Headline Sorotan   2020/05/12 17:34 WIB

Virus Corona: Guru Datangi Rumah Siswa yang Tak Punya Gawai

Virus Corona: Guru Datangi Rumah Siswa yang Tak Punya Gawai

Pandemi corona mendorong pemerintah memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring, sayangnya di daerah terpencil masih menghadapi sinyal tak terjangkau

class=wp-image-21031

andemi corona mendorong pemerintah memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring, juga melalui siaran TVRI. Namun, realitanya, tidak semua siswa mampu melakukan PJJ, terutama yang tinggal di daerah terpencil dan belum memiliki gawai, bahkan tidak terjangkau sinyal televisi.

Ini membuat tergerak hati Eva Salfawi, salah satu guru di SLTA (SMA) swasta di Serasan, Kabupaten Natuna memacu sepeda motornya membelah ladang dan hutan bahkan menyebrang dari pulau satu kepulau lainnya. Tas yang dibawa Eva penuh berisi kertas-kertas fotokopi buku pelajaran sekolah yang hendak menemui murid-muridnya.

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi, begitulah setiap harinya sudah dua bulan terakhir dirinya menyelusuri lingkungan desa yang terpisah dengan pulau-pulau kecil. Terkadang usai mengendarai sepeda motor, ia lanjutkan menyeberang memakai sampan mesin menuju desa lainnya. Bahkan untuk menuju desa lainnya demi menemui murid-muridnya, Eva harus menempuh jarak sekitar 100 kilometer dengan durasi tempuh tiga hingga empat jam yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani cengkeh dan nelayan di pulau itu.

Di tengah pandemi corona ini, Eva berinisiatif mendatangi rumah murid-muridnya, walau pemerintah sudah memutuskan untuk memberlakukan pembelajaran jarak jauh secara daring serta melalui siaran TVRI. Tapi menurutnya, sebagian besar muridnya tidak memiliki gawai. Sementara, pembelajaran melalui TVRI sulit diakses karena sinyal televisi hanya bisa ditangkap menggunakan antena parabola yang harganya cukup mahal.

Secara daring anak-anak nggak mungkin [melakoni PJJ]). Ada juga [gawai] yang dipunyai orang tuanya sebagian, tapi kan belum semuanya. Ada informasi pembelajaran bisa dilihat di TVRI, tapi di daerah ini yang terdiri dari pulau-pulau kecil nggak semuanya bisa masuk channel TVRI-nya, ungkap Eva.

Eva mengaku bahwa sebagai wali kelas, dirinya bertanggung jawab menuntaskan pembelajaran bagi puluhan siswanya. Di semester dua ini masih tertunda tiga tema pembelajaran lagi, kata dia yang melaporkan melalui ponselnya, Selasa (12/5/2020).

Inisiatif mengajar dari rumah ke rumah

Setiap pagi, pukul 07.00 WIB, Eva memacu sepeda motornya, bukan ke sekolah tempat ia mengajar, tapi ke rumah murid-muridnya. Total ada 100 murid SMA yang tinggal di berbagai kampung yang berbeda, yang harus ia kunjungi dalam sepekan. Eva membagi tugas dengan guru-guru lainnya satu sekolah, satu hari, satu kampung.

class=wp-image-23268

Siswa yang berada dalam satu kampung yang sama dikumpulkan di satu rumah salah seorang siswa atau mencari tempat lain yang memungkinkan, untuk belajar bersama. Ini siasatnya agar menghemat waktu. Setiap hari, Eva menghabiskan waktu hingga lima jam untuk mengajar dari rumah ke rumah. Jalan ke rumah-rumah muridnya bisa dilalui sepeda motor dengan jarak terjauh sekitar empat kilometer.

