Pelaku industri galangan kapal nelayan dalam negeri memilih untuk fokus ke bisnis perbaikan karena sepi order
embuatan kapal nelayan tradisional bisa dibilang mati segan hidup tak mau. Ya, beberapa bulan terakhir pemesanan kapal nelayan tradisional sepi dari order. Dulu, pemesan bukan hanya dari kalangan nelayan lokal saja melainkan dari luar daerah terkadang ada yang pesan mau dibikini.
Salah satunya adalah Saleh, pembuat kapal nelayan tradisional yang bermukim di kawasan Desa Bakong, Dabo Singkep, Kabupaten Daik Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Di Desa Bakong ia sudah sejak usia remaja menekuni usaha tersebut. Namun, sekarang justru pesanan sudah mulai berkurang bahkan dalam waktu 5 bulan hanya ada 1 kapal yang dibuat, bahkan bisa tak ada sama sekali.
Menurut Saleh dikontak ponselnya tadi Kamis, (11/6/2020) kurangnya warga nelayan memesan kapal buatan tangannya dikarenakan selain hasil tangkapan ikan laut sudah mulai berkurang, juga disebabkan sulitnya mencari bahan baku kapal dengan jenis kayu meranti laut. Sementara, untuk tulang kapal dari kayu kayu resak dan pasaknya kayu ulin yang diakui belaknagan terhitung sudah mulai sulit diperoleh. Sekarang kayu meranti sulit didapat, berdampak pada usaha pembuatan kapal. Tapi memang, ada saja orang yang pesan meskipun tidak seperti dulu, kata Saleh.
Ia mengaku membuat kapal nelayan jenis kayu sesuai pesanan dengan ukuran 30 GT (Grosstonase) . Dikatakannya lebih jauh, untuk pembuatan 1 unit kapal jenis kayu standar dipatok sebesar Rp 200-300 juta dengan waktu pengerjaan selama 3-4 bulan. Sementara untuk kelengkapan perijinan yang harus ia penuhi seperti, Akta Perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Izin Lingkungan (HO), Izin Industri, Legalitas Perkayuan dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) harus dipenuhi.
Senada disebutkan Saleh, demikian juga diakui Atok juga salah seorang pengusaha galangan kapal nelayan dibilangan Desa Bakong. Ia menyebutkan nasib sama saat ini juga dialami rekan-rekan usaha lainnya seperti Acai, Toni, Smin, Alai, Atio, yang juga telah lama menekuni usaha pembuatan kapal nelayan dan telah mempunyai banyak mitra berpengalaman di bidang perkapalan kayu di daerah Dabo Singkep, Lingga dilakukan sistem pembuatan kapal tradisional dari turun temurun. Sayangnya informasi beredar tetap saja para usaha galangan kapal nelayan di desa itu tak memiliki standar perkapalan BKI (Biro Klasifikasi Indonesia), membuat terkadala dan terbatasnya jaringan pemasaran.
Namun warga disekitar Desa Bakong banyak yang telah mengakui, kapal yang diolah dari tangan Saleh dibandingkan dengan produksi lainnya lebih menjaga kualitas. Oleh karenanya, dahulu banyak nelayan yang memesan kapal padanya. Kalau sekarang bisa dilihat kondisinya, 1 kapal pun sangat jarang di buat walaupun ada saja, tapi sudah tidak seperti dahulu, kata Salman, warga setempat.
Galangan Kapal: Jangankan New Normal, Hidup Saja Abnormal
Dalam masa pandemi virus corona (Covid-19) ini, tidak ada satu pun usaha yang tidak terdampak. Tetapi, khusus untuk bisnis galangan kapal ceritanya agak sedikit berbeda. Kondisinya sudah berdarah-darah jauh sebelum virus corona bersimaharajalela. Wabah ini hanya membuatnya makin parah. Amat bisa jadi, pelaku usaha ini berpotensi game over pada akhirnya jika tak ada antisipasi dan solusi berusaha. Bagi bisnis ini, jangankan menyambut new normal, hidup saja abnormal.
Sudah beberapa bulan ini Kabupaten Daik Lingga diberlakukan PSBB, bahkan mungkin sudah memasuki New Normal. Tapi para usaha galangan kapal (shipyard) adalah fasilitas di pinggir pantai/sungai tempat dibangunnya kapal nelayan. Shipyard sering dipertukarkan dengan kata dockyard yang artinya identik kehidupannya sudah pada abnormal, sebutnya.
Menurut informasinya, di Desa Bakong ada 7 usaha galangan kapal nelayan yang selama 5 tahun terkahir beroperasi, namun hinggga kini belum terdengar hingga menutup usahanya, tapi dengan adanya covid-19 para usaha galangan kapal nelayan mulai secara perlahan menyusutnya proyek pemesanan. Bukan tidak mungkin akibat gejala virus yang belum terhenti total membuat shipyard kembali akan ditutup dalam beberapa bulan ke depan hingga tahun-tahun berikutnya. Kelompok 7 usaha galangan kapal nelayan di Kabupaten Daik Lingga itu merupakan pemain divisi utama yang menguasai lebih dari 75% order di daerah. Sementara sisa lainnya merupakan pemain divisi dua dan akan segera menjadi 'pemakaman' karena sudah tidak ada order lagi.
Ada sebagian usaha galangan kapal nelayan diprediksi tidak akan punya order lagi. Ada juga tengah berupaya menyelesaikan order terakhirnya, kata Wawan, warga lainnya.
Industri Galangan Kapal Butuh Bank Maritim
Dewan Pengurus Cabang (DPC) Iperindo (Ikatan Perusahaan Industri Galangan Kapal dan Lepas Pantai Indonesia) Kepri diketuai Ali Ulai yang juga sebagai Direktur Utama PT Citra Shipyard, yang dilantik Ketua Umum Iperendo Pusat, Eddy Kurniawan Logam di Hotel Swiss-Bell Harbourbay Batam kemarin, sebelumnya didepan media mengatakan sejak 2018 kondisi industri galangan kapal dinilai kurang baik karena hampir tidak ada pengadaan pembangunan kapal pemerintah. Daya beli kapal baru dari pihak swasta juga masih lemah.
Karena kondisi ini, galangan kapal anggota Iperindo fokus pada perbaikan saja. Order ada, tetapi tidak banyak, ujarnya belum lama ini.
Dia menyebutkan tingkat utilitas galangan kapal sepanjang tahun lalu hanya sekitar 30% dari kapasitas terpasang sebesar 1,2 juta GT. Untuk tetap mampu bernapas, industri galangan kapal memilih untuk menggenjot bisnis perbaikan kapal. Untuk tahun ini, Ali menyebutkan hingga kuartal pertama kondisi permintaan kapal tidak ada perubahan dari tahun lalu. Semoga setelah pilpres nanti ada arah perbaikan, kata dia.
Sementara itu, agar pesanan kapal dalam negeri meningkat, industri juga mengajukan permohonan moratorium impor kapal kepada pemerintah. Permohonan tersebut menurutnya dapat memulihkan kondisi industri pembangunan kapal yang masih lesu pesanan. Kondisi yang lesu membuat industri galangan kapal dalam negeri masih bergantung dari reparasi kapal, bukan pembangunan. Paling tidak kita harus berani mengambil keputusan [moratorium] itu. Dengan membatasi impor kapal bekas maupun kapal-kapal baru yang ukurannya sudah bisa diproduksi dalam negeri, maka industri galangan dalam negeri bisa tumbuh, tuturnya.
Geliat galangan kapal dalam negeri semakin lesu saja, tidak seperti kegiatan di tahun 2016 dan 2017. Lesunya industri galangan kapal tidak terlepas dari efek bunga Bank yang tinggi dan beberapa regulasi Pemerintah. Galangan kapal dalam negeri lagi sepi order. Saat ini hanya pekerjaan repair atau docking, kata Amat Busro, Pemerhati Perkapalan di Tanjung Pinang, Kepri dalam bincang-bincangnya.
Pihak Iperindo berharap kepada Pemerintah Republik Indonesia, agar merealisasikan keberadaan Bank maritim yang khusus memberi pinjaman berbunga rendah kepada industri galangan kapal maupun pelayaran.
Sebagai daerah maritim [Kepri], lanjut Amat Busro, begitu banyaknya potensi perekonomian bisa digali yang memanfaatkan fasilitas kapal, antara lain kapal nelayan, kapal niaga umum, kapal khusus kebutuhan lepas pantai (oil dan gas), termasuk kapal perang. Selain Bank kemaritiman, industri galangan kapal juga butuh dukungan Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan moratorium importasi kapal. Hal itu akan mendorong berkembangnya industri galangan nasional, serta menghindari pelarian devisa keluar, pungkasnya.
Bagaimana dengan kondisi usaha galangan kapal nelayan di daerah?
Kondisinya setali tiga uang. Bahkan bisa jadi lebih parah. Ihwal keadaan yang mengenaskan ini sudah menggelayuti sekitar para usaha galangan di daerah sejak waktu yang cukup lama. Kondisi mereka sedikit membaik pada periode 2015 hingga 2017 saat pemerintah memesan berbagai macam kapal untuk beragam keperluan.
Data Asosiasi Galangan Nasional (Iperindo) mengungkapkan, dalam kurun tersebut, sebanyak 100 unit kapal tipe coaster dipesan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kapal-kapal ini merupakan bagian dari program Tol Laut pemerintah dan semuanya kini sudah melaut. Instansi ini juga memesan 10 unit kapal navigasi dan 73 unit kapal patrol.
Setelah 2015-2017 tidak terdengar, paling tidak pemerintah memesan kapal kepada galangan nasional dalam jumlah yang lumayan banyak. Galangan akhirnya lebih banyak menerima pekerjaan reparasi/docking. Lumayanlah untuk bertahan hidup. Pasalnya, keuntungan pekerjaan reparasi tidak sebesar order new building dari sisi finansial.
Sebaran galangan kapal nasional tidak merata. Dari 141 pelabuhan di Indonesia (kelolaan BUMN pelabuhan) hanya 20% di antaranya yang memiliki galangan. Sebagian besar terpusat di Batam, Tanjung Priok (Jakarta), dan Surabaya. Karena jauh dari pelabuhan, kapal-kapal yang ingin dok harus berlayar cukup jauh menuju galangan tertentu di pelabuhan lain. Hal ini jelas mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi operator kapal yang ingin reparasi.
Sebagian pengamat perkapalan menilai, fasilitas galangan pun cekak. Di Pelabuhan Semayang, Balikpapan, Kalimantan Timur, kapasitas dok hanya mampu menangani kapal-kapal dengan panjang maksimal 60 meter. Sementara pelabuhan tersebut sering disandari kapal dengan panjang sampai 250 meter. Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara punya situasi yang sama. Kapal-kapal yang berlabuh di sana ada panjangnya sampai 200 meter, tetapi galangan yang ada kapasitas dok-nya hanya bisa untuk kapal-kapal dengan panjang di bawah 50 meter.
Akibat ketiadaan order pembangunan kapal baru sementara pekerjaan reparasi juga tak banyak, shipyard berubah menjadi graveyard. Sepi bak kuburan. Sebagai ilustrasi, biaya perawatan (dok) berkisar sekitar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar. Ini tergantung besar kapal dan jenis kapal. Jika kapalnya besar, dapat dipastikan ongkos docking-nya juga besar. Pekerjaan perawatan meliputi penggantian pelat seluruh bagian kapal, kontrol poros baling-baling kapal, dan lainnya.
Seperti disebutkan Amat Busro, Pemerhati Perkapalan di Tanjung Pinang, Kepri menilai untuk menggairahkan industri galangan kapal baik didaerah, salah satu caranya adalah dengan menyehatkan industri pelayaran (shipping) lebih dulu. Dibutuhkan langkah radikal dalam bidang kebijakan finansial untuk ini. Saat ini tidak ada dukungan keuangan yang dikhususkan untuk pengadaan atau investasi armada kapal. Bunga pinjaman untuk investasi pembelian kapal disamakan dengan investasi lain dan tenor waktu pengembaliannya juga sekitar 7 tahun.
Sementara usia produktif kapal baru relatif panjang, sekitar 20 tahun. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% yang dikenakan untuk pembelian kapal baru di galangan kapal dalam negeri membuat pengadaan di galangan kapal dalam negeri menjadi sangat tidak kompetitif. Alternatifnya, pengusaha pelayaran umumnya membeli kapal bekas buatan Jepang, China, Korea, dan sebagian kecil dari Eropa. Sekaligus pinjam duit dari sumber-sumber luar negeri untuk membelinya.
Bila rusak, perbaikan dilakukan di galangan kapal dalam negeri, dengan mendatangkan suku cadang dari luar negeri. Kendati kapal dibuat di galangan kapal dalam negeri, sebagian besar komponennya tetap diimpor, mulai dari mesin, peralatan navigasi dan keselamatan. Bahkan, sebagian besar pelat bajanya juga masih dibeli dari luar negeri. Akibatnya, biaya operasi galangan membengkak.
Sebetulnya ada berbagai paket deregulasi yang sudah diluncurkan oleh pemerintah untuk menyehatkan industri galangan kapal. Salah satunya, negara menanggung bea masuk untuk pembelian komponen impor di muka. Namun tidak berjalan efektif karena prosedurnya cukup rumit; ada sekian persyaratan yang harus dipenuhi galangan agar kemudahan tersebut bisa mereka nikmati. Galangan akhirnya membayar belanjaannya dengan harga normal dan berharap dapat restitusi nantinya.
Kini, orang-orang mulai bicara new normal yang akan diterapkan setelah Covid-19 berlalu. Kalangan kemaritiman, mulai dari operator pelabuhan, bisnis pelayaran, logistik dan sebagainya, sudah berancang-ancang dengan sejumlah langkah. Sayang, industri galangan kapal lokal tidak terdengar suaranya di tengah keriuhan yang ada. Memang, sektor galangan nasional sedikit lambat dalam urusan digitalisasi, nasib sama tentu dialami galangan kapal daerah. Hingga kini semuanya masih business as usual. Di luar sana misalnya, sudah dijalankan survei atas pembangunan/reparasi secara online tanpa perlu kehadiran fisik surveyor dari badan klasifikasi. Di sini, nyaris tak terdengar. Jadi benar juga, jangankan new normal, hidup saja sudah abnormal, pungkasnya. (surya dharma)
Tags : -,