Seni Budaya   2020/04/17 20:26 WIB

Virus Corona: Apakah Kebiasaan Jabat Tangan Punah?

Virus Corona: Apakah Kebiasaan Jabat Tangan Punah?

Jabat tangan adalah tradisi yang ada selama ribuan tahun. Tetapi, para ahli kesehatan masyarakat kini meminta kita untuk meninjau kembali aspek kesehatan dari tradisi itu

class=wp-image-20928/

merika Serikat menjadi negara yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19, dengan lebih dari 550.000 kasus yang dikonfirmasi dan 22.000 kematian.

Orang-orang tinggal di rumah untuk menghindari kontak fisik, dan mengikuti saran dari tokoh masyarakat seperti Anthony Fauci, Kepala Institut Nasional di AS untuk masalah Alergi dan Penyakit Menular.
Fauci, tokoh kunci dalam perlawanan AS terhadap virus corona, mengatakan hal ini dirilis Wall Street Journal.

Saya berpikir kita harusnya tidak berjabat tangan lagi.

Jika saran Fauci diterapkan secara massal, itu akan menandai perubahan besar dalam perilaku manusia.

Lagi pula, berjabat tangan telah menjadi standar de facto dalam bisnis, politik, dan masyarakat internasional selama lebih dari seabad.

Kebiasaan ini dimulai ribuan tahun lalu. Tetapi bagaimana kita bisa berhenti melakukan sesuatu yang sudah mendarah daging?

Mula-mula pembatasan sosial terasa sulit untuk diadaptasi. Lalu, bisakah tradisi jabat tangan benar-benar mati?

Dan jika ya, apa yang bisa menggantikannya?
Mengapa kita berjabatan tangan?

Dari Mesir kuno ke Mesopotamia ke Yunani Klasik, penggambaran tentang jabat tangan atau memperlihatkan tangan terbuka sebagai tanda kepercayaan muncul dalam seni dan sastra sejak ribuan tahun yang lalu.
Penggambaran itu termasuk relief batu Babilonia dan epos Homer.

Para ahli mengatakan bahwa kisah asal usulnya agak tidak jelas, tetapi orang-orang sering ditampilkan menunjukkan tangan kanan yang kosong untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka tidak membawa senjata, sehingga mereka dapat dipercaya.

Para ahli telah mempelajari gerakan itu selama beberapa dekade, dan jabat tangan terlihat sebagai motif dalam seni Yunani dan Romawi yang merefleksikan emosi dan hubungan yang akrab.

Seni klasik lainnya menunjukkan gerakan berjabat tangan digunakan dalam pernikahan, antara penguasa, dan situasi lain yang menggambarkan kerja sama atau upaya mempererat hubungan. Saat ini, berjabat tangan telah menjadi standar global untuk cara menyapa dan hubungan bisnis.

Meskipun jabat tangan tidak secara harfiah digunakan untuk memastikan apakah orang lain memegang senjata atau tidak, kebiasaan itu memberikan sinyal mereka untuk menunjukkan niat baik, kata Juliana Schroeder, seorang profesor di University of California, Berkeley yang mempelajari psikologi dan perilaku organisasi.

Itu adalah sinyal yang sangat penting dalam konteks bisnis, di mana orang sering bertemu dengan orang asing.

Penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang lebih bersedia bekerja dengan mereka yang menyodorkan tangan di awal negosiasi, karena itu menandakan motif kepercayaan, kerja sama, dan tindak lanjut.

Simbol kepercayaan dan kerja sama inilah yang digunakan dalam sesi berfoto di KTT global seperti G20.

Berjabat tangan bukan standar di semua tempat.
Negara-negara termasuk Jepang menghindari berjabat tangan atau berpelukan dan memilih untuk membungkuk.

Negara-negara Eropa seperti Italia dan Prancis sering melakukan ciuman pipi ganda atau tiga kali (sebuah tradisi yang juga menarik perhatian di era virus corona).

Tapi ritual bisa berubah seiring perubahan masyarakat.

Wabah Hitam menghentikan kebiasaan ciuman pipi ala Prancis selama berabad-abad. Lalu, bisakah hal ini menghentikan kebiasaan jabat tangan juga?

Kebiasaan yang sulit untuk dihentikan - tetapi mungkin

Pejabat kesehatan masyarakat mengalami kesulitan meyakinkan beberapa orang untuk menjaga jarak, apalagi mungkin meyakinkan mereka untuk berhenti berjabatan tangan selamanya.

