"Vaksinasi Covid-19 tahap pertama sudah digulirkan di berbagai Provinsi di Indonesia, walau sejumlah kalangan masih enggan mengikuti salah satu upaya mengatasi pandemi itu"
nggota DPR Ribka Tjiptaning dalam forum resmi legislatif menyatakan menolak menerima vaksin coronaVac buatan perusahaan farmasi asal China, Sinovac. Sementara pekan ini, tagar #TolakDivaksinSinovac sempat mencuat di Twitter karena dicuitkan belasan ribu kali.
Walau begitu, pemerintah daerah di dua provinsi dengan tingkat penerimaan vaksin Covid-19 terendah, yaitu Aceh dan Sumatera Barat, tak akan mewajibkan vaksinasi ini atau menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang menolak program ini. Di antara yang enggan divaksin termasuk Yulzi Muammar, pemuda di Banca Aceh, dengan alasan cemas bakal ada efek samping yang mengganggu kesehatannya. Dia baru bersedia menerima vaksin jika situasi "sudah benar-benar darurat". "Setiap vaksin itu pasti akan ada efek samping, Kalau malah timbul efek samping yang lebih berat, saya sangat khawatir.," kata Yulzi seperti dirilis BBC Indonesia, Kamis (14/1).
"Saya sama sekali tidak menunggu vaksin. Saya berat untuk menerima vaksin. Sampai sekarang pun saya belum pernah divaksin, maka saya takut," katanya.
Hal serupa diutarakan Rahmida Sari Pagan, mahasiswi di Banda Aceh. Dia dan orang tuanya selama ini mendengar kabar soal vaksin Covid-19 yang belum tentu benar. "Saya belum bersedia karena belum pernah divaksin. Menurut saya, saya jadi bahan percobaan. Saya takut ada efek samping," katanya.
Penolakan vaksin Covid-19 juga dikatakan Ribka Tjiptaning, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada rapat kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan, 12 Januari lalu, Ribka menyatakan "lebih baik membayar denda daripada menerima vaksin coronaVac. "Saya tetap tidak mau divaksin. Misalnya hidup di DKI Jakarta daan semua anak cucu saya dapat sanksi Rp5 juta, mending saya bayar," ujarnya.
"Saya yang pertama menolak vaksin. Kalau dipaksa itu pelanggaran HAM, tidak boleh memaksa begitu," kata Ribka soal wacana mewajibkan vaksinasi Covid-19.
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersedia menerima vaksin Covid-19, begitu hasil survei nasional yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan November lalu. Survei hasil kerja sama dengan kelompok penasehat teknis imunisasi (ITAGI), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan UNICEF itu melibatkan 115 ribu orang di seluruh provinsi. Namun sebagian kelompok menyatakan menolak vaksin itu, terutama karena faktor efek samping bagi kesehatan dan perihal kehalalannya. Aceh dan Sumatera Barat adalah dua provinsi dengan jumlah penolak vaksin terbesar. Kesediaan menerima vaksin Covid-19 di Aceh hanya 46% sedangkan di Sumatera Barat sebesar 47%.
Belum ada ketentuan pidana
Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej, penolak vaksin Covid-19 dapat dipidana penjara paling lama satu tahun dan denda maksimal Rp100 juta. Ia merujuk ketentuan di UU 6/2018 tentang orang-orang yang menghalangi kekarantinaan kesehatan. Namun hingga saat ini belum ada pernyataan resmi pemerintah yang mewajibkan vaksinasi serta hukuman bagi para penolaknya.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh, Hanif, menyebut kampanye vaksinasi Covid-19 lebih berat ketimbang urusan rantai dingin untuk menjamin kondisi vaksin. Meski begitu, otoritas Pemprov Aceh, kata dia, masih akan menjadikan vaksinasi ini sebagai anjuran tanpa sanksi. "Kesulitan di Aceh, tingkat pemahaman masyarakat saat mendengar informasi yang tidak jelas, termasuk informasi dari media sosial," kata Hanif.
"Jadi kami harap siapapun tidak memberikan informasi yang belum tentu benar. Berilah informasi mendidik agar masyarakat bisa menerima vaksin ini," tuturnya.
