Dari 224 perusahaan perkebunan sawit yang bercokol di Riau, ada 84 perusahaan lagi yang belum mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU).
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Gubernur Riau, Syamsuar mengakui ada 224 perusahaan yang telah memiliki izin perkebunan dan izin budidaya. Tetapi yang memiliki HGU baru 140 perusahaan, jadi masih ada 84 perusahaan yang belum memiliki sertifikat HGU.
"Ada 84 perusahaan sawit di Riau tak mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU)."
"Ini sebenarnya telah disampaikan Kepala Kanwil BPN Riau dan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Riau dalam beberapa kali pertemuan, tetapi 84 perusahaan yang belum memiliki sertifikat HGU nantinya pemerintah pusat lah yang menanganinya," ungkapnya dalam rapat bersama Komisi II DPR RI di hotel Pekanbaru, Rabu (23/11) kemarin.
Pemprov Riau, kata Syamsuar, juga terus berupaya untuk memperjuangkan hal ini untuk peningkatan penerimaan pajak.
"Namun itu belum terwujud. Makanya kita sampaikan di sini. Karena kita dengan komisi II DPR RI satu suara menyelesaikan persoalan HGU," kata dia.
Gubri mengatakan, penyelesaian HGU itu merupakan kewenangan pusat dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN), termasuk juga dalam hal perhitungan pajak perkebunannya.
"Karena itu, melalui kesempatan ini kami sampaikan membahas persoalan ini. Tadi disampaikan ketua tim, bahwa persoalan ini akan dibahas lintas komisi. Jadi tidak hanya komisi II, tapi juga komisi III, komisi XI dan lainnya," terangnya.
Menurutnya, kewenangan penyelesaian HGU ini berbeda-beda. Karena di samping perusahaan yang belum memiliki HGU, ada juga perusahaan memiliki HGU yang berkonflik dengan masyarakat.
"Termasuk juga HGU perpanjangan. Karena di situ kita harapkan ada plasma masyarakat 20 persen. Itu yang sedang kita perjuangkan," ujarnya.
Dia mengatakan, data yang ada saat ini bisa saja bertambah jika dilakukan pengecekan ulang ke lapangan.
"Itu data dari pemerintah daerah. Ini kan HGU perkebunan sawit. Jadi bisa saja tambah kalau dicek. Tadi kan disampaikan dari DPR pada prinsipnya mereka ingin ukur ulang, kalau diukur ulang maka akan ketahuan itu," sebutnya.
Sementara itu, Wakil Komisi II DPR RI, Junimart Girsang meminta agar Aparat Penegak Hukum (APH) yang ada di Riau, baik Kejati maupun Polda Riau segera melakukan tindakan.
Dia mengaku sangat menyayangkan sikap APH di Riau yang selama ini terkesan melakukan pembiaran.
"Yang perlu kita pertanyakan itu kenapa APH diam saja ketika ada pengusaha yang menguasai tanah tanpa hak," kata Junimart.
Menurut politisi PDIP itu, APH tidak perlu menunggu adanya aduan ataupun laporan dari masyarakat untuk melakukan tindakan terhadap 84 perusahaan itu.
"Tadi pak gubernur riau juga sudah bilang ada lebih kurang 84 perusahaan tidak memiliki HGU. Maka kita minta kepada APH, tidak perlu menunggu aduan. Karena APH memiliki pola bahwa itu bisa merupakan temuan, dan itu harus ditindak sesuai hukum," tegasnya.
HGU beri kepastian hukum
Pemerintah menjamin bahwa Hak Guna Usaha (HGU) memiliki kekuatan hukum dalam hal kepemilikan atau penguasaan dan pengelolaan area atau wilayah yang digunakan sebagai usaha perkebunan.
“Berbeda dengan SHM, HGU berbatas waktu 35 serta bisa diperpanjang hingga 25 tahun. HGU juga tidak bisa diwariskan turun temurun,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR)/BPN Ery Suwondo.
Ery Suwondo berpendapat, seperti halnya Sertifikat Hak milik (SHM), HGU juga bersifat pribadi (privat). Dengan demikian tidak mudah dan bisa sembarang orang bisa mengakses data-data HGU.
Ery mengakui, salah satu pemicu problematika yang berdampak pada konflik horizontal warga negara, pihak swasta dan pemerintah di lapangan yang menimbulkan permasalahan, serta kerugian ekonomi tingkat nasional terjadi, terutama karena lahan perkebunan bersinggungan dengan hutan atau kawasan hutan.
“Pemberian HGU yang bermasalah, biasanya bersinggungan dengan hutan atau kawasan hutan. Namun pada prinsipnya, Kementerian ATR/BPN menerapkan proses yang ketat dan clear and clean,” ungkap dia.
Sebagai contoh, hingga kini pihaknya masih menahan pemberian HGU untuk 80 ribu hektare bakal areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Hal ini karena arealnya bersinggungan bahkan masuk atau memakai kawasan hutan.
Jika HGU itu diberikan maka akan mengubah tata ruang wilayah tersebut secara signifikan.
Ery mengharapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dapat menjadi solusi tumpang tindih regulasi dan peraturan terkait lain yang menjadi penyebab timbulnya konflik lahan di perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit.
“Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sedang memproses bersama DPR. Kebijakan ini sebagai upaya untuk mengatasi dan mensinergikan regulasi yang tumpang tindih dalam pengelolaan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri,” kata Ery.
Sementara Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkundan, Sadino menyatakan, pemerintah punya kewenangan untuk menolak membuka seluruh data HGU karena tata cara di undang-undang perkebunan sangat ketat untuk mendapatkan HGU.
Selain produser ketat, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan HGU sangat panjang.
”Pemerintah juga menerapkan aturan konsesi clear and clean sebelum menerbitkan izin HGU,” kata dia.
Menurut Sadino, dalam proses pembuatan HGU, semua persoalan menyangkut hak rakyat dan ulayat sudah diselesaikan terlebih dulu, sebelum HGU diterbitkan.
Hanya saja, Persoalan terbesar yang sering terjadi, biasanya ada kelompok tertentu yang merupakan pendatang kerap mengatasnamakan rakyat untuk menuntut tanah yang bukan haknya.
”Ini persoalan klasik yang terjadi hampir diseluruh konsesi,” tutur dia.
Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU diberikan untuk masa berlaku paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
Setelah jangka waktu HGU dan perpanjangannya selama 25 tahun telah berakhir, pemegang hak dapat diberikan pembaruan HGU di atas tanah yang sama untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) kini tengah mengkaji penyerahan lahan hutan tidak produktif yang masih bisa dikonversi seluas 978.108 hektare (ha) kepada masyarakat. Adapun lahan-lahan tersebut terletak di 20 provinsi seluruh Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, seluruh lintas kementerian/lembaga akan segera bersama-sama menyiapkan suatu pedoman terkait rencana pembagian lahan Hutan Produksi Konversi (HPK) ke masyarakat.
"Setelah itu pak Menko Perekonomian akan undang para gubernur, sekalian sambil menyelesaikan yang perintah bapak Presiden (Jokowi) untuk mengeluarkan kawasan pemukiman dari konsesi. Apakah HGU (Hak Guna Usaha), apakah konsesi hutan, itu akan sekaligus dibahas bersama para gubernur," jelasnya di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Secara proses penyerahan, Siti Nurbaya menghendaki, itu bisa dilakukan secepatnya tahun ini. "Segera. Jangan-jangan sebelum Lebaran," seru dia.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tanah seluas 978.108 ha itu terbagi ke dalam dua kategori lahan, yakni Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 938.879 ha dan Lahan Cetak Sawah sebesar 32.229 ha. (*)
Tags : Perusahaan Sawit, Riau, Perusahaan Tak Kantongi Izin HGU, News,