JAKARTA - Rencana pemerintah menggantikannya dengan peraturan dari UU Cipta Kerja dinilai tidak berpihak pada pelestarian lingkungan.
Akademisi dan pegiat lingkungan hidup mendesak pemerintah melanjutkan moratorium izin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit yang berakhir pekan lalu, karena aturan yang mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja, yang direncanakan digunakan untuk menggantikannya, berpotensi menghambat upaya perbaikan tata kelola lingkungan berkelanjutan.
Instruksi Presiden tahun 2018 tentang penundaan izin perkebunan sawit baru berakhir pada 19 September 2021, tapi belum ada indikasi pemerintah akan memperbarui aturan itu.
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan pekan ini bahwa Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yang juga disebut juga omnibus law karena mengatur banyak hal sekaligus, dan peraturan turunannya akan dijadikan dasar aturan tata kelola sawit dengan berakhirnya moratorium.
Namun omnibus law banyak ditentang oleh pegiat dan pengamat lingkungan hidup yang khawatir bahwa legislasi ini lebih berpihak pada pengusaha dibanding kelestarian hutan.
Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan Institut Pertanian Bogor mengatakan enam Peraturan Pemerintah (PP) turunan UUCK di sektor pertanian dban kehutanan memiliki klausul-klausul yang mempermudah ekspansi lahan, berseberangan dengan aturan dalam moratorium sawit.
Salah satu klausul pada PP turunan tentang penyelenggaraan kehutanan memberikan pengampunan atau amnesti kepada pengelolaan lahan sawit tua dan bermasalah dalam kawasan hutan.
PP yang sama juga memuat klausul lain tentang pemberian izin bagi pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan apapun, termasuk proyek strategis nasional.
“Kemudahan-kemudahan ini yang sebenarnya mengaburkan persoalan utama moratorium yakni menyelamatkan hutan, alam,” kata Hariadi seperti dirilis BenarNews, seraya menambahkan, “akhirnya (UUCK) menjadi kontraproduktif.”
Pemerintah, ketika itu, mengatakan moratorium diberlakukan untuk memberi kepastian hukum bagi persoalan tumpang tindih lahan, penyelesaian konflik sosial, peningkatan pembinaan petani sawit, hingga melindungi kelestarian lingkungan untuk mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca.
Pada November 2020, DPR mengesahkan omnibus law sebagai hasil revisi ribuan pasal yang dinilai menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja, termasuk juga yang berkaitan dengan tata kelola hutan dan perkebunan sawit.
Musdhalifah mengatakan tidak akan terjadi kevakuman dalam usaha untuk mengelola sektor kelapa sawit yang lestari karena ada UU Cipta Kerja dan peraturan pemerintah turunannya yang mengaturnya.
“Kami sudah terbitkan UUCK dan PP pendukungnya,” kata Mushdalifah kepada BenarNews. “Untuk moratorium kami masih menunggu arahan,” katanya.
Musdhalifah tidak menjelaskan bagaimana UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya bisa mendorong pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Undang-undang tahun 1999 tentang kehutanan mengatur pemerintah harus mempertahankan wilayah hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai atau pulau.
Undang-undang Cipta Kerja menghapus ketentuan itu dan memberi kewenangan Pemerintah Pusat untuk mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis suatu daerah.
Menteri Lingkingan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan akhir tahun lalu bahwa Undang-undang Cipta Kerja memungkinkan aturan yang lebih ketat dari 30 persen sehingga kelestarian hutan dapat tercapai.
Peraturan Pemerintah yang menjabarkan UU Cipta Kerja menentukan batas luas perkebunan sawit yang dapat dikelola sebuah perusahaan atau kelompok perusahaan maksimal 100.000 hektare di keseluruhan wilayah Indonesia, sedangkan sebelumnya berdasarkan peraturan tahun 2017 perusahaan dapat mengelola lahan maksimal 100.000 hectare dalam satu wilayah provinsi.
Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, di luar UU Cipta Kerja, pemerintah menggunakan Instruksi Presiden tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional perkebunan sawit berkelanjutan.
“Artinya salah satu syarat kelapa sawit berkelanjutan adalah legalitasnya,” kata Ruandha, yang menjelaskan itu berarti kalau ada kelapa sawit di areal hutan maka status lahan sawitnya harus dilepas.
'Perpanjangan Moratorium, respons paling tepat'
Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan bila pemerintah memang berkomitmen untuk tata kelola lahan yang berkelanjutan, maka perpanjangan moratorium menjadi respons paling tepat.
“Di UUCK itu justru banyak memberikan legalitas bagi kegiatan usaha di dalam kawasan hutan, termasuk sawit. Ini kan kebalikan dari semangat Inpres yang menunda pemberian. Substansinya yang bermasalah, bukan masalah kekosongan hukumnya,” kata Adrianus.
Awal 2020, Kementerian Pertanian merilis terdapat 3,4 juta hektare kebun yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Dari jumlah tersebut 1,8 juta hektare perkebunan sawit di kawasan hutan itu tidak memiliki izin, menurut Yayasan Kehati, organsiasi nirlaba lingkungan hidup.
Adrianus menyayangkan lambatnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan status lahan-lahan yang tumpang tindih tersebut sampai terjadi ‘keterlanjuran’ karena perubahan peraturan.
“Pemerintah seharusnya lebih jeli dalam melihat tipologi yang terjadi di dalam kawasan tersebut. Mana saja yang memang sejak awal ilegal, mana yang awalnya legal. Jangan langsung semuanya dipukul rata diberikan legalitas,” katanya.
Sementara dari sisi peningkatan produktivitas, Adrianus melihat meskipun kesejahteraan belum sepenuhnya terpenuhi, namun dengan adanya moratorium peluang petani kecil memiliki tambahan pesaing tertutup sehingga mereka bisa memaksimalkan kualitasnya.
“Dengan moratorium, suplai menjadi tetap karena saingan-saingan mereka di-hold. Mereka bisa meningkatkan kualitas sambil juga menjaga harga tetap fair,” katanya.
Hariadi mengakui tiga tahun moratorium masih banyak terdapat kekurangan dalam persoalan tata kelola lahan sawit , sisi penegakan hukum, kesejahteraan petani, hingga tumpang tindih kawasan hutan.
Namun itulah sebabnya, moratorium harus diperpanjang untuk memberikan kesempatan perbaikan pelaksanaannya, sebutnya.
“Tata kelola yang masih buruk seolah-olah akan diselesaikan dengan UUCK dan turunannya. Saya khawatirnya pemberi izin juga semakin leluasa karena ini transaksional dan lemah kontrolnya di lapangan. Makanya penting untuk moratorium dilanjutkan,” kata Hariadi.
Adrianus dari ICEL menambahkan, pihaknya mengkhawatirkan penerapan UUCK dan aturan turunnya bisa menggagalkan upaya perbaikan tata kelola yang telah dilakukan, khususnya oleh para pemerintah daerah.
Sementara itu, Sekjen Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengatakan saat ini fokus pemerintah adalah penanaman kembali sawit di perkebunan rakyat. Hal ini menurutnya dibutuhkan karena produktivitas sawit di Indonesia masih tergolong rendah, yakni 3,6 juta ton per hektar.
“Saya ingin moratorium diperpanjang dengan fokus di intensifikasi pertanian. Peremajaan sawit dengan varietas yang bagus, dengan produktivitas tinggi sehingga bisa hasilkan 5-6 juta ton per hektar,” kata Kasdi.
Posisi strategis perubahan iklim
Dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi G20 secara virtual pada November tahun lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan UU Cipta Kerja akan berdampak baik terhadap kelestarian lingkungan.
"Undang-Undang ini juga memberikan perlindungan bagi hutan tropis, sebagai benteng pertahanan terhadap perubahan iklim. Ini adalah komitmen Indonesia," kata Jokowi.
Di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-76 Kamis dini hari, Jokowi mengklaim Indonesia berhasil menurunkan angka kebakaran hutan hingga 82 persen sepanjang tahun 2020. Pada periode waktu yang sama, laju deforestasi juga turun 75 persen, posisi terendah dalam 20 tahun terakhir, ujarnya.
“Indonesia menyadari posisi strategis kita dalam perubahan iklim. Oleh karenanya, kami akan terus bekerja untuk memenuhi komitmen kami,” kata Jokowi.
Pada Maret 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan angka deforestasi sepanjang 2019-2020 berjumlah total 115 ribu hektare atau turun dibanding periode sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 462 ribu hektare.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Belinda A. Margono, mengatakan penurunan deforestasi sebesar 75 persen ini merupakan angka deforestasi neto, yang mencakup baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
“Penurunan angka deforestasi ini, menunjukan bahwa berbagai upaya yang dilakukan KLHK akhir-akhir ini menunjukkan hasil yang signifikan,” kata Belinda, dikutip dari rilis resmi kementerian.
Dokumen Kontribusi Nasional (NDC/Nationally Determined Contribution) Indonesia, sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Iklim Paris, menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Teguh Surya, pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, mengkhawatirkan penghentian moratorium bakal menghambat target pemerintah menurunkan emisi karena laju ekspansi pembukaan lahan berpotensi kembali masif.
Catatan yang dimilikinya menyebut terdapat sekitar 1,4 juta hektare hutan alam di dalam izin sawit yang berpotensi teralihkan bila moratorium tidak dilanjutkan.
“Karena ekspansi lahan sawit agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi emisi,” kata Teguh. (*)
Tags : Peraturan Moratorium Sawit, Peraturan Moratorium Diganti, UU Cipta Kerja, Peraturan Moratorium Diganti Mengancam Kelangsungan Hutan,