PEKANBARU - Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar mengajak Bupati/Walikota se-Riau untuk dapat meringankan wajib pajak bagi pelaku usaha, sesuai dengan Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia (RI).
Kita menyadari di tengah penyebaran Covid-19 ini bahwa banyak pelaku usaha seperti hotel yang berkurang omset, karena pengunjung yang sepi, dan begitu juga seperti restoran dan cafe yang juga merasakan hal yang sama, ungkap Gubri Syamsuar, di Gedung Daerah Balai Pauh Janggi, Jumat (3/4/2020) kemarin.
Dengan adanya wabah atau pandemi covid-19 (virus corona), banyak pelaku usaha yang kekurangan pemasukan (omset), oleh karena itu, Gubri Syamsuar mengimbau agar hal tersebut menjadi perhatian Bupati dan Wali kota se-Riau dengan cara memberikan keringanan bagi pelaku usaha wajib pajak seperti hotel dan restoran. Sesuai dengan penetapan wajib pajak daerah, diharapkan kepada Bupati dan Walikota se-Provinsi Riau agar bisa menyesuaikan kondisi yang tengah terjadi saat ini, bagi para pelaku usaha terkait usaha wajib pajak daerah.
Himbauan untuk keringanan wajib pajak bagi pelaku usaha diberikan namun yang menjadi persoalan lain adalah bagi masyarakat kelas menengah 'rentan miskin', di Riau belum tersentuh bantuan pemerintah.
Seperti disebutkan H Darmawi Aris SE, dari Lembaga Melayu Riau (LMR), bahwa paket stimulus yang diluncurkan pemerintah guna menghadapi ancaman kelesuan ekonomi akibat penyebaran wabah virus corona dinilai 'melupakan kelas ekonomi menengah ke bawah dan tidak berimbang karena hanya fokus kepada golongan ekonomi menengah keatas dan korporasi'. Bantuan ekonomi pemerintah terkait pandemi Covid-19 dinilai 'kurang dan perlu diperluas'.
Menurutnya, pendapatan usaha kecil 'pupus' akibat covid 19, perlunya pemerintah siapkan bantuan sosial untuk pekerja harian.
Dampak 'lebih buruk daripada krisis finansial 2008'
H Darmawi juga mencontohkan ribuan pekerja dan buruh kini tak merasa aman akibat wabah corona. Memang sampai saat ini belum ada satupun buruh melaporkan dirumahkan, namun rasa kekhawatiran di PHK dan tidak mendapat THR sudah didepan mata.
seperti yang dirasakan Feri dari daerah Inhu, yang tergolong warga kelas ekonomi dibawah mengaku memiliki kekhawatiran ekonominya 'goyang'.
Dalam pemaparannya Feri yang bekerja disalah satu pabrik kelapa sawit (PKS) di Inhu itu meski belum dirumahkan, karyawan ini mengatakan khawatir dengan kondisi keuangannya karena pemasukan perusahaan tempatnya bekerja telah berkurang sejak tiga bulan lalu.
Perusahaan tempat Feri bekerja mengandalkan PKS sebagai tempat kerja utamanya, namun pabrik tersebut telah mengurangi produksinya sehingga banyak sopir truk yang kini juga mengurangi aktiifitas dalam pengangkutan buah sawit.
Di tengah penurunan ekonomi akibat wabah virus corona, lelaki berusia 38 tahun dan sebagai kepala rumah tangga yang memiliki anak 2 itu masih pergi ke PKS dan bekerja, meski perusahaan tempat ia bekerja sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan produksi.
Kalau sepi terus kan. rumah saya juga masih nyicil, masih angsuran, kerjaan juga kayak gini, biasanya saya bisa membantu cicilan rumah tapi sekarang kan sulit, kata Feri.
Feri mengetahui bahwa ada kemungkinan ia tidak mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) tahun ini, mengingat PKS terus menyusut produksi buah sawit dan gaji saat ini pun mengandalkan kebaikan atasannya. Kalau THR sepertinya belum tahu, cuma saya juga tidak berharap-berharap banget, kan ini sepi. Yang penting saya masih kerja itu saja sudah Alhamdulillah, katanya.
Lebaran tahun ini ya sepertinya tidak seheboh dulu, pengeluaran juga tidak harus beli baju, tidak harus mudik juga. Turut prihatin dengan kondisi sekarang.
Di rumahnya, di mana ia tinggal bersama kedua orangtua dan empat saudaranya. Ia berlangganan listrik sebesar 900VA setiap bulannya, kategori listrik yang tidak mendapat bantuan pemerintah. Feri berharap pemerintah memperhatikan kekhawatiran pekerja seperti dirinya yang saat ini pemasukannya terancam.
Kalau saya sebagai kelas menengah khawatirnya karena pekerjaan itu ya, terus sepi. (Pemerintah) tidak memperhatikan, itu dikira mampu begitu? Padahal seperti kita begini, kan menyicil rumah, ada kekhawatiran PHK kalau kelas seperti kita yang kecil ini, tambahnya.
Menyimak yang disebutkan Raden Soes Hindharno, juru bicara Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), saat ini pihaknya tengah membahas apakah pandemi virus corona ini dapat dikategorikan sebagai force majeure, sehingga perusahaan yang tidak sanggup membayar THR karyawannya tidak melanggar aturan ketenagakerjaan yang sudah ada.
Harusnya satu minggu sebelum lebaran perusahaan memberikan gaji ke-13 kepada pekerja, yang jumlahnya satu bulan gaji, kalau tidak diberikan, perusahaan akan diberikan denda. Tapi di era force majeure ini kita memang serba ribet, ini kan kondisi yang darurat atau tidak biasanya, ujar Raden pada media.
Tapi Kemenaker sebagai mediator di bidang hubungan industrial, tetap meminta kepada pengusaha, tapi dengan kesepakatan, [agar pekerja] di hari raya tentunya tetap mendapatkan hak THR.
'Bagaimana cara bertahan hidup'
Meski banyak warga digolongkan sebagai kelas menengah ke bawah karena memiliki rumah dan pekerjaan namun banyak pula warga mengaku gajinya sebagai karyawan kurang dari upah minimum regional, sehingga berharap pemerintah layak memberikan bantuan bagi masyarakat yang berada di situasi yang sama seperti Feri.
(Kami) layak (dapat bantuan), karena kerjaan saya masih ikatan kontrak. Sekarang tidak ada kejelasan, dibilang kelas menengah mungkin karena tinggal di rumah sendiri, kebutuhan tidak terlalu berat, tapi bagi saya wajar-wajar saja kelas menengah mendapat bantuan. Dan kalau suasana seperti ini mau kelas menengah, kelas bawah juga membutuhkan bantuan, ujar Feri.
Sebelumnya, seperti disebutkan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Ketenagakerjaan, Raden Soes Hindharno, telah ada aturan yang mengatur bahwa perubahan besaran upah atau pembayaran upah akibat pandemi Covid-19 dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh.
Kalau perusahaan suruh gaji penuh, perusahaan pun akan teriak-teriak atau bahkan bisa pailit. Kalau pekerja tidak mendapat income juga sama, padahal butuh makan keluarganya. Jadi ada kesepakatan (antara pengusaha dan pekerja) seperti masuk setiap 3 hari sekali, atau (pekerja) dirumahkan tapi digaji 50%, kata Raden.
Banyak kelas menengah berpotensi turun ke kelas miskin
Kelompok yang berada di tengah ini rentan kembali ke kelas miskin jika ada bencana alam atau masalah penyakit kesehatan dengan skala yang luas seperti pandemi Covid-19 sekarang.
Menurut Bank Dunia, pandemi virus corona akan menambah jumlah penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, hingga 11 juta orang.
Sementara itu, Organisasi Buruh Dunia memperkirakan pandemi global ini mengakibatkan hilangnya 5 sampai 25 juta lapangan pekerjaan, dan pendapatan warga dunia akan berkurang sampai 3,4 triliun dolar AS. (rp.sdp/*)
Tags : -,