JAKARTA - Gagasan tiga capres dan cawapres di bidang pendidikan yang mengusung makan siang gratis untuk anak SD sampai SMA, sekolah gratis baik di swasta maupun negeri, hingga program satu sarjana di satu keluarga miskin disebut pengamat "terlalu mengada-ada dan mirip iklan bombastis".
Pemerhati pendidikan, Mohammad Abduzen dan Itje Chodidjah, berkata persoalan utama pendidikan di Indonesia adalah masih sulitnya masyarakat mengakses pendidikan dan kurangnya kualitas pengajar.
Lantas apa alasan para capres dan cawapres menyodorkan program tersebut dan apakah realistis?
'Capres nomor urut 1: gratiskan sekolah negeri dan swasta'
Bersandar pada visi dan misi Anes Baswedan-Muhaimin Iskandar, mereka mengusung ide akses pendidikan berkeadilan.
Di sana memuat sejumlah program yang menyasar anak-anak sekolah dasar, institusi pendidikan berbasis agama, dan kesejahetaraan guru atau pendidik.
Akan tetapi, salah satu janji mereka jika terpilih nanti adalah bakal menggratiskan layanan pendidikan secara penuh mulai dari kelas 1 sampai kelas 9.
Juru bicara tim nasional pemenangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Indra Charismiadji, mengatakan sekolah gratis itu berlaku di negeri maupun swasta.
Dia berkata, penerapan sekolah gratis seperti itu sudah diterapkan di 155 negara.
"Akses pendidikan untuk semua dan dibiayai 100% oleh negara akan memberikan dampak yang signifikan pada pertumbuhan dan peningkatan pendapatan," jelasnya dalam siaran pers.
"Jadi sebelum memberikan makan gratis, secara keseluruhan sudah menggratiskan biaya pendidikan terlebih dahulu."
Dia kemudian mengeklaim untuk melaksanakan program itu anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp350 triliun.
Diharapkan dengan sekolah gratis ini tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah karena terganjal biaya atau pungutan.
Sebab catatan Kemendikbudristek menunjukkan ada 75.303 anak putus sekolah pada 2021.
Jumlah anak yang putus sekolah di tingkat sekolah dasar (SD) merupakan yang tertinggi yakni sebanyak 38.719 orang.
Lalu jumlah anak putus sekolah di tingkat SMP mencapai 15.042 orang.
'Capres nomor urut 2: makan siang gratis untuk anak SD-SMA'
Melihat visi dan misi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, beberapa program yang tercantum di sana di antaranya membangun sekolah unggul di tiap kabupaten dan memperbaiki sekolah yang perlu direnovasi.
Kemudian menaikkan gaji ASN guru dan dosen, serta penguatan pendidikan sains dan teknologi.
Namun begitu, satu ide yang menarik perhatian publik adalah pemberian makan siang dan susu gratis kepada anak-anak SD, SMP, dan SMA -yang jumlahnya disebut mencapai 44 juta anak.
Belum lagi ditambah anak balita 30 juta, di pesantren lima juta, ibu hamil tiga juta, sehingga total menjadi 82,9 juta jiwa.
Ketua Dewan Pakar Tim kampanye nasional Prabowo-Gibran, Buhanuddin Abdullah, memprediksi anggaran yang dibutuhkan untuk program itu mencapai Rp1 triliun per hari.
"Jadi setahun kira-kira Rp300 triliun," imbuhnya dalam konferensi pers di Kemang, Jakarta Selatan.
Budi mengatakan gagasan soal makan siang dan susu gratis ini ditujukan agar anak-anak tidak kekurangan gizi.
Anak-anak, katanya, juga bisa belajar tenang dengan perut yang kenyang.
'Capres nomor urut 3: Satu keluarga miskin, satu sarjana'
Merujuk pada visi dan misi paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mereka menawarkan setidaknya empat program di bidang pendidikan.
Pertama adalah menggratiskan wajib belajar 12 tahun, meningkatkan pendapatan guru dan dosen melalui penyempurnaan sertifikasi, dan yang menjadi andalan yakni "memastikan setiap keluarga miskin menyekolahkan minimal satu orang anaknya hingga sarjana" untuk mengentaskan kemiskinan.
Data Ditjen Dikti Kemendikbudristek menunjukkan lulusan pendidikan tinggi mencapai 1,37 juta pada 2020.
Sementara jumlah keluarga di Indonesia sekitar 68,5 juta.
Dewan Penasihat tim pemenangan nasional Ganjar-Mahfud, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, mengungkapkan program ini penting karena bisa menopang anggota keluarganya yang lain.
"Kalau bapaknya dulu buruh kepala sawit, tapi anaknya jadi sarjana bisa kerja di kantor gajinya jutaan. Jadi ketika ada satu orang difasilitasi oleh negara adik-adiknya pasti terbantu," ujar Yenny Wahid dalam acara dialog di Yogyakarta.
