Hukrim   2023/10/11 10:35 WIB

2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana, Direktur HMPB: 'Tentunya Setelah Terdakwa Dinyatakan Bersalah'

2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana, Direktur HMPB: 'Tentunya Setelah Terdakwa Dinyatakan Bersalah'
Larshen Yunus, Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik [HMPB] Satya Wicaksana menyatakan, ada 2 [dua] cara korban menuntut ganti rugi kepada terpidana.

Setelah terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti telah melakukan suatu tindak pidana, korban dapat meminta ganti rugi terhadap terpidana melalui 2 upaya alternatif, yaitu gugatan perdata atas perbuatan yang melawan hukum atau membuat permohonan restitusi kepada pengadilan atau melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Sebelumnya perlu Anda ketahui, Pasal 101 KUHAP menyebutkan ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang tidak diatur lain. Artinya pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan terpidana dapat mengajukan gugatan, bahkan setelah terdakwa diputuskan bersalah.

Dasar hukum permohonan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Adapun unsur untuk mengajukan gugatan ini adalah adanya perbuatan yang melawan hukum, kesalahan, kerugian yang timbul, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Hak menuntut ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak memerlukan somasi. Kapan saja, pihak yang dirugikan dapat langsung mengajukan gugatan. KUH Perdata sendiri tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, penggugat bisa mengajukan ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan (material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).

Kerugiaan materiil merupakan kerugian yang senyatanya diderita dan dapat dihitung jumlahnya berdasarkan nominal uang sehingga ketika tuntutan materiil dikabulkan dalam putusan hakim maka penilaian dilakukan secara objektif.

Misalnya biaya pengobatan dan perbaikan kendaraan atas kecelakaan lalu lintas. Sedangkan immaterial diartikan sebagai “tidak bisa dibuktikan” merupakan kerugiaan yang diderita akibat perbuatan melawan hukum yang tidak dapat dibuktikan, dipulihkan kembali dan/atau menyebabkan terjadinya kehilangan kesenangan hidup sementara, ketakutan, sakit, dan terkejut sehingga tidak dapat dihitung berdasarkan uang.

Adapun cakupan kerugian immaterial menurut Putusan MA No. 650/PK/Pdt/1994 disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372 KUH Perdata ganti kerugian immateril hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara kematian, luka berat dan penghinaan.

Adapun Pasal 1365 KUH Perdata telah memberikan kemungkinan beberapa jenis gugatan perbuatan melawan hukum, antara lain:

  • ganti kerugian dalam bentuk uang;
  • ganti kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada keadaan semula;
  • pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum;
  • larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
  • meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;
  • pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.

Umumnya, pihak yang menuntut ganti kerugian harus dapat membuktikan besarnya kerugian. Akan tetapi, karena sulitnya pembuktian, hakim dapat menentukan besarnya kerugian menurut rasa keadilan.

Putusan MA No. 610 K/Sip/1968 menyebutkan meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedangkan penggugat tetap pada tuntutannya, hakim berwenang untuk menetapkan berapa pantasnya harus dibayar.

Sepanjang penelusuran kami, berikut persyaratan untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, yang mana untuk semua bukti surat dilegalisir di kantor pos:

Surat gugatan yang ditujukan ke Ketua Pengadilan Negeri yang sesuai dengan domisili tergugat;

  • Surat kuasa yang sudah dilegalisir (apabila ada kuasa hukum);
  • Bukti-bukti yang menguatkan untuk mengajukan gugatan.


Permohonan Restitusi

Upaya lain yang dapat ditempuh oleh korban adalah permohonan restitusi. Sebab, dalam hal korban tidak mengajukan permohonan restitusi dalam proses persidangan, permohonan dapat diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Demikian yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Perma 1/2022.

Korban yang mengajukan restitusi berhak memperoleh restitusi berupa:

  • ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
  • ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
  • penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
  • kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

Syarat untuk mengajukan permohonan restitusi harus memuat:

  • identitas pemohon;
  • identitas korban, dalam hal pemohon bukan korban sendiri;
  • uraian mengenai tindak pidana;
  • identitas terdakwa/termohon;
  • uraian kerugian yang diderita; dan besaran restitusi yang diminta.

Lebih lanjut, perihal prosedur permohonan restitusi dapat Anda baca dalam Tata Cara Permohonan Restitusi dan Kompensasi untuk Korban Tindak Pidana.

Sebagai tambahan informasi, permohonan restitusi dapat diajukan ke pengadilan langsung atau melalui LPSK, yang mana harus diajukan dengan durasi paling lama 90 hari sejak pemohon mengetahui putusan pengadilan atas tindak pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.

Serta pengadilan wajib memutus permohonan restitusi dalam bentuk penetapan paling lama 21 hari sejak sidang pertama. Apabila permohonan Restitusi diajukan melalui LPSK, maka salinan penetapan pengadilan disampaikan kepada LPSK paling lambat 7 hari dihitung sejak penetapan diucapkan. (*)

Tags : Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik, Direktur HMPB Larshen Yunus, Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana,