MUSIMIN seorang lelaki paruh baya tampak sibuk menata tanaman-tanaman anggrek dalam pot dan batang-batang kayu jati di halaman rumahnya yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lelaki itu sudah lebih dari 20 tahun membudidayakan anggrek hutan Gunung Merapi. Selama dua dekade berkiprah, Musimin telah menangkar sekitar 80 spesies anggrek yang beberapa di antaranya merupakan spesies khas kawasan Gunung Merapi. Musimin mengenang betapa dulu anggrek hutan masih mudah dijumpai. Orang-orang bisa mengambil dan menjualnya dengan mudah, tak banyak yang memperdulikan keberadaannya.
Tapi kondisi itu berubah setelah erupsi Merapi pada 1994 yang menghanguskan habitat asli anggrek-anggrek di lereng selatan bagian barat Gunung Merapi. Pun ditambah dengan kebakaran hutan di kawasan Turgo pada 2001. Sebagai warga lereng Merapi yang sejak kecil melihat keanekaragaman anggrek, Musimin terpanggil untuk melestarikannya. Dia sedih karena anggrek sudah jarang dijumpai, dan ingin anggrek kembali lagi di habitatnya. "Sejak 1996, saya mulai mengembangbiakkan tujuh spesies anggrek," katanya dirilis BBC News Indonesia.
Perannya, pada awal 2000-an, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY, memberikan 50 batang Anggrek Pandan (Vanda tricolor) kepada Musimin untuk ditangkar. Sejak itu Musimin rajin menangkar sampai mengikuti program pemerintahan bernama Gerakan Nasional Rehabiltiasi Hutan dan Lahan (GNRHL). pada 2003. Dengan program itu, Musimin semakin giat menanami dan menghijaukan hutan yang rusak karena peristiwa erupsi Merapi, baik yang statusnya hutan negara atau hutan rakyat. Bersama warga lain, sekitar 100 hektare hutan negara dan 20 hektar hutan rakyat mereka tanami dan hijaukan kembali.
Belajar nama-nama latin spesies anggrek
Pascaerupsi Merapi 2010, Musimin berkenalan dengan seorang peneliti yang melakukan riset soal anggrek. Namanya Sulistyono. Selama tiga bulan Musimin ikut melakukan pendataan habitat anggrek di hutan Merapi. Dari Sulistyono, Musimin belajar banyak tentang anggrek. Mulai dari nama-nama latinnya sampai cara pengembangbiakan di habitatnya agar anggrek tetap lestari di hutan.
Di halaman rumah Musimin, yang hanya berjarak sekitar 6 kilometer dari puncak Gunung Merapi, terdapat rumah kaca berukuran sekitar 6x15 meter sebagai tempat penangkaran anggrek. (Foto. YAYA MARJAN)
Saat pendataan anggrek pada 2011, dia mendapati kenyataan bahwa spesies anggrek banyak yang berkurang lantaran erupsi Merapi. Kala itu, hanya ditemukan sekitar 50-an spesies anggrek yang masih ada. Padahal sebelum erupsi 2010, ada sekitar 90-an spesies. "Saat pendataan kami menemukan sekitar 53 spesies anggrek," kata Musimin.
Dari pendataan itulah Musimin mulai mengenal spesies anggrek dan nama-nama latinnya. Seperti Vanda Tricolor untuk Anggrek Pandan, Denrobium Sagittatum untuk Anggrek Gergaji atau Anggrek Keris, Eria Retusa untuk Anggrek Gurem, Aerides Odoratus atau Anggrek Kolojengking, Coelogyne Speciosa untuk Anggrek Kupu, Paphiophedilum Javanicum untuk Anggrek Lorek, dan Arundina Graminifolia untuk Anggrek Bambu atau Anggrek Sempritan.
Musimin juga belajar bahwa anggrek banyak jenisnya, tergantung dari cara hidupnya. Ada yang hidupnya epifit atau menempel pada tegakan atau pohon baik yang masih hidup atau sudah mati, terestrik atau anggrek yang hidup dalam tanah, saprofit atau anggrek yang hidup dalam humus atau bahan-bahan organik, dan lithofit atau anggrek yang hidup di bebatuan.
Tumbuhnya spesies Anggrek Merapi
Mendapat ilmu dan pengalaman beharga, Musimin semakin rajin membudidayakan dan menangkar anggrek di halaman depan rumahnya. Seiring berjalannya waktu, dari 50-an spesies anggrek yang berhasil didata pada 2011, kini Musimin telah berhasil menambah koleksi dan mengumpulkan sekitar 110 spesies anggrek. Dari 110 jumlah anggrek yang berhasil dia temukan, hanya sekitar 80-an spesies yang baru bisa dia tangkar. "Yang kami budidayakan hanya sekitar 80 spesies," kata Musimin.
Secara terpisah, Sulistyono—peneliti dari Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang pernah mengajak Musimin mendata anggrek—mengaku berkurangnya habitat anggrek pascaerupsi Merapi 2010. Sejumlah anggrek seperti Vanda tricolor dan Trichotosia ferox jarang ditemukan dan hampir langka. Padahal, pada 1990-an, kedua spesies anggrek itu jamak dijumpai di kawasan Gunung Merapi. "Sejak erupsi, habitat anggrek di Merapi menurun termasuk Vanda tricolor dan Trichotosia ferox. Selain terkena erupsi, juga karena diperjualbelikan," kata Sulistyono.
Puncak Gunung Merapi, terdapat penangkaran anggrek. (Foto. YAYA MARJAN)
Keberhasilan Musimin membudidayakan dan menambah koleksi spesies anggrek di halaman depan rumahnya, tak membuat Sulistyono heran. Karena sejak awal mengenal Musimin, Sulistyono menilai Musimin adalah sosok yang rajin dan mau bekerja keras untuk benar-benar melestarikan lingkungan, khususnya anggrek Merapi. "Dia itu learning by doing," ujar Sulistyono.
Skema adopsi anggrek
Di halaman rumah Musimin, yang hanya berjarak sekitar 6 kilometer dari puncak Gunung Merapi, terdapat rumah kaca berukuran sekitar 6x15 meter sebagai tempat penangkaran anggrek. "Ini tempat budidaya awal tanaman sebelum dikembalikan ke habitat (hutan) nanti," katanya kembali menyebutkan secara berkala, Musimin sudah melakukan berjalan jauh menembus hutan di kawasan Gunung Merapi untuk mengembalikan anggrek ke habitatnya.
Musimin telah menyiapkan beberapa batang anggrek Vanda tricolor yang hendak dia lepas ke hutan. Tidak banyak yang dia bawa: tangga, gunting, serta beberapa gulungan tali ijuk berwarna hitam untuk mengikat anggrek ke inang. Setelah berpamitan pada isterinya, dia berjalan masuk hutan yang menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Udaranya sejuk dan daun-daun masih basah karena baru saja turun hujan. Meski usianya telah setengah abad lebih, tapi langkah Musimin masih cepat dan tangkas naik turun tanjakan dalam hutan.
Di sebuah tempat yang masih lebat dan sejuk dengan jajaran pohon Puspa (Schima walilcii), Musimin menghentikan langkah. Pohon-pohon itu diameternya bervariatif antara 20 cm - 50 cm. Merekalah yang menjadi inang bagi Vanda tricolor. Musimin lalu meletakkan tangga ke salah satu pohon, dan dengan hati-hati dia menaikinya. Gunting dan tali dia taruh dalam saku, tangan kirinya memegang anggrek, sementara tangan kanannya berpegangan pada tangga agar tidak jatuh. Tak sampai lama, anggrek Vanda tricolor berhasil terikat di pohon Puspa sebagai inangnya.
Beberapa anggrek terdapat nama individu dan lembaga
"Itu nama-nama adopter, orang-orang yang mengadopsi anggrek," kata Musimin sambil menunjuk papan nama berisi nama-nama adopter. Adopsi Anggrek adalah cara Musimin mengajak masyarakat luas untuk turut serta berkontribusi dalam melakukan konservasi lingkungan, khususnya habitat orchidaceae. Konsepnya, masyarakat memilih anggrek spesies Merapi untuk dilepas di hutan. Adopter, atau orang yang mengadopsi, tinggal memberikan dana perawatan kepada Musimin. Kemudian selama dua tahun Musimin akan merawat dan menjaga anggrek yang telah diadopsi.
"Jadi anggrek tidak dibawa pulang, tapi dikembalikan ke habitatnya dalam hutan biar tetap lestari di habitatnya," kata Musimin yang mengaku sudah sejak 2015 membuka peluang adopsi anggrek bagi masyarakat.
Ada tiga paket adopsi, yakni Platinum, Gold, dan Silver. Pembagian ini tergantung spesies anggrek yang diadopsi dan tingkat kelangkaannya. Kontribusi adopter untuk perawatan anggrek adalah Rp1 juta untuk Platinum, Rp850.000 untuk Gold, dan Rp650.000 untuk Silver. "Adopter kami kasih fasilitas T-shirt, sertifikat, dan suvenir berupa produk kopi dan teh," imbuhnya.
Adopter, kata Musimin, juga akan mendapatkan laporan setiap semester secara berkala. Jika adopter ingin melihatnya langsung, Musimin dengan senang hati akan menyertainya masuk ke hutan sembari belajar tentang habitat hutan. "Bisa juga sekalian sharing dan saling belajar bareng tentang anggrek," katanya.
Musimin selalu menolak orang yang ingin membeli anggrek langka meskipun dengan harga fantastis. Seperti siang itu, ada orang yang ingin membeli Trichotosia ferox, tapi Musimin menolaknya. "Jangan, itu untuk budidaya, tidak saya jual," kata Musimin dengan nada lemah lembut seraya memberikan pilihan anggrek lain yang spesiesnya lebih banyak atau menawarinya dengan konsep adopsi.
Menurutnya, boleh saja memelihara anggrek, tapi sebelumnya harus dibudidayakan dulu agar habitatnya jangan sampai punah. Dia menentang tindakan mengambil anggrek dari habitat di hutan lalu dijual. Dia mengatakan perilaku seperti itu justru sebuah pengkhianatan kepada generasi anak-cucu karena anggrek-angrek itu adalah kekayaan alam untuk generasi mendatang. "Itu untuk pembelajaran dan untuk kelestarian alam," kata Musimin mengapa dia susah sekali melepas anggrek untuk dijual.
Dia pun tidak memindahkan anggrek-anggreknya ke lokasi lain, walau Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), sejak 5 November telah menaikkan status Gunung Merapi menjadi Siaga, level 3. Lembaga itu meminta masyarakat tidak melakukan aktivitas dalam radius lima kilometer dari puncak Merapi. "Ya biar (anggreknya) di sini dan begini," kata Musimin.
Dia tetap membiarkan anggrek masih di tempat penangkaran di depan rumahnya karena termasuk daerah yang aman—berjarak sekitar enam kilometer lebih dari puncak Merapi. Sejak kecil, lokasi penangkaran anggrek Musimin memang selalu terhindar dari erupsi Merapi. Namun dia tetap berdoa dan berharap semuanya aman dan terhindar dari bahaya erupsi Merapi.
Museum habitat anggrek
Sebelum beranjak pulang dari lokasi tempat adopsi anggrek, Musimin mengatakan sebuah mimpinya yang belum terwujud, yakni adanya sebuah museum hidup yang menyimpan berbagai spesies anggrek Merapi di habitatnya. Bukan di tengah-tengah kota atau di pinggiran desa, melainkan museum yang terletak di hutan sehingga kelestarian habitat alam benar-benar terjaga. "Kami memimpikan di sini ada Museum Hidup Anggrek Merapi yang masuk di wilayah TNGM," kata Musimin sambil mengitarkan tangannya di sekeliling dia berdiri.
Posisi Musimin berdiri tepat berada di lokasi adopsi anggrek. Di situlah, menurut Musimin, lokasi yang cocok sebagai museum anggrek karena terdapat inang dan habitat ekosistem hutan yang masih terjaga. Tak perlu ada bangunan, cukup pohon-pohon puspa yang jumlahnya sekitar 300 batang sebagai inangnya dan bisa menjadi tempat bagi anggrek Merapi dari sisi barat, utara dan timur. Terlebih tempat itu selalu terhindar dari bahaya peristiwa Merapi. Apalagi Musimin menyaksikan sendiri bahwa tempat yang diimpikan menjadi Museum Hidup Anggrek Merapi selalu terhindar dari bencana erupsi Merapi dan terhindar dari lahar dan awan panas. "Kami berkeinginan di tempat itu anggrek bisa hidup lestari. Jadi nanti tidak usah cari (anggrek) ke mana-mana, tapi di situ tetap hidup dan indah," katanya.
Selain kelestarian semesta, Museum Hidup Anggrek Merapi juga bermanfaat untuk dunia pendidikan. Orang-orang yang ingin meneliti dan belajar anggrek bisa langsung melihat dan merasakan bagaiamana habitat anggrek sesungguhnya. Sehingga keberadaannya tidak hanya sebagai museum hidup bagi anggrek tapi juga untuk dunia pendidikan dan bisa menjadi tempat belajar siapa saja. "Dan dengan adanya pelestarian, konservasi khusus anggrek, bisa mencakup secara luas dalam upaya konservasi flora dan faunanya, semua terjaga," kata Musimin seraya beranjak pulang ke rumahnya.
Musimin sudah lebih dari 20 tahun membudidayakan anggrek hutan Gunung Merapi.
Ide itu sudah pernah dia lontarkan, tapi sayang belum banyak yang menanggapi sehingga mimpi Musimin sebagai penjaga mahkota hutan di lereng Gunung Merapi belum bisa terwujud. Sulistyono menilai impian Musimin sangat mungkin terwujud jika pemangku kebijakan mau mewujudkannya. Hal itu, menurut Sulistyono sudah pernah diujicobakan dan berhasil, sebuah praktik pelestarian alam di dalam habitat aslinya di kawasan TNGM dan mengajak masyarakat sebagai mitra. "Dari situ akan menjadi tempat pembelajaran bahwa konservasi bisa dijalankan secara insitu dan eksitu yang diupayakan antara masyarakat dan pemangku kepentingan (TNGM)," kata Sulistyono.
Widya Kridaningsih, dari pihak pengelola kawasan TNGM, mengaku sangat mengapresiasi keinginan Musimin menjadikan kawasan peruntukan konservasi hutan merapi sebagai museum hidup untuk habitat anggrek dan flora-fauna lainnya. "Kita sebagai pengelola sangat mengapresiasi dan mendukung untuk mewujudkan museum anggrek," kata Widya selaku Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TNGM, Selasa (03/11/2020).
Menurut Widya, dalam amanat undang-undang, konsep konservasi hutan konservasi adalah insitu, di dalam hutannya sendiri. Selain itu, juga memberikan akses manfaat dan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar hutan. Terlebih jika dalam kawasan hutan konservasi TNGM nantinya, bisa mengembalikan habitat flora-faunanya seperti sediakala termasuk jenis-jenis anggrek yang pernah hancur akibat erupsi Merapi. TNGM, lanjut Widya, telah mendukung Musimin sarana dan prasana greenhouse anggrek sebagai tempat awal penangkaran untuk selanjutnya dilepas ke hutan dalam program adopsi anggrek. "Dari program adopsi kita juga melakukan relokasi bersama-sama," kata Widya.
Musimin, lanjut Widya, adalah contoh bagaimana individu dan masyarakat dapat berperan dalam konservasi alam, meski dalam undang-undang, TNGM adalah institusi yang ditunjuk negara untuk melestarikan hutan di lereng Gunung Merapi. "Tanpa jasa Pak Musimin, saat ini mungkin kita tidak bisa mengenali atau menemukan kembali anggrek Merapi yang langka atau hilang karena erupsi Merapi," kata Widya.
Akan tetapi, Musimin tak mau disebut sebagai penyelamat anggrek. "Itu tugas saya sebagai manusia yang wajib melestarikan alam semesta. Kita hidup di dekat Merapi kenapa tidak bangga melestarikan yang ada di dekat Merapi itu sendiri?". (*)
Tags : Lestarikan Anggrek, Hutan Gunung Merapi, Musimin 20 Tahun Lestarikan Anggrek ,