Kata dia, tidak semua orang bisa menyekolahkan atau membiayai kuliah anak-anaknya.
Sehingga kehadiran negara dalam bentuk beasiswa untuk keluarga miskin, sambungnya, sangat penting dalam membantu mereka.
Adapun Ganjar menuturkan dengan program ini diharapkan para sarjana bisa menjadi sumber daya manusia yang unggul dan dapat kembali ke desa dan membangun desanya.
"Kita dorong tumbuh dari keluarga miskin jadi sarjana, diharap dapat kembali ke desa dan akan membangun desanya," ujar Ganjar dalam sarasehan 100 Ekonom.
Program ketiga capres mirip iklan bombastis tapi mengawang
Sejumlah pengamat pendidikan menyebut janji ketiga pasangan calon capres dan cawapres soal pendidikan layaknya iklan bombastis yang mengada-ada.
Padahal, kebijakan dalam pendidikan semestinya berkelanjutan dan sebaiknya melanjutkan apa yang telah dijalankan sebelumnya sehingga bisa mengisi 'kekosongan' yang ditinggalkan.
Dalam pandangan pemerhati pendidikan, Mohammad Abduzen, program makan siang dan susu gratis yang dijanjikan pasangan Prabowo-Gibran terlalu mengawang dan terlalu jauh dari amanat undang-undang.
"Kalau mencerdaskan kehidupan bangsa dengan makan siang gratis, sulit saya mencernanya," ujar Mohammad Abduzen.
Dia pun mempertanyakan sumber anggaran yang digunakan untuk janji-janji program itu. Dana yang sudah ada saja, katanya, tidak memberikan efek signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan dan proses belajar mengajar.
"Mungkin makan gratis itu asumsinya untuk memperbaiki gizi anak, supaya gampang mencerna pelajaran. Okelah otak encer tapi proses belajarnya ngaco bagaimana? Bisa pintar? Menurut saya tidak..."
Pengamatannya terhadap negara-negara yang menerapkan makan siang gratis di sekolah seperti Jepang tujuan utamanya adalah melatih kemandirian anak-anak.
Sebab mereka terbiasa mengurus hidangan sendiri dan membersihkan sendiri.
"Jadi lebih kepada pendidikan karakter," jelasnya.
Abduzen juga mempertanyakan anggaran yang diperlukan untuk mewujudkan janji Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang ingin menggratiskan sekolah negeri dan swasta.
Ia menjelaskan keberadaan sekolah swasta sebetulnya adalah bentuk partisipasi terhadap proses penyediaan pendidikan.
Itu kenapa sekolah swasta cenderung lebih kuat secara dana.
"Ya meskipun sekolah negeri dan swasta tanggung jawab negara, tapi penyelenggara negara belum bisa sepenuhnya membiayai."
"Harus step by step hingga pada akhirnya memberi kesempatan pada semua masyarakat."
Penilaian serupa juga diutarakan pengamat pendidikan Itje Chodidjah terhadap janji paslon Ganjar-Mahfud yang mengusung program satu sarjana di satu keluarga miskin.
Menurut dia tidak mudah meyakinkan keluarga kelas bawah untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Mereka lebih mengutamakan agar anak-anaknya membantu bekerja.
Mohammad Abduzen juga menambahkan banyak keluarga miskin sebetulnya ingin anak mereka menempuh perguruan tinggi tapi selalu tersandung biaya.
Selain itu akan muncul ketidakadilan di keluarga menengah yang terjepit di antara kaya dan miskin.
Itu sebabnya dia menilai solusinya adalah "merendahkan biaya pendidikan".
"Banyak anak-anak pintar SMA yang tidak berani ambil fakultas kedokteran karena mahal."
Apa masalah utama pendidikan di Indonesia?
Itje Chodidjah dan Mohammad Abduzen menyebut persoalan utama pendidikan di Indonesia adalah akses dan kualitas pendidikan yang tidak merata.
Akses yang dimaksud bisa berupa infrastruktur sekolah seperti bangunan yang tidak layak, jalan rusak, dan ketiadaan fasilitas yang memadai.
Adapun kualitas di antaranya adalah tenaga pendidik dan pengajar.
"Pendidikan itu untuk memenuhi kebutuhan anak-anak kita untuk hidup di masanya, jadi kalau cuma iklan-iklan begitu saya khawatir... apalagi literasi di Indonesia belum merata."
"Sehingga ketika ditawari sesuatu yang gratis, akan dimakan mentah-mentah". (*)
Tags : Ekonomi, Kaum muda, Pemilu 2019, Indonesia, Kemiskinan, Pemilu 2024, Pendidikan, Anak-anak,