Lingkungan   2020/06/14 15:54 WIB

Pandemi Virus Corona Buat 'Anak-anak Ikut Bekerja'

Pandemi Virus Corona Buat 'Anak-anak Ikut Bekerja'

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperingatkan pandemi Covid-19 besar kemungkinan akan menambah jumlah anak-anak yang terpaksa bekerja membahayakan kesehatan.

class=wp-image-20818

ertepatan dengan Hari Anti-Buruh Anak se-Dunia, ILO mengatakan kesulitan anggaran akibat dampak ekonomi pandemi virus corona bisa melemahkan upaya perlindungan anak melalui penyusunan undang-undang.

Perlindungan undang-undang ini sangat krusial untuk memastikan anak-anak bisa menikmati masa kanak-kanak mereka, mengembangkan potensi diri dan terbebas dari hal-hal yang mengganggu perkembangan fisik dan mental. Kami khawatir, banyak negara tidak lagi memberi perhatian besar dalam hal legislasi ini dan menghapus aturan-aturan yang ditujukan melindungi dan memastikan anak tidak dipaksa bekerja, ujar Benjamin Smith, pakar buruh anak di ILO dilansir BBC, Jumat (12/06).

Jika ini terjadi, saya katakan itu adalah perkembangan yang tak bisa diterima. Krisis [Covid-19] bukan alasan untuk memundurkan kemajuan yang telah kita capai sejauh ini, kata Smith.

Berapa jumlah anak yang bekerja?

ILO menegaskan bahwa memaksa anak bekerja adalah pelanggaran hak asasi manusia. Yang dikhawatirkan adalah, seiring dengan menyebarnya wabah virus corona, angka buruh anak naik tajam karena di saat pandemi banyak anak yang tidak bersekolah karena kegiatan belajar mengajar dihentikan.

Selain tutupnya sekolah, wabah juga menyebabkan kenaikan angka keluarga miskin, situasi yang memaksa orang tua meminta anak-anak mereka bekerja. Angka terbaru yang dirilis ILO menyebutkan ada sekitar 152 juta anak dengan usia antara lima dan 17 tahun yang dipaksa bekerja.

Sekitar setengahnya bekerja dalam kondisi yang mengancam keselamatan fisik dan membahayakan kesehatan. Tren ini kebanyakan terjadi di Afrika, di mana satu dari lima anak adalah bagian dari angkatan kerja, menurut estimasi pada 2016. ILO mengatakan sebagian besar buruh atau pekerja anak terdiri atas mereka yang bekerja dalam unit keluarga dan tidak mendapatkan bayaran. Organisasi ini memiliki sejumlah konvensi menentang buruh anak yang telah diadopsi oleh lebih dari 180 negara.

Telah disepakati komitmen untuk menghapus buruh anak pada 2025 dan komitmen ini telah pula masuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Sejumlah organisasi yang memantau masalah ini mengatakan, angka buruh ini terus menurun di seluruh dunia. Namun pakar buruh anak di ILO, Benjamin Smith, khawatir pandemi akan mendorong keluarga memaksa anak-anak mereka untuk bekerja.

Muncul juga kekhawatiran, kesulitan keuangan yang dialami sejumlah negara akan menyebabkan upaya perlindungan anak melalui undang-undang akan terabaikan atau setidaknya menjadi tidak optimal. Antara 2000 hingga 2016, buruh anak di seluruh dunia 38% di seluruh dunia, yang berarti jumlah buruh anak berkurang 94 juta.

Pada 2014, Bolivia menurunkan usia anak yang secara legal bisa dimasukkan ke angkatan kerja, dari 14 menjadi 10 tahun, dengan syarat-syarat khusus. Keputusan ini memicu kontroversi dan dikecam secara meluas oleh para pegiat HAM. Beberapa negara lain mungkin tidak secara resmi menurunkan usia anak yang secara legal boleh dipekerjakan, namun tetap saja memiliki angka buruh anak yang tinggi. Beberapa pakar juga mempertanyakan larangan global buruh anak dengan alasan larangan tersebut tidak perlu dan justru merugikan. Alasannya, pekerjaan yang dijalankan oleh anak-anak tidak selalu berdampak negatif terhadap mereka.

Apakah bekerja berdampak positif bagi anak-anak di negara miskin?

Guru besar pembangunan internasional di Universitas Oxford, Jo Boyden, pada 2018 menjelaskan banyak anak yang bekerja dan tetap bisa mendapatkan hak pendidikan. Dalam situasi ini, upah yang didapat dimanfaatkan untuk membeli buku pelajaran, seragam sekolah, dan membantu menambah penghasilan orang tua.

