saja pun tak akan membuat wabah ini cepat tertangani. Para pengusaha juga diminta dapat melakukan gotong royong menangani korona, banyak diantara mereka yang terjun langsung untuk turut membantu pencegahan wabah ini. Perusahaan perkebunan yang ada di Riau dengan cepat mengatasi khususnya dilingkungan intern baik terhadap karyawan dan masyarakat disekitar aktifitas.
Masyarakat secara sendiri-sendiri juga telah bergerak. Ada yang menyediakan hand sanitizer, ada yang gotong royong untuk membelikan APD. Ada pula yang memproduksi bilik disinfektan dengan bantuan para donatur. Ada yang melakukannya secara spontan dengan langsung membentuk kepanitian, baik melalui jaringan alumni, pertemanan, komunitas dan lain-lain. Sejumlah organisasi alumni perguruan tinggi pun telah berupaya berkoordinasi, mempersiapkan para relawan yang bisa diterjunkan di pusat-pusat penanganan wabah korona itu. Masing-masing organisasi alumni ada yang memiliki tim tanggap bencana.
Soliditas dan rasa kepedulian warga di Riau juga tergolong tinggi. Aksi ini lah yang disebut Gerakan Gotong-Royong Bantu Tenaga Kesehatan Cegah Corona. BPJS Kesehatan bekerja sama dengan IDI untuk menyediakan APD bagi tenaga medis demi untuk melayani masyarakat tanpa kenal lelah, sehingga sudah seyogyanya masyarakat turut bergerak membantu.
Pusat pengendalian krisis rasanya diperlukan. Bukan hanya pada saat outbreak, melainkan post outbreak. Kondisi ekonomi yang terdampak pascakorona butuh perhatian. Perlu ada komandan. Inpres No 4/2019 perlu dipertegas dengan menunjuk komandan pengendalian sehingga pejabat tidak jalan sendiri-sendiri.
Imbauan Ghebreyesus soal ketakutan, rumor, dan stigma harus dijawab pemerintah dengan penjelasan kredibel dan otoritatif. Kepanikan belanja dijawab dengan komunikasi pemerintah yang menjamin ketersediaan barang.
Saatnya masyarakat sipil menggalang solidaritas. Saatnya organisasi pengusaha mengimbau anggotanya untuk tidak memanfaatkan keadaan guna mencari laba. Ini justru momentum orang berpunya berkontribusi, misalnya dengan menyediakan masker di ruang publik dan peralatan yang dibutuhkan secara gratis. Ini sikap berbela rasa.
Dokter dan ahli bisa bertemu membangun konsensus bersama dan merumuskan langkah bersama yang harus dilakukan pemerintah. Perang melawan korona adalah perang bersama. Butuh kolaborasi dan bekerjasama melakukan gotng royong. Jauhkan terlebih dahulu persaingan politik jelang 2024. Keselamatan warga lebih utama. Jangan terlalu banyak celometan lebih baik bangun kebersamaan. Kepemimpinan ini menjadi faktor kunci.
Tags : -,