Headline Sorotan   2021/05/30 20:28 WIB

Agustus 2021 Chevron Hengkang dari Bumi Melayu, LMR: 'Sudahi Bohongi Rakyat'

Agustus 2021 Chevron Hengkang dari Bumi Melayu, LMR: 'Sudahi Bohongi Rakyat'

"Blok Rokan akan beralih dari Chevron ke Pertamina namun beberapa tokoh masyarakat kembali mempertanyakan nasib pekerjanya"

erusahaan terbatas [PT] Pertamina [Persero] akan mengambil alih pengelolaan Blok Rokan, Riau dari PT Chevron Pacific Indonesia [CPI] pada Agustus 2021 mendatang. Nantinya blok migas ini akan dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan [PHR]. Salah satu yang menjadi sorotan dalam peralihan ini adalah kepastian masa depan para pekerja di Blok Rokan.

Direktur Utama Pertamina Hulu Energi [PHE] Budiman Parhusip mengatakan, persoalan nasib tenaga kerja Chevron di Blok Rokan sudah dikomunikasikan dengan baik antara kedua perusahaan bersama SKK Migas. Bahkan para pekerja disebut sudah mengetahui terkait rencana transfer of employee yang dilakukan dari Chevron ke Pertamina.

"Mengenai human capital yang akan di tranfers dari CPI ke PHR, diskusi dan tata cara transfernya sudah hampir selesai dibicarakan. Para pekerja sudah mengetahui apa rencana kedepannya mengenai transfer of employee, jadi intinya hampir semua pekerja di CPI akan di absord [serap] PHR, kecuali tentu yang tidak mau bergabung," ujarnya dalam rapat dengar pendapat [RDP] bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (27/5/2021).

Ia mengungkapkan, Pertamina bahkan dalam waktu dekat akan menawarkan offer letter atau surat kontrak kerja kepada para pekerja Blok Rokan. Hal itu mencakup hak dan kewajiban pekerja ketika berada di bawah Pertamina, "kami akan lakukan offer letter ke mereka pekerja di CPI, yang kami rencanakan bulan Juni ini, mudah-mudahan tanggapannya baik," sebutnya.

"Kami akan lakukan offer letter ke mereka pekerja di CPI, yang kami rencanakan bulan Juni ini, mudah-mudahan tanggapannya baik," imbuh dia.

"Selalu Terjadi pembohongan"

Menyikapi ini H Darmawi Zalik Aris SE dari Lembaga Melayu Riau [LMR] menyebutkan kekecewaannya. Dimana PT Chevron Pacific Indonesia [CPI] yang sudah [berganti nama] ini ketika itu Direksinya J Tahya dan Harun Arrasyid dan kini dijabat oleh Albert Simanjutak selama itu pula sampai diakhir masa kontraknya dengan Pemerintah RI 2021.

"CPI selama 74 tahun bercokol di Bumi Melayu mulai dari [Gubernur Kaharuddin Nasution sampai Gubernur Syamsuar] perusahaan minyak itu telah membohongi masyarakat Riau baik masalah program yang dibuat perusahaan untuk kepentingan masyarakat," sebutnya.

Terkahir Darmawi juga mencontohkan, dimana diam-diam tanpa melalui mekanisme sebagaimana yang diatur dalam rekrutment tenaga kerja di dalam keorgnisasian CPI dalam strukturnya telah merekrut sebanyak 4000 orang tenaga kerja untuk disalurkan kepada PT Pertamina Hulu Rokan untuk pengelolaan Block Rokan.

Dia mengaku sangat kecewa dan mencontohkan atas tindakan yang dilakukan oleh pimpinan Chevron yang semestinya perusahaan multi Internasional tidak demikian dalam mengambil sikap sebagaimana diatur undang-undang ketenagakerjaan yang bergerak di sektor minyak dan gas [migas]. Tetapi menurut Sukanto, Manager PGPA Rumbai hal itu tidak perlu diperbesar, ujar Darmawi menirukan pembicaraan dengan Sukanto.

Darmawi mengungkapkan di tahun 2012 LMR telah duduk bersama di kantor pusat Chevron di Tenayan Jakarta Pusat bersama-sama Direksi CPI antara lain Albert Simanjuntak, Yanto Sianipar, Bayong serta ketka itu diminta duduk bersama di kantor CPI Rumbai dihadiri juga oelh Sukanto Manager PGPA Rumbai.

Dalam penjelasan sesuai permohonan yang disampaikan pada LMR, kata Darmawi bahwa untuk pengelolaan limbah sebanyak 1 juta metrik ton akan diberikan pengelolaanya pada LMR. Karena LMR tidak mencukupi persyatan-persyaratan yang untuk dipenuhi [menolak secara halus]. Malah limbah B3 tersebut diserahkan kepada PT Rivansi [Direktur Ricky Sinambela], yang sewajarnya CPI harus menyerahkan limbah B3 tersebut kepada LMR. "CPI beroperasi di Bumi Melayu, malah untuk mengelola limbahpun tak diberikan kepada masyarakat Melayu," kata Darmawi.

Nyata-nyatanya ada kepentingan politik dibalik ini semua, kata Darmawi melanjutnya, bahwa PT Rivansi bersandar di'punggung' Menko Luhut Binsar Panjaitan. Dimana limbah B3 itu kini diolah dijadikan untuk pembuatan batu bata dan genteng kualitas tinggi yang dipasarkan di luar Riau. Limbah tersebut merupakan limbah beracun yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Apabila limbah ini terkontaminasi terhadap manusia menimbulkan penyakit.  "Kalau PT Rivansi mengelola limbah dan merekrut tenaga kerja lokal apa keuntungan bagi Pemprov Riau," tanya Darmawi.

Pemprov Riau harus bertanggungjawab sepenuhnya terhadap limbah crude oil akan dampak terhadap masyarakat Riau, karena limbah tersebut merupakan limbah beracun. Darmawi juga menyoroti tentang Demolis [rumah karyawan dan bangunan] yang dibangun oleh CPI mempergunakan dana Cost Recovery [bukan dana CPI] melainkan dana dari pemerintah. Semestinya Demolis itu tidak dihilangkan [diroboh]. "Perbuatan itu bisa dikatagorikan perbuatan kriminal, karena telah menghilangkan aset negara maupun aset pemerintah yang berdiri di setiap distrik Rumbai, Minas, Duri dan Dumai," sebutnya.

Selaku perusahaan yang mengantongi ISSO Managemen dan ISSO Prodaktion dan ISSO Lingkungan tidak semestinya melakukan hal tersebut, "dimana letaknya perusahaan yang telah mendapatkan predikat Internasional," tanya Darmawi bertubi-tubi. 

Apabila rekrutmen organisasi baru ditubuh CPI dalam penyaluran tenaga kerja ke PT Pertamina Hulu Rokan, kami masyarakat Riau akan berbondong-bondong melakukan tindakan nyata [demontrasi] lebih keras ke kantor CPI. Karena di Riau telah berdiri Asosiasi Migas Riau sebagaimana anak kemanakan dan keponakan kami telah didik di Fakultas Perminyakan di Universitas Islam Riau [UIR], "bagaimana nasib putera-putri terbaik yang telah mengenyam pendidikan di Riau tersbut, orangtuanya sudah bersusah payah menjadikan anak-anaknya menyicipi pendidikan tetapi toh belum mendapat tempat. Alangkah naifnya CPI yang telah mengangkangi Pemprov Rau, Akademisi dan masyarakat Riau pada umumnya," sebutnya.

Sejarah Migas Riau

Berawal Secarik kertas yang ditulis Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (RI) H. Agus Salim pada September 1946 menjadi relik unik dalam sejarah industri minyak bumi di Provinsi Riau. Surat itu diawali dengan kalimat basmallah dengan huruf Arab, dilanjutkan dengan kata "Merdeka". Inti surat itu adalah mengizinkan Richard H Hopper untuk datang dan beraktivitas di Sumatera Bagian Tengah yang kini menjadi Provinsi Riau. Kondisi keamanan saat itu masih belum menentu. Perang Dunia II baru berakhir. Republik Indonesia juga masih sangat muda.

Berawal munculnya nama Richard H Hopper, yang dalam surat Agus Salim itu disebut dari ”perusahaan minyak tanah di Pekan Baru”. Hopper adalah seorang geolog atau ahli batuan asal AS. Dalam bukunya berjudul Ribuan Tahun Sumatera Tengah ~ Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam (2016), Hopper menuliskan bahwa Belanda mulai mengembangkan sektor pertambangan pada 1887 dengan menerbitkan konsesi tambang timah di Sungai Tapung Kiri dan Tapung Kanan.

Semula, keberadaan minyak bumi di Sumatera Tengah sempat diragukan. Minyak bumi di Riau baru ditemukan pada sekitar 1939. Produksi secara komersial baru dimulai pada 1952 karena kondisi perang dan politik pada masa-masa itu. Diawali Ekspedisi Socal Penemuan cadangan minyak di Sumatera Tengah bisa dikaitkan dengan perusahaan Standard Oil Company of California (Socal), sekarang bernama Chevron Corporation.

Tim eksplorasi Socal berangkat ke Indonesia pada 1924 dan Teluk Arab pada 1928. Pada era 1930-an, tidak ada satu pun perusahaan minyak yang tertarik dengan bagian timur kawasan Sumatera Tengah. Kawasan tersebut berupa hutan dan rawa. Sulit untuk dilakukan penyelidikan geologis. Wilayah ini memiliki curah hujan berkisar 100 inchi, setara 250 cm per tahun.

Humusnya sangat dalam, belum lagi relief topografinya yang sangat rendah. Endapan lapisan minyak di Sumatera Tengah dinilai sangat tipis jika dibandingkan Sumatera Utara dan Selatan. Menurut peta yang dibuat seorang ahli geologi Belanda terkemuka pada 1930, bagian tengah daerah Riau mengandung lapisan endapan batuan granit yang amat besar.

Hal ini merupakan indikasi negatif, bahwa upaya pencarian hidrokarbon (atau migas) di daerah ini akan sia-sia belaka. Tahun 1939, California Texas Oil Corporation (Caltex) mengirim Hopper untuk melakukan penelitian lanjutan. Caltex merupakan hasil merger Socal dan Texaco pada 30 Juni 1936. Hopper merupakan pria yang antusias dan penuh semangat. Bahkan, dia mau mengebor menggunakan bor tangan (counterflush) untuk menembus kedalaman 460 meter.

Hingga akhirnya, Hopper dan timnya berkesimpulan ada petunjuk kuat, cembungan besar dan berlipat-lipat di bawah bumi Minas. Minas kemudian menjadi lokasi pengeboran pertama sumur minyak di Riau. Meletusnya Perang Dunia II, membuat menara bor yang telah berdiri di Minas terpaksa ditinggalkan pada 1942. Para pekerja dipulangkan.

Surat Wakil Menteri Luar Negeri RI H. Agus Salim kepada Hopper pada 1946. (Sumber foto: Dokumen PT. Chevron Pacific Indonesia).

Meski sudah 18 tahun beraktivitas di Sumatera Tengah, secara komersial Caltex belum menghasilkan minyak setetes pun. Selama itu, tim Caltex –yang sebelumnya Socal-- bertualang di tengah hutan belantara yang ganas, penuh nyamuk, buaya, harimau dan gajah. Dilarang Pergi ke Minas Saat Nusantara dikuasai Jepang, seorang geolog muda bernama Toru Oki melanjutkan pengeboran Caltex yang ditinggalkan di Minas.

Pada 1944, mereka berhasil. Semburan minyak pertama itu menandakan bahwa mereka berhasil menemukan lapisan minyak di kedalaman 800 meter. Namun, pada Agustus 1945 Perang Dunia II berakhir. Jepang yang kalah perang harus hengkang. Usai perang, Caltex berupaya masuk lagi ke Indonesia untuk meneruskan pencarian minyak. Surat yang ditulis Agus Salim menjadi semacam ”paspor” bagi Hopper. Pada September 1946, Hopper berhasil mencapai Padang, untuk menuju Pekanbaru dan Minas.

Namun, markas besar tentara Inggris di Padang tidak mengizinkan. Pertempuran antara laskar RI dan tentara Belanda sedang sengit-sengitnya. Akhirnya, Hopper meminta bantuan Brigadir Hutchinson (komandan brigade Inggris yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah Sumatera Tengah) dan Kolonel Tsushima (perwira penghubung Jepang untuk Inggris) agar mengusahakan contoh batuan dan minyak mentah dari sumur minyak Minas, lengkap dengan laporan harian dan hasil dari uji produksi sumur tersebut.

Dalam dua minggu, semua pesanan Hopper tiba di Padang. Ini merupakan suatu hasil kerja sama yang unik di antara orang-orang dari pihak yang sebenarnya sedang berperang. Seperti Brigadir Hutchinson (Inggris), Kolonel Tsushuma (Jepang), Hopper (Amerika), dan sejumlah warga Indonesia di Jakarta dan Sumatera. Selanjutnya, semua barang tersebut dibawa Hopper dengan pesawat Royal Air Force (RAF) ke Jakarta. Dengan susah payah melalui kapten kapal Amerika S.S Cape Constance, Hopper berhasil mengirimkan barang tersebut kepada kantor Caltex di San Fransisco, AS, termasuk dua jeriken minyak mentah.

Setelah dikaji, Perusahaan memutuskan untuk melanjutkan kegiatan di Minas. Sebab, minyak mentah tersebut punya kadar belerang yang sangat rendah. Nama Minas Crude atau Sweet Crude, dengan resmi Sumatran Light Crude (SLC), menjadi komoditi yang diminati negara-negara industri maju. Setelah gencatan senjata Indonesia-Belanda pada 1949, Caltex memacu pengeboran di Lapangan Minas.

Sejarah akhirnya mencatat bahwa Sumatera Tengah, yang kini menjadi Provinsi Riau, merupakan salah satu penghasil minyak bumi yang dikenal dunia. Caltex Pacific Oil Company (CPOC) menjadi cikal bakal PT. Chevron Pacific Indonesia (PT CPI). Pada 23 Agustus 1963, PT CPI didirikan sebagai badan hukum untuk mengelola aset CPOC. Pada September 1963, perjanjian Kontrak Kerja 20 tahun disepakati dan ditandatangani antara PT CPI dan PN Pertamina (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional).

PT CPI bertindak sebagai kontraktor dari Pemerintah Indonesia dan mengelola aset-aset milik negara di industri hulu migas. Dalam mengoperasikan blok migas, PT CPI bekerja di bawah pengawasan dan pengendalian pemerintah yang saat ini diwakili SKK Migas berdasarkan kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Sejak pertama kali berproduksi pada awal 1950-an, lapangan-lapangan migas di Riau yang dikelola PT CPI telah memberikan kontribusi terhadap produksi nasional lebih dari 12 miliar barel secara kumulatif, termasuk dari lapangan minyak raksasa Minas.

Dengan berbagai terobosan teknologi dan keahlian para pegawainya, PT CPI mampu menjadi tulang punggung produksi nasional Indonesia selama lebih dari setengah abad. Penerapan teknologi injeksi uap (steamflood) di Duri dan teknologi injeksi air di Minas mampu mengoptimalkan produksi dan memperpanjang usia lapangan-lapangan tersebut. Duri menjadi salah satu proyek enhanced-recovery steamflood terbesar di dunia.

Dengan teknologi uap, Lapangan Duri mampu menghasilkan minyak lima kali lebih banyak. Sementara Lapangan Minas menjadi lapangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Asia Tenggara. Produksi PT CPI turut memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara dan daerah, sehingga memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi perekonomian Indonesia Perjalanan industri migas telah membentuk Riau hingga seperti sekarang. Peninggalan infrastrukturnya juga masih dipergunakan hingga kini. (*)

Tags : PT Chevron Pacific Indonesia, Riau, Kontrak CPI Berakhir, Persoalan Tenaga Kerja CPI,