Boyden juga mengatakan bekerja di usia dini membantu menyiapkan mereka masuk ke lapangan kerja karena setidaknya mereka sudah punya keterampilan. Mereka tahu bagaimana mengatur keuangan, mereka tahu bagaimana menjual barang-barang, kata Boyden yang banyak melakukan penelitian tentang buruh anak di Ethiopia, India, Peru, dan Vietnam.

Namun, pakar di ILO, Benjamin Smith, menentang upaya mengendurkan perlindungan anak melalui legislasi, misalnya dengan menurunkan usia minimun anak yang bisa dipekerjakan secara legal. Smith bisa memahani situasi di mana anak yang bekerja bisa membantu beban orang tua, namun bersikukuh undang-undang yang saat ini tidak semestinya diubah untuk mengakomodasi masuknya anak masuk angkatan kerja pada usia dini. Yang kami tentang adalah, jangan sampai ada upaya mengurangi perlindungan anak di seluruh dunia, kata Smith.

Buruh anak mengabadikan kemiskinan dan merampas masa kanak-kanak, katanya.

Wilmar klaim tidak mempekerjakan anak

Perusahaan kelapa sawit yang berbasis di Singapura, Wilmar International, menyambut baik laporan Amnesty International mengenai penggunaan buruh anak dalam perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Sumatra Utara.

Dalam keterangan pers yang diterima BBC, merespons laporan Amnesty International, Wilmar mengatakan telah membuat investigasi internal yang dilakukan sejak Agustus 2016 lalu, yang berkaitan dengan tuduhan yang disebutkan oleh Amnesty International yang berkaitan dengan dua perusahaan - PT Daya Labuhan Indah dan PT Perkebunan Milano - di Sumatra Utara.

Dalam laporannya Amnesty International menyebutkan perusahaan kelapa sawit yang berbasis di Singapura, Wilmar disebutkan menggunakan buruh anak dengan usia mulai delapan tahun, dan melakukan pelanggaran terhadap hak pekerja perempuan dengan jam kerja yang panjang dan upah kurang dari standar internasional yaitu US$2,5 atau sekitar Rp33.000 per hari.

Amnesty juga menyebutkan para pekerja berada dalam lingkungan kerja yang buruk dan terpapar zat kimia beracun yang digunakan dalam perkebunan. Wilmar juga mengatakan bahwa pihaknya mengetahui laporan Amnesty International akan memfokuskan pada masalah hak pekerja dalam industri kepala sawit. Kami menyambut laporan ini, untuk membantu memperhatikan masalah buruh dalam industri kelapa sawit dan khususnya Indonesia. Wilmar telah menerapkan sejumlah upaya dan sistem untuk berhubungan dengan masalah buruh dan sosial di dalam operasi dan rantai pasokan.

Wilmar juga mengatakan telah mempublikasikan masalah ini dan tindakan internal yang dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Keterangan tertulisnya menyebutkan Wilmar memahami dan menghormati seluruh hak pekerja, termasuk pekerja kontrak, pekerja sementara dan buruh migran. Prinsip keberlanjutan ini juga termasuk tidak dilakukannya deforestasi, tidak menggunakan lahan gambut dan eksploitasi, yang diluncurkan pada Desember 2013, sebagai salah satu komitmen utama kami.

Gabungan pengusaha kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) membantah adanya penggunaan buruh anak dan juga pelanggaran terhadap hak pekerja perempuan seperti yang dilaporkan oleh organisasi pemantau HAM, Amnesty International. Juru bicara GAPKI Topan Mahdi mengatakan seluruh perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia mematuhi aturan ketenagakerjaan.

Kalau kita merujuk pada aturan itu jelas tidak mungkin bahwa ada perusahaan sawit yang nekat mempekerjakan anak di bawah umur sebagai pekerja, karena itu melanggar hukum dan itu akan membawa konsekuensi yang berat, saya pikir data dari Amnesty International itu harus diverifikasi, mereka melakukan penelitian di mana, dan saat apa mereka menetapkan demikian dan kapan mereka melakukan penelitian, kata Topan.

Perusahaan Wilmar, disebutkan oleh Amnesty, memasok kelapa sawit untuk perusahaan makanan dan kebutuhan sehari-hari seperti AFAMSA, ADM, Colgate-Pakmolive, Elevance, Kellogg's, Nestle, Procter &Gamble, Reckitt Benckiser dan Unilever. (*)

Tags : -,