Sementara itu, Pemerintah Sumbar berencana memperkuat peran tokoh agama untuk mendorong warga mengikuti vaksinasi. Hingga saat ini, mereka juga tidak mewacanakan hukuman bagi para penolak vaksin. "Ada orang yang menolak vaksin itu hal biasa, tapi kami tidak akan berhenti mempublikasi dan sosialiasi ke masyarakat," kata Jasman Rizal, Juru Bicara Penanganan Covid-19 Sumbar. "Tim Satgas Covid-19 di Sumbar lengkap, melibatkan MUI, LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau), termasuk banyak dai. Kami sudah berusaha, tapi memang ada yang masih menolak. Jangankan vaksin, covid-19 saja masih banyak yang tidak percaya. Di Sumber ada Perda 6/2020 tentang adaptasi kebiasaan baru. Semuanya menggunakan pendekatan persuasif. Kami berharap hukuman itu tidak perlu," ujar Jasman.
Pada program vaksinasi campak dan rubella tahun 2017 dan 2018, gerakan tolak vaksin adalah salah satu hambatan terbesar yang dihadapi pemerintah. Kesimpulan itu muncul dalam kajian yang diterbitkan di jurnal The Lancet, yang disusun sejumlah pejabat Kemenkes bersama WHO dan UNICEF. Namun pakar imunisasi, Jane Soepardi, menilai pemerintah kini menerapkan strategi baru untuk mencegah masifnya gerakan antivaksin. Melibatkan Majelis Ulama Indonesia sejak awal kampanye vaksinasi tidak dilakukan untuk proyek penanganan campak dan rubella, kata Jane yang juga bekas pejabat tinggi Kemenkes. "Belajar dari vaksinasi campak dan rubella, maka jauh hari, sebelum vaksin Covid-19 muncul, proses ke MUI sudah lebih dulu dilakukan," kata Jane.
"BPOM pun berangkat ke China bersama perwakilan MUI. MUI pun bisa menyatakan kehalalan sebelum pengumuman BPOM. Jadi masalah halal-haram sudah tidak ada. Dulu ini memang tidak dilakukan. Kami tidak menyangka vaksin dari India itu mengandung bahan yang 'najis'. Dengan pendekatan ini gerakan antivaksin semoga akan berkurang," ujar Jane.
Dan dua hari setelah vaksinasi Covid-19 pertama di Indonesia, sejumlah tokoh agama masih mengkampanyekan upaya ini di saluran resmi milik pemerintah. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, misalnya, berkata bahwa dia tak mengalami efek samping vaksin coronaVac. Dia adalah satu dari sejumlah pemuka agama yang menerima vaksin pertama di Istana Negara, Jakarta, 12 Januari lalu. "Sebelum dan setelah vaksinasi, saya dalam kondisi sehat walafiat. Vaksinasi yang kita lakukan ini adalah ikhtiar nyata memutus mata rantai Covid-19. Melalui fatwa 2/2021, MUI menyatakan bahwa vaksin Covid-19 halal dan aman untuk digunakan masyarakat, terutama umat Islam," ujarnya.
Adapun Romo Heri Agustinus Wibowo, perwakilan Konferensi Wali Gereja, menyebut mengikuti program vaksinasi Covid-19 sebagai wujud 'bela negara'. "Sampai saat ini saya merasa sehat, tidak merasakan efek samping apapun, dan saya merasa lebih damai. Jangan takut, jangan ragu, persiapkan diri menerima vaksin Covid-19," tuturnya.
Berdasarkan hasil uji klinis tahap tiga di Bandung, BPOM menyebut efek samping vaksin coronaVac bersifat ringan sampai sedang, yaitu nyeri, iritasi, pembengkakan serta efek samping sistemik berupa nyeri otot dan demam. "Efek samping dengan derajat berat seperti sakit kepala, gangguan kulit dan diare hanya sekitar 0,1 sampai 1%. Efek samping itu tidak berbahaya dan dapat pulih kembali," kata Ketua BPOM, Penny Lukito.
Secara umum, meski kajian Kemenkes memotret fenomena menolak vaksin di berbagai daerah, tidak ada angka pasti berapa total orang yang enggan menerima coronaVac. Namun menurut Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia, dokter Erlina Burhan, kekebalan masyarakat terhadap Covid-19 atau herd community akan tercapai jika 70% penduduk Indonesia divaksin. Persentase itu setara dengan sekitar 189 juta orang. (*)
Tags : Tolak Vaksin, Anjuran MUI dan Tokoh Agama, Gerakan Penyebaran Vaksin, Vaksin Bergulir ke Daerah, Indonesia,