AGAMA - Hampir tiga dekade, 850 saksi mata, lebih dari 7.000 dokumen, foto dan rekaman video, pengadilan di India memutuskan tak seorang pun bersalah dalam aksi pembongkaran Masjid Babri dari Abad ke-16 yang diserang oleh massa Hindu di kota suci Ayodhya.
Di antara 32 orang yang didakwa dan masih hidup adalah mantan Wakil Perdana Menteri LK Advani, dan sejumlah politikus senior dari Bharatiya Janata Party (BJP). Seperti dirilis BBC bahwa, keputusan pengadilan pada Rabu (30/09) membebaskan seluruh terdakwa dengan alasan pengrusakan masjid pada tahun 1992 merupakan ulah "orang-orang antisosial" yang tak terindentifikasi dan aksi itu tidak direncanakan.
Putusan diambil meskipun berbagai kesaksian menyebutkan bahwa pembongkaran, yang berlangsung hanya beberapa jam, sudah direncanakan sebelumnya dan dilakukan dengan impunitas dan unit kepolisian setempat berpura-pura tidak tahu ada kejadian di hadapan ribuan penonton. Tahun lalu, Mahkamah Agung India mengakui peristiwa itu sebagai "aksi yang sudah diperhitungkan" dan "pelanggaran yang mengerikan terhadap aturan hukum".
Lalu bagaimana menjelaskan vonis bebas itu?
Secara umum vonis ini dianggap sebagai penilaian negatif lagi terhadap sistem peradilan pidana yang kacau. Banyak orang khawatir sistem tersebut sudah rusak tanpa dapat diperbaiki lagi akibat dari campur tangan politik secara terang-terangan selama puluhan tahun, kekurangan dana dan akibat kapasitas yang lemah.
'Terpinggirkan dan merasa paling terhina sepanjang sejarah'
Secara khusus vonis ini semakin memarjinalkan penduduk Muslim India yang berjumlah 200 juta. Di bawah pemerintahan nasionalis Hindu BJP pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, Muslim di India terpinggirkan dan merasa paling terhina sepanjang sejarah masyarakat plural, sekuler di negara itu, yang dijuluki sebagai demokrasi terbesar di dunia sejak merdeka tahun 1947.
Massa telah menangkap dan membunuh warga Muslim karena mengonsumsi daging sapi atau mengangkut sapi, yang disucikan oleh mayoritas umat Hindu. Pemerintahan PM Modi mengubah undang-undang untuk mempercepat pemrosesan kewarganegaraan pengungsi non-Muslim dari negara-negara tetangga. Pemerintah juga memecah negara bagian dengan mayoritas penduduk Muslim, Jammu dan Kashmir, dan membatalkan status otonominya yang diamanatkan oleh konstitusi.
Tahun ini, umat Muslim secara khusus dituding menyebarkan virus corona baru setelah anggota Jamaah Tabligh menghadiri acara di Delhi. Acara-acara agama Hindu yang menarik massa lebih banyak selama pandemi tidak mendapat sorotan politik, publik atau media, atau dikambinghitamkan.
Tidak hanya itu. Mahasiswa dan aktivis Muslim ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas dugaan menghasut kerusuhan terkait dengan undang-undang kewarganegaraan yang kontroversial di Delhi akhir tahun lalu, sedangkan penghasut dari kelompok Hindu tak tersentuh sama sekali.
Vonis kasus Masjid Babri, menurut banyak warga Muslim, hanyalah kelanjutan dari penghinaan itu. Rasa keterasingan itu sungguh nyata. Partai Modi sama sekali tak menyembunyikan soal ideologi mayoritas Hindu itu. Berbagai saluran berita yang populer menjelekkan Muslim. Banyak di antara partai daerah yang sebelumnya berpengaruh, dan yang sebelumnya membela masyarakat, tampak meninggalkan mereka.
Muslim putus asa
Partai oposisi utama, Kongres, dituduh menggunakan warga Muslim untuk mendulang suara tanpa memberikan sesuatu kepada mereka. Komunitas Muslim sendiri tidak mempunyai banyak sosok untuk menyuarakan aspirasi mereka. "Muslim pada dasarnya kehilangan kepercayaan pada sistem. Mereka merasa dipinggirkan dan menganggap partai-partai politik, lembaga dan media gagal membantu mereka. Muncul keputusasaan mendalam di masyarakat," kata Asim Ali, peneliti junior di lembaga pemikir Centre for Policy Research, Delhi.
Memarjinalkan penduduk Muslim
Mereka "memikul beban ganda dengan sebutan 'tak nasionalis' dan 'ditenteramkan' pada saat bersamaan", kata satu laporan.