Bahkan para ahli penyakit menular sepakat bahwa kebutuhan dasar untuk interaksi fisik sepenuhnya alami.

Mari kita lihat primata, kata Poland.

Komunitas mereka melibatkan kedekatan dan sentuhan. Mereka tidak berjabat tangan, tetapi mereka akan menyentuh lengan, membelai bulu, mengambil bulunya. Sepertinya ini semacam cara yang sudah mendarah daging untuk mengatakan, 'Saya ingin menunjukkan bahwa saya ingin memiliki semacam hubungan dengan Anda.'

Tiziana Casciaro, seorang profesor perilaku organisasi di University of Toronto, mengatakan bahwa berjabat tangan mengambarkan dorongan mendasar yang dimiliki manusia untuk membangun kepercayaan satu sama lain. Tapi dia mengerti bahwa Fauzi ingin menjaga orang-orang tetap aman, dan dia berpikir bahwa setelah pandemi, banyak orang mungkin enggan berjabat tangan.

Poland setuju. Dibutuhkan sesuatu yang besar seperti ini untuk mengubah kebiasaan budaya kita.

Schroeder mengatakan bahwa mungkin ada apa yang dia sebut sebagai periode tidak nyaman,: yang ditandai kebutuhan manusia untuk berinteraksi melalui jabat tangan dan kebutuhan untuk memperhatikan peringatan dari pemerintah yang mengatakan praktik itu bahaya.

Dia menunjukkan dalam penelitiannya bahwa, jika seseorang mencoba menjabat tangan seseorang dan orang lain menolak (untuk alasan apa pun), itu membuat orang pertama merasa tidak nyaman.

Hal ini berpotensi menstigma tindakan berjabat tangan.

Di AS, di mana Fauci telah menyarankan untuk mengakhiri berjabat tangan, beberapa orang sudah mulai menolak berjabat tangan untuk menghindari penularan virus.

Lembaga etiket terkemuka Amerika juga tak lagi merekomendasikan orang untuk berjabat tangan dan alih-alih mengatakan kepada orang itu 'sangat menyenangkan bertemu Anda, tetapi saya mengikuti pedoman kesehatan masyarakat.'

Saya pikir pada akhirnya mungkin untuk mengganti jabat tangan dengan ritual lain yang mewakili sentimen serupa.
Apa yang bisa menggantikannya?

Para ahli sepakat bahwa bukan jabat tangan itu sendiri yang penting, melainkan pesan universal budaya yang disampaikannya: seperti kerja sama dan koneksi.

Lagi pula, ada juga tradisi membungkuk dan beradu hidung, yang bisa menjadi alternatif.

Poland menyarankan untuk menggerakan kepala dengan ramah sebagai pengganti salam, dan juga melakukan tren yang sedang populer, yakni salam siku, meski menurutnya cara itu membuat canggung.
Dia juga menunjukkan bahwa permukaan benda yang sering dipegang seperti gagang pintu biasanya kotor.

Jika orang-orang dapat lebih memperhatikan kebersihan, apalagi setelah memakai kamar mandi, mungkin itu bisa menjadi solusi jangka panjang dan orang tak perlu melupakan jabat tangan.

Tetap saja, jabat tangan itu mungkin akan punah- suatu hari - terlepas dari apakah ada pandemi memburuk atau tidak.

[Tetapi] jika kita melihatnya secara matematis, di Cina, di India, Anda melihat setengah populasi dunia yang kebiasaannya bukanlah jabat tangan. Lakukan perhitungan. Cara-cara lain untuk menyapa sebenarnya lebih umum [daripada berjabat tangan],kata Kanina Blanchard, profesor dan dosen komunikasi manajemen di University of Western Ontario.

Ketika negara-negara seperti Cina, Timur Tengah, dan India menjadi semakin berpengaruh di dunia bisnis global, kebiasaan dalam budaya-budaya itu bisa menjadi norma internasional, kata Blanchard.

Bahkan ketika manusia menghadapi krisis langka seperti Covid-19, kita masih membutuhkan koneksi manusia - sesuatu yang, tergantung pada budaya Anda, dikomunikasikan dengan membungkuk, pelukan, ciuman, atau jabat tangan.

Anda akan beradaptasi, kata Blanchard. Saya tidak mengatakan saya akan senang jika jabat tangan tidak akan dilakukan lagi, tapi saya berpikir bukan itu pertanyaannya.

Sebaliknya, jika ada kebutuhan masyarakat untuk beradaptasi, kita - sebagai manusia - sangat mampu melakukannya. (*)

Tags : -,