Sesampainya di tempat yang dituju, Eva selalu menekankan jaga jarak kepada murid-muridnya. Saya berikan pembelajarannya tetap jaga jarak. Makanya saya suka di rumah siapa yang kebetulan mencukupi, atau kalau ada rumah kosong atau pun masjid. Lokasinya seperti itu. Misalkan anak ada lima orang, itu bisa diatur posisinya tidak berdekatan, tuturnya.

Awalnya, dia harus merogoh kocek sendiri untuk uang membeli bensin dan fotokopi materi pembelajaran. Alhamdulillah yang tadinya fotokopi materi, dana operasional, dan sebagainya saya gunakan uang sendiri, [sekarang]. Kemudian waktu pas munggahan (hari pertama puasa) ada saja uang bensin untuk pengganti home visit, ungkap pria 48 tahun ini.

Salah satu materi yang diajarkan Eva adalah mengenai virus corona. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengintruksikan sekolah untuk menyampaikan materi tentang corona. Namun sayangnya, contoh dan anjuran penggunaan masker tidak bisa selalu disampaikan karena kelangkaan barang itu di wilayahnya. Saya memberi pemahaman anak tentang wabah ini, tapi waktu pembelajaran minggu pertama, jangan untuk anak, misalnya masker, untuk saya sendiri tidak tersedia. Saya juga mau beli pribadi tidak ada, ujar dia.

class=wp-image-23263

Eva mengaku bersikap realistis mengenai target pembelajaran. Apalagi, sebentar lagi tahun ajaran akan berakhir. Nggak mungkin (target pembelajaran) tercapai. Masih ada tiga tema lagi (yang harus diajarkan). Satu tema satu buku. Tidak mungkin diajarkan dengan situasi dan waktu seperti ini. Tapi saya cari mata pelajaran yang materinya belum sama sekali diajarkan.

Target kurikulum

Inisiatif Eva mendapat apresiasi dari para guru disekolahnya. Untuk door to door mengatasi belajar yang terhambat, tapi fasilitas fotokopi materi pembelajaran dan uang transportasi bagi Eva memang sedikit menjadi hambatan. Meski diakui cara Eva lebih efektif, tapi menurutnya, tidak semua guru di sekolahnya melakukan metode yang sama.

Guru yang lain, kata Eva, tetap ingin melakukan tugas mengajar, namun dengan teknik dan cara yang berbeda. Semisal, memberikan tugas kepada muridnya melalui orang tua. Eva tidak khawatir target kurikulum yang gagal dicapai di masa pandemi ini, mengingat cara pembelajaran yang tidak seragam dan penuh keterbatasan.

Ia berpatokan pada kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menghilangkan target kurikulum di masa pandemi Covid 19. Kalau sekarang tidak ada target kurikulum. Kalau ada target kurikulum nanti harus semua (sekolah) kan. Menurut mendikbud juga, pembelajaran tidak harus punya target untuk menuntaskan kurikulum, tapi hanya supaya anak berusaha untuk belajar, tapi tidak dibatasi harus tuntas (kurikulum), ujarnya.

Mengingat seperti disebutkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengeluarkan surat edaran tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Covid-19 yang dalam surat edaran itu, Nadiem mengeluarkan beberapa poin kebijakan, antara lain pembatalan ujian nasional, kelulusan, dan kenaikan kelas. Nadiem juga menegaskan agar pihak sekolah tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh.

Baik ujian sekolah maupun ujian akhir semester dirancang untuk mendorong aktivitas belajar yang bermakna, dan tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh, sebut Nadiem dalam siaran pers di situs Kemendikbud pada 24 Maret 2020 lalu.

Skenario pendidikan semasa pandemi

Sebelumnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak pemerintah segera membuat skenario pendidikan pada masa pandemi dan bencana pada peringatan Hari Pendidikan Nasional. Pemerintah harus segera membuat skenario pendidikan jangka pendek untuk menghadapi krisis akibat pandemi COVID-19 saat ini serta menyiapkan skenario jangka panjang untuk mengantisipasi kemungkinan kejadian bencana pada masa mendatang, kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim.

FSGI menekankan pentingnya penyusunan kurikulum darurat untuk masa krisis, ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan berbagai keterbatasan, mulai dari keterbatasan media pembelajaran, akses terhadap media belajar, keterbatasan interaksi langsung, serta keterbatasan ketersediaan waktu dan biaya.

Kurikulum pembelajaran yang dipraktikkan dalam masa krisis akibat pandemi saat ini adalah kurikulum yang dibuat pada masa normal untuk keadaan normal pula. Menurutnya, kurikulum yang dibutuhkan saat ini adalah kurikulum yang mampu beradaptasi dengan kondisi yang serba terbatas. Satriwan menyarankan pemerintah membenahi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.

Fasilitas tidak merata

Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Natuna, Suherman, menyetujui arahan dari Kemendikbud dan dinas pendidikan daerah agar pembelajaran lebih difokuskan pada tema Covid 19. Kalau kita mengejar target kurikulum seperti pada umumnya, menurut saya gak akan terkejar dan tidak pas timing-nya, kata Suherman didepan media belum lama ini.

class=wp-image-23265
Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Natuna, Suherman

Dia juga menyinggung soal upaya meningkatkan standar minimal pelayanan pendidikan, salah satunya peningkatan kualifikasi pendidikan guru PNS dan Non PNS. Berdasarkan hasil analisis dari Standar Penjamin Mutu Internal (SPMI) Natuna, masih ada dua rapor merah yang harus di selesaikan, yaitu standar Guru Tenaga Kependidikan (GTK) dan Sarana dan Prasarana, ujar Suherman.

Selain adanya guru yang kualifikasi pendidikannya belum S1 dan D4, atau linier antara latar belakang pendidikannya, dengan tugas mereka di sekolah. Kita mencoba melakukan kerjasama dengan Universitas Terbuka (UT), dalam rangka mendidik guru-guru kita yang belum S1, D4 atau belum linier dengan tugasnya di sekolah, ujarnya.

Fasilitas internet

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, tingkat penetrasi internet di perdesaan rata-rata 51.91%, di perkotaan pun rata-rata 78,08%. Kepemilikan komputer, yang menjadi media penting untuk pembelajaran, sangat rendah. Di pedesaan sebanyak 9.93%, sedangkan di perkotaan sebanyak 28,43%.

Kemendikbud menyadari pembelajaran tidak akan optimal lantaran fasilitas yang tidak merata. Memang tidak semua daerah punya akses smartphone ataupun koneksi internet yang baik. Jadi ini merupakan suatu hal yang menantang. Tetapi kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kerja sama ke depan memastikan sekolah bisa menyelenggarakan pembelajaran daring, ungkap Nadiem dalam siaran persnya, akhir Maret lalu.

Pemerintah menyiasatinya dengan menyediakan siaran PJJ di TVRI dan RRI, tapi itu pun belum menjangkau sejumlah daerah. Di Kabupaten Natuna misalnya, fasilitas komunikasi cukup tersedia, tapi tidak di kampung-kampung terpencil yang dipisahkan oleh banyak pulau.

Kalau di wilayah Natuna untuk menangkap sinyal televisi ada yang berbayar. Jadi, banyak sekali kendala yang terjadi untuk pembelajaran jarak jauh ini. Makanya, bisa dipahami ada teman-teman guru yang kemudian melakukan pembelajaran door to door, kata Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Natuna, Suherman.

Sementara para kepala sekolah ditingkat SD, SMP dan SMA di Kabupaten Natuna bersikap pasrah. Situasinya tidak memungkinkan. Kalau mau siaran TVRI ada di Wilayah Natuna secara merata, itu perlu proses, perlu teknologi, tidak bisa mendadak begini. Itu kan pembangunannya berskala besar, jadi tidak bisa mendadak diadakan. Sulit juga minta solusi ke pemerintah kan semuanya juga sedang kesulitan, ungkap para kepala sekolah di Natuna. (rp.sdp/*)

Tags : -,