Tetapi ironisnya, walaupun banyak warga India menerima kenyataan bahwa Muslim diperlakukan secara tidak adil, komunitas Muslim sejatinya belum menikmati keuntungan sosial-ekonomi yang berarti, menurut para sejarawan.
Banyak warga Muslim terpinggirkan di perkampungan-perkampungan kumuh di kota-kota yang padat. Jumlah mereka yang masuk ke angkatan kepolisian federal hanya kurang dari 3% pada 2016, sedangkan jumlah warga Muslim mencapai lebih dari 14% dari total populasi. Hanya 8% warga Muslim di perkotaan mempunyai pekerjaan dengan gaji tetap, kurang dari dua kali rata-rata nasional, menurut satu laporan.
Mengaku tak membeda-bedakan agama
Pendaftaran masuk sekolah dasar tercatat tinggi, tetapi angka putus sekolah di tingkat sekolah menengah atas juga tinggi, faktor terbesarnya adalah ketidakmampuan ekonomi. Perwakilan Muslim di parlemen India menurun terus menerus- sekarang di bawah 5% untuk majelas rendah yang dipilih, berkurang dari angka 9% pada tahun 1980.
Ketika BJP berkuasa pada tahun 2014, itulah kali pertama partai menang tanpa seorang pun anggota parlemen Muslim. Modi dan kolega-koleganya secara konsisten mengatakan mereka tidak membeda-bedakan agama. Perdana menteri mengatakan ia mendapat dukungan dari banyak negara Islam dan tunjangan kesejahteraan skala luas yang digulirkannya menyentuh setiap warga yang miskin di India, tanpa memandang agama atau kasta.
Selama bertahun-tahun, BJP menyebut partai-partai oposisi liberal "mengklaim sekuler tetapi sebenarnya tidak". Sebagian pihak yakin tuduhan ini ada benarnya. Sebagai contoh, mereka menyebut komunis yang berkuasa di Negara Bagian Bengali Barat, India timur, selama lebih dari tiga dekade dan terus terang sekuler, menjamin perlindungan dan keamanan warga Muslim, yang berjumlah 25% dari total penduduk negara bagian itu.
Namun demikian, berbagai penelitian menunjukkan Muslim di Gujarat, negara bagian yang mengalami ketegangan berlatar belakang agama dan politik sektarian, mencatat keberhasilan ekonomi dan indeks pembangunan manusia lebih baik dibanding warga di Bengali. "Pasar di India ini nonagama. Jadi negara-negara bagian seperti Gujarat di mana bisnis berkembang, warga Hindu dan warga Muslim sama-sama berhasil," kata Mirza Asmer Beg, profesor hubungan internasional di Aligarh Muslim University di Uttar Pradesh.
Tetapi beberapa analis mengatakan perebutan suara atas landasan agama yang dipraktikkan oleh BJP telah "mengoranglainkan" Muslim. "Bagaimana kita memecah belah? Dengan cara menganggap kubu lain sebagai ancaman terhadap identitas kita," kata ahli politik Christophe Jaffrelot.
Ia meyakini India mengarah ke "demokrasi etnik", lahir dari nasionalisasi etnik yang mengindikasikan "rasa memiliki yang kuat dan lebih unggul". Namun tak semuanya kelam. Muncul kelas menengah muda dan artikulatif yang tidak terbebani oleh hantu penyekat. Unjuk rasa meluas menentang undang-undang kewarganegaraan menampilkan banyak pria dan perempuan dari kalangan Muslim yang turun ke jalan-jalan dan menghapus stereotip kelompok minoritas yang tertutup dan tidak bersuara.
Sebagian besar umat Muslim di India bekerja di sektor informal dengan upah rendah.
Pelatihan berbasis komunitas menjamur untuk melatih anak-anak muda menyiapkan diri mengikuti ujian masuk pegawai negeri sipil yang bergensi di India. "Banyak pemuda Muslim menunjukkan identitas mereka dengan cara positif dan tidak takut menyuarakan pandangan mereka," tambah Ali.
Tetapi pada akhirnya, vonis bebas terhadap semua terdakwa kasus pembongkaran Masjid Babri, hanya akan memperdalam keresahan dan rasa ketidakadilan warga Muslim India. "Dalam banyak hal, mereka adalah masyarakat yang ditinggalkan. Ada perasaan tak berdaya. Mereka dieksploitasi baik oleh pemimpin Muslim sendiri maupun oleh pemimpin Hindu dan oleh partai-partai selama bertahun-tahun," kata Zaheer Ali, seorang saintis politik. "Kemiskinan memperburuk keadaan". (*)
Tags : Muslim India, Muslim Tertekan, Muslim India Putus